Dari Tragedi Srebrenica, Umat Butuh Khilafah

0
439

Oleh: Tri Rahayu

Pembantaian yang terjadi di Srebrenica tahun 1995 silam menjadi sejarah kelam yang melingkupi Eropa dan menjadikan duka tersendiri bagi warga muslim Bosnia. Ribuan warga Muslim Bosnia menjadi korban dari peristiwa itu. Peristiwa pembantaian itu disebut sebagai salah satu upaya genosida yang pernah terjadi di Eropa.

Pada tanggal 11 Juli 1995, unit-unit pasukan Serbia Bosnia merebut Kota Srebrenica di Bosnia-Herzegovina. Dalam waktu kurang dari dua minggu, pasukan mereka secara sistematis membunuh lebih dari 8.000 Bosniaks (umat Muslim Bosnia) – pembunuhan massal terburuk di tanah Eropa sejak akhir Perang Dunia Kedua.

Orang-orang Bosnia, yang sebagian besar adalah Muslim, merupakan keturunan dari Slavia Bosnia yang menganut Islam di bawah pemerintahan Turki Ottoman pada Abad Pertengahan.

Perang Bosnia yang terjadi antara 1992 dan 1995 menjadi saksi atas hal ini. Perang ini disulut dengan kebencian tersembunyi terhadap Islam dan Muslim, dan keterlibatan besar Eropa-Amerika serta dorongan dari Serbia untuk melakukan kejahatan brutal dan pembantaian dalam perang karena negara-negara ini takut warga Bosnia membangun negara Islam di Eropa Tengah. Ketakutan ini merupakan dalih yang sama untuk memerangi dan menindas kaum Muslim di masyarakat Barat karena takut akan Islamisasi pada masyarakat ini. Ketakutan ini pula yang menjadi dalih atas perang kolonial yang telah terjadi dan terus terjadi di negara-negara Muslim untuk mencegah kembalinya Khilafah (Kekhalifahan).

Pembantaian Srebrenica dikenal luas sebagai tindakan yang paling keji selama perang ini, terlebih karena peristiwa ini terjadi di bawah pengawasan ketat PBB, yang berperan serta dalam melucuti senjata para pejuang Muslim karena tunduk kepada ultimatum Serbia.

Dalam rangka menciptakan sebuah “zona aman”, PBB membantu orang-orang Serbia untuk memisahkan laki-laki dan perempuan pada hari pembantaian. PBB juga membiarkan warga laki-laki Bosnia yang sebelumnya mencari perlindungan di kamp Belanda untuk diangkut oleh pasukan Serbia, padahal tahu betul bagaimana nasib mereka berikutnya. Tragedi ini juga menjadi bukti tidak adanya perlakuan adil PBB terhadap negara berpenduduk muslim, bahkan PBB menjadi alat melegitimasi kebengisan segelintir penjahat untuk memuaskan nafsu kedengkiannya terhadap Islam dan kaum muslim.

PBB telah gagal melindungi 8.000 laki-laki dan remaja ini. PBB juga hanya menjadi penonton ketika kaum perempuan dilecehkan secara massal. Namun saat ini, setiap muncul masalah baru di tengah umat, kita tetap saja melihat PBB masih dianggap sebagai satu-satunya organisasi yang dapat menyelesaikan masalah. Satu kegagalan mungkin tidak cukup untuk meyakinkan umat Islam bahwa PBB tidak akan pernah dapat memenuhi peran pemecah masalah ini.

Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, yang berbicara di depan Dewan Keamanan tentang Serangan Kimia di Suriah menyatakan: “Ketika PBB terus-menerus gagal dalam tugasnya untuk bertindak secara kolektif, ada saatnya kita terpaksa mengambil tindakan kita sendiri.”

Demikianlah, keamanan hanya bisa didapatkan di bawah naungan Khilafah. “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” [HR. Muslim]

Umat Islam membutuhkan kepemimpinan yang tulus dan sadar dengan tekad untuk menghadapi ancaman apapun terhadap umat ini, yakni menjadi perisai untuk melindungi nyawa dan kemuliaan umat ini, seperti yang dijelaskan di dalam banyak hadits. *** Wallahua’lam bishowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here