Asuransi Bukanlah Solusi Bagi Petani yang Gagal Panen

0
333

Oleh: Padliyati Siregar

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengaku bersimpati dengan situasi yang dihadapi petani di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan (Sumsel).

Mentan berbicara seperti itu, karena tidak kurang dari enam hektar (ha) lahan sawah rusak tersapu aliran Sungai Keruh, di Kecamatan Paiker, Kabupaten Empat Lawang yang meluap pada Sabtu (25/7/2020).

Selain rusak, 6 ha lahan sawah itu juga terancam gagal panen. Padahal, tanaman padi tersebut akan dipanen beberapa hari lagi. Tidak hanya itu, pangkal jembatan Desa Lawang Agung yang menjadi penghubung Desa Bandar Agung, Kecamatan Paiker pun mengalami kerusakan.

Melihat kejadian tersebut, Mentan yang akrab disapa SYL ini pun berharap agar petani mengikuti asuransi pertanian sebagai langkah antisipatif. “Petani harus selalu menyiapkan langkah antisipasi agar lahan pertaniannya tidak terganggu. Apalagi jika sampai menyebabkan gagal panen,” ujarnya, Selasa (28/07/2020).

Dia juga meminta petani agar mendeteksi segera ancaman-ancaman seperti perubahan iklim yang bisa menyebabkan kekeringan, banjir, hingga longsor, atau luapan sungai. “Ada juga ancaman penyakit seperti serangan hama. Antisipasi hal-hal itu dengan memanfaatkan asuransi,” tuturnya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.

Senada dengan Mentan, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Sarwo Edhy mengimbau petani agar memanfaatkan asuransi pertanian agar tidak merugi bila mengalami masalah serupa atau ancaman lainnya.

Dia menjelaskan, ada dua jenis asuransi pertanian yang bisa dimanfaatkan, yaitu Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dan Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau (AUTS/K). “Asuransi bisa membuat petani beraktivitas dengan tenang. Karena, asuransi merupakan salah satu komponen dalam manajemen usahatani untuk mitigasi risiko bila terjadi gagal panen,” ujarnya.

Selain itu, menurutnya, dengan adanya asuransi, perbankan lebih percaya dalam menyalurkan kreditnya. Sarwo menjelaskan pula apabila usaha tani atau ternak mengalami gagal panen, petani akan mendapatkan penggantian atau klaim dari perusahaan asuransi.

Dengan begitu, ada jaminan terhadap keberlangsungan usaha tani dan tidak terjadi gagal bayar terhadap kreditnya. Menanggapi masalah tersebut, Sarwo pun mengimbau petani untuk berkoordinasi dengan pihak atau dinas terkait mengenai hal ini (intens.news).

Menilik apa yang dikatakan dan dianjurkan oleh para pemangku kebijakan bukanlah solusi atas persoalan yang terjadi.Seharusnya pemerintah memikirkan langkah apa yang harus di lakukan agar gagal panen tidak terjadi lagi.

Bukan malah menambah beban para petani yang harus membayar premi. Pemerintah bisa memetakan masalah ini, apakah merupakan masalah teknis akademis dan keahlian, juga ada masalah nonteknis, sehingga solusi yang diambil tepat.

Dalam konteks yang pertama, teknis akademis dan keahlian, negara harus serius bisa melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dengan tim terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia, bisa melakukan kajian secara menyeluruh, cermat, dan akurat untuk melakukan pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya untuk tanaman. Berikut rekayasa dan solusi yang dibutuhkan, jika menghadapi kondisi ekstrem, baik bersifat jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.

Hasil kajian, riset, dan rekomendasi tim inilah yang akan yang akan dipakai pemerintah untuk mempersiapkan langkah apa yang tepat untuk mengantisipasinya.
Namun sayang dalam sistem demokrasi kapitalis sulit untuk diharapkan,mengingat orentasinya adalah keuntungan dengan cara cepat dan mudah. Negara hadir sebagai fasilitator bukan menjadi pelayanan.

Sementara dalam masalah nonteknis, tentu saja seluruh komponen umat terutama penguasa melakukan muhasabah, apakah musibah ini selain qodho Allah bisa jadi teguran dari Allah atas abainya negara dalam menerapkan hukum-hukum Allah sehingga kemaksiatan merajalela. Sudah sepatutnya lah kita kembali kepada syariat Islam dalam pengaturan seluruh urusan rakyat sehingga keberkahan dari langit dan bumi kita dapatkan.

