Menyoal Tanah dalam Sistem Islam

0
320

Oleh : Ismawati
(Aktivis Dakwah Banyuasin)

Pada Senin, 24 Agustus 2020 lalu, ratