Dilema atau Solusi Penundaan Pilkada di Saat Pandemi?

0
433

Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST

Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak Virus Corona menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 sebagaimana mengacu pada Peraturan Perundang-undangan Nomor 2 Tahun 2020. Awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September 2020 di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun ditunda hingga 9 Desember 2020 .

Akibat Pandemi Covid-19 ini, pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu sepakat untuk menundanya dalam upaya pencegahan penyebaran Virus Corona.

Beberapa tahapan Pilkada yang sempat tertunda, di antaranya pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), dan pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah, agar tak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan tidak hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda kepemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Cocid-19 di daerahnya masing-masing.

Terlepas dari kontroversi pengambilan keputusan penyelenggaraan Pilkada lanjutan yang akan dilaksanakan pada tahun ini karena alasan pandemi masih berlangsung. Pemerintah melalui Mendagri juga menyatakan bahwa opsi diundurnya Pilkada ke tahun 2021 tak menjamin pandemi ini akan berakhir.

Sungguh sangat disayangkan di tengah buruknya penanganan pandemi, pemerintah dan semua pihak bersikukuh tetap menyelenggarakan Pilkada serentak 2020.

Wajar kalau sebagian berpendapat momen pilkada di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa.

Masih jelas di ingatan kita, pesta demokrasi 2019 menyisakan begitu banyak catatan. Besar harapan agar catatan yang tertinggal itu adalah catatan positif. Namun faktanya, yang tersisa dari pesta demokrasi langsung lebih banyak negatifnya. Sebuah kenyataan pahit yang harus kita hadapi bersama.

Politik itu berat diongkos, terutama ketika perhelatan politik sebagaimana yang terjadi sekarang. Meski tampak tidak terlihat, proses kontestasi untuk kursi legislatif di berbagai tingkat mulai dari level daerah hingga nasional terjadi.

Hiruk-pikuk hajat politik yang akan digelar secara bersamaan kali ini, memang seolah tertutupi oleh pandemi, sebagai pusat perhatian publik. Pembiayaan kegiatan politik, khususnya terkait dengan proses pemilihan terjadi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas kampanye politik domestik.

Apa yang dikatakan oleh Ekonom, Rizal Ramli, bahwa indonesia sedang menganut “demokrasi kriminal”. Pernyataan ini disampaikannya pada saat diskusi yang digelar oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bengkulu di Cafe Angkanan Kota Bengkulu, Minggu (29/4/2018).

Indikasi demokrasi kriminal yang dimaksud salah satunya adalah banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus Kriminal. Dari 350 orang bupati lebih dari 300 orang terlibat korupsi begitu juga dengan gubernur lebih dari setengah dari seluruh gubernur di Indonesia terlibat kasus kriminal. Angka tersebut memberikan kesimpulan kalau sistem demokrasi yang sedang kita anut adalah sistem demokrasi kriminal.

“Indonesia sedang menganut sistem demokrasi kriminal, 300 orang lebih bupati terlibat korupsi dari 350 orang bupati seluruh Indonesia, setengah dari gubernur terlibat korupsi, artinya sistemnya yang salah bukan personalnya, sekalipun orang baik kita sodorkan dalam sistem ini tetap akan menjadi kriminal juga,” ujar Rizal Ramli.

Pemilihan pemimpin dalam demokrasi menerapkan aturan buatan manusia. Maka dari itu sering terjadi perselisihan, perdebatan, dan perebutan kekuasaan, karena mereka menganggap aturan mereka yang paling benar.

Selepas pemilu pasti meninggalkan kekecewaan kepada rakyat, karena harapan dan janji dari calon pemimpin setelah terpilih menjadi penguasa banyak yang tidak dipenuhi dan diabaikan. Mereka hanya memikirkan untung dan rugi dalam setiap kampanye sebelum pemilu.

Dalam setiap pemilihan seorang pemimpin pasti melibatkan rakyat untuk memilih pemimpin yang bisa meriayah rakyatnya. Begitu juga pemilihan dalam kepemimpinan Islam yang disebut Khilafah. Negara Khilafah adalah negara Khalifah itu sendiri. Karena itu kekuasaan di negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain.

Maka negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power) sebagaimana yang diperkenalkan oleh Monslesque dalam sistem negara demokrasi. Meski demikian kekuasaan dalam sistem pemerintah Islam tetap di tangan rakyat. Bahkan seorang Khalifah yang berkuasa dalam negara Khilafah tidak akan bisa berkuasa jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat.

Meski demikian, Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat yang diperoleh melaui bai’at in’iqod yang diberikan kepadanya. Namun, rakyat bukan majikan Khalifah, sebaliknya Khalifah itu buruh rakyat, tetapi meskipun demikian seorang Khalifah dalam mengemban tugas bukan untuk menjalankan kehendak rakyat. Sebab akad antara rakyat dengan Khalifah bukan akad ijarah, melainkan akan untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah.

Karena itu selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan dan harus si beehentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazholim.
Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi. Sebagaimana konsep sparating of powernya Monslesque yang memberikan mereka kekuasaan legistasi. Karena kekuasaan dalam Islam sepenuhnya di tangan Khalifah dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Dengan begitu representasi rakyat ini hanya mempunyai hak dalam cheek and balance.

Pemilu Majelis Umat
Meski posisi umat bukan sebagai legislatif tetapi meraka tetap merupakan wakil rakyat dalam konteks syura (memberi masukkan) bagi Muslim, Sakwa (komplain) bagi non-Muslim. Karena itu, anggota majelis umat ini terdiri dari pri wanita Muslim dan non- Muslim. Sebagai wakil rakyat, maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh atau diangkat. Mereka mencerminkan dua. Pertama sebagai leader di dalam komunisnya dan kedua sebaga representasi.

Sebelum dilakukan pemilu majelis malelis umat, terlebih dahulu akan dialakan pemilu majelis wilayah.

Majelis wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan
1. Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah tingkat 1) tenang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya, sehingga bisa mewujudkan kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya.
2. Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali.

Dengan demikian fakta majelis wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali dengan memberikan (quidance) kepadanya tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Kewenangan lain sebagaimana kewenangan yang dimiliki majelis umat.
Pemilihan majelis umat didahului dengan pemilihan majelis wilayah, yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah.

Mereka yang memilih anggota Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat dipilih oleh Majelis Wilayah. Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi Majelis Umat. Jika suaranya sama maka bisa dipilih ulang. Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota yang dibutuhkan.

Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa menerapkan masa jabatan mereka dalam UU Pemilu selama 5 tahun atau lebih semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah.

Tiap Muslim maupun non-Muslim baik pria maupun wanita yang berakal dan baliqh, mempunyai hak unruk memilih dan dipilih anggota Majelis Umat. Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai yang berbeda. Bagi anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura, yaitu menyatukan pandanga tentang hukum syara, strategi konsep dan aksi tertentu.

Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam menyatukan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap mereka tentang kezholiman dan kompain. Tidak lebih dari itu. Tentu saja sistem pemilu dalam Islam sangat simpel dan tidak memerlukan biaya yang besar, menjadi celah untuk korupsi ketika berkuasa, untuk mengembalikan biaya politik yang tinggi. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here