Herd Immunity, Hukum Rimba dan Penuh Dosa

0
574

Oleh: Syizka Syepridha

Wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Dengan begitu virus akan sulit menemukan host atau inang untuk menumpang hidup dan berkembang. Kondisi itu disebut dengan Herd Immunity atau kekebalan kelompok.

Menurut pakar epidemiologi Universitas Padjajaran (Unpad), Panji Fortuna Hadisoemarto, secara teori, kalau suatu penyakit menular sudah menginfeksi sejumlah tertentu di suatu kelompok masyarakat, otomatis herd immnunity terbentuk. Dengan asumsi infeksinya akan menimbulkan kekebalan. Namun sebelum kekebalan ini terbentuk, mayoritas kelompok masyarakat mesti terinfeksi terlebih dahulu. Semakin menularkan suatu penyakit, semakin banyak penduduk yang terinfeksi sebelum terbentuknya herd immunity. Jadi kekebalan kelompok diterapkan pada suatu populasi yang tak menerapkan karantina wilayah maupun intervensi lain yang menjegal laju penyebaran virus.

Jadi virus dibiarkan menginfeksi ke seluruh kelompok masyarakat sampai terbentuk herd immunity dengan sendirinya. jika hal itu dilakukan di Indonesia dalam konteks wabah Covid-19 ini, maka 75 persen penduduk Indonesia terinfeksi virus Corona. Hal itu dengan catatan pemerintah tidak melakukan intervensi apa-apa, termasuk karantina wilayah dan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB).

Panji pun memprediksi bahwa jika kelompok besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi, maka persentase angka kematiannya tak sebesar seperti saat ini yang mencapai sekitar delapan persen. Namun secara nominal angka kematiannya sangat jauh melambung. Liputan6.com, Minggu (5/4/2020).

Memahami Masalah
Bukan sekali dua kali kesan yang ditampilkan pemerintah dan penguasa saat ini justru membuat sakit hati masyarakatnya. Ketika sekarang wabah sudah menyebar di negeri sendiri, bukannya fokus untuk mencari solusi agar penyebaran wabah tidak terus berlanjut, dan penyembuhan bisa cepat diatasi, pemerintah malah sibuk mengurus yang lain, seperti pindah ibu kota, UU minerba, dsb.

Lalu…. masyarakat dapat apa?
Seperti yang diuraikan di atas. Rakyat disuruh berjuang sendiri, yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan tersingkir dengan kematian. Semurah itulah pemerintah kita menilai nyawa manusia. Nauzubillah….

Nilai nyawa manusia dalam Islam
Lalu, bagaimana nilai nyawa dalam perspektif Islam? Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ranah Ushul Fiqih masuk dalam kategori “al-Dharūriyāt al-Khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, pada asalnya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli, nyawa orang muslim maupun kafir. Terkait masalah ini, ada firman Allah:
مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas bahwa orang yang menghilangkan nyawa seseorang tanpa ada kesalahan yang jelas –sesuai syariat—maka seolah-olah seperti membunuh semua manusia. Meski ayat ini terkait dengan Bani Israil, namun pesannya tetap berlaku hingga akhir zaman. Bahkan, jika yang dibunuh adalah orang beriman dengan sengaja –tanpa ada alasan jelas—maka diancam dengan hukuman neraka jahannam, kekal di dalamnya dan dimurkai Allah:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa [4]: 93)

Tidak berlebih-lebihan jika Nabi pernah bersabda:
أوَّلُ مَا يقضَى بينَ الناسِ يومَ القيامةِ في الدِّماءِ
“Pertama kali yang akan dituntut pada hari kiamat adalah masalah (pertumpahan) darah.” (HR. Bukhari, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad) Maka, urusan menghilangkan nyawa seseorang dalam Islam bukanlah hal sederhana.

Dalam hukum Islam, masalah penghilangan nyawa ini masuk bab “Jinayāt” (tindak kejahatan atau kriminal). Dalam buku “Minhāj al-Muslim” (404, 405) dijelaskan ada 3 macam tindakan kriminal dalam jenis ini.

Pertama, membunuh secara sengaja dengan berbagai cara. Pembunuhan semacam ini hukumannya adalah qishash. Berdasarkan Al-Maidah ayat 45, orang yang melakukan tindakan demikian harus diqishash (dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan). Kecuali, pihak keluarga memaafkan, maka si pembunuh wajib membayar tebusan (diyat).

Kedua, pembunuhan semi sengaja. Yaitu orang yang menyakiti seseorang tapi tidak berniat sampai membunuhnya. Orang demikian –ketika korban terbunuh—maka wajib membayar diyat dan kaffarah (tebusan).  Ini sesuai dengan surah An-Nisa ayat 92.

Ketiga, pembunuhan tak sengaja. Misalkan orang berburu dengan tembak, lalu pelurunya mengenai orang hingga tewas. Pembunuhan yang tak sengaja semacam ini, hukumnya sesuai dengan semi sengaja, namun diyatnya lebih ringan. Perbedaan yang lain, yang semi sengaja, berdosa. Sedangkan yang tak sengaja, tidak berdosa.

Dari beberapa keterangan diatas, jelaslah bahwa nyawa dalam perspektif Islam sangat-sangat berharga. Begitu tingginya nilai nyawa sampai-sampai ada hukum tersendiri mengenainya.

Bagaimana terkait wabah ini wahai penguasa sudah sekian banyak memakan korban? Tak takutkah kalian dengan hukuman dari Allah sang Maha segala-galanya. Ataukah materi dunia sudah membuat kalian semua lupa bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya. Wallahu alam bi syawab. Mari belajar Islam Kaffah, agar tak bodoh oleh gemerlap dunia. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here