Asuransi bukanlah saran yang tepat akan persoalan ini,malah akan menambah beban dan murka Allah, karena melakukan kemaksiatan yang besar dalam hal muamalah, adanya akad yang menyalahi syariah dan unsur ribanya. Rasulullah SAW mengingatkan kita di dalam Al Qur’an dan hadist:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS 2;279).

Disebutkan bahwa tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT dalam Al-qur’an, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini tentu menunjukkan bahwa dosa riba sangat besar dan berat.

“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda: mereka semua sama.” (HR. Muslim).

Hukum Asuransi dalam Pandangan Islam

Asuransi adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ (hibah) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah, yaitu akad yang tak mengandunggharar (penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/ kezaliman, suap, barang haram dan maksiat. (Fatwa DSN No 21/DSN-MUI/IX/2001, hlm. 5; Al Ma’ayir Al Syar’iyah, AAOIFI, 2010, hlm. 376).

Dalil-dalil asuransi antara lain dalil tolong menolong (QS Al Maidah : 2) dan dalil tabarru’ (hibah). Ada dalil hadis yang diklaim sebagai dasar asuransi syariah, yakni hadis tentang Kaum Asy’ariyin.

Dari Abu Musa Asy’ari RA, ia berkata,”Nabi SAW bersabda,’Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka (HR Muttafaq ‘alaih). (Abdus Sattar Abu Ghuddah, Nizham At Ta`min At Takafiuli min Khilal Al Waqf, hlm. 3).

Dalam asuransi tanpa tabungan (non saving), seluruh premi yang dibayarkan peserta asuransi menjadi dana tabarru’ (hibah), yang dikelola oleh perusahaan asuransi berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut.

Sedang dalam asuransi dengan tabungan (saving), premi yang dibayarkan dibagi dua; (1) dana untuk tabarru’, dan (2) dana untuk investasi. Dana tabarru’ dikelola perusahaan asuransi yang mendapat ujrah (fee) berdasar akad wakalah bil ujrah. Peserta mendapat dana pertanggungan dari dana tabarru’ tersebut.

Dana investasi dikelola perusahaan asuransi dengan akad mudharabah/musyarakah. Menurut kami, asuransi syariah ini hukumnya haram, karena 4 (empat) alasan sbb : Pertama, dalil hadis Asy’ariyin yang digunakan tak tepat. Sebab dalam hadis tersebut, bahaya terjadi lebih dahulu, baru terjadi proses ta’awun (tolong-menolong).

Sedang pada asuransi, ta’awun dilakukan lebih dahulu, padahal bahayanya belum terjadi sama sekali. Menurut Syaikh ‘Atha` Abu Rasyta, menggunakan hadis Asy’ariyin sebagai dasar asuransi syariah adalah istidlal yang keliru (Ajwibatu As`ilah, 7/6/2010).

Kedua, akad hibah (tabarru’) dalam asuransi tak sesuai dengan pengertian hibah. Sebab hibah dalam pengertian syar’i adalah memberikan kepemilikan tanpa kompensasi (tamliik bilaa ‘iwadh). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Hibah, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 1169). Sementara dalam asuransi , peserta asuransi memberikan dana hibah, tapi mengharap mendapat kompensasi (‘iwadh / ta’widh), bukannya tak mengharap.

Ini sama saja dengan menarik kembali hibah yang diberikan yang hukumnya haram, sesuai sabda Nabi SAW,”Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari & Muslim). (Yahya Abdurrahman, Asuransi dalam Tinjauan Syariah, hlm. 42).

Ketiga, tak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam fiqih Islam. Sebab pada asuransi , hanya ada dua pihak, bukan tiga pihak sebagaimana dhaman. Dua pihak tersebut: Pertama, penanggung (dhamin), yaitu peserta asuransi; kedua, pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu), yaitu juga para peserta asuransi. Jadi dalam asuransi syariah tak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak tertanggung (madhmun anhu).

Keempat, terjadi penggabungan dua akad menjadi satu akad (uqud murakkabah, multiakad), yaitu penggabungan akad hibah, akad ijarah, dan akad mudharabah. Padahal multiakad telah dilarang dalam syariah. Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad). (HR Ahmad, hadis sahih). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, 2/308). ***

Wallahu a’lam ….

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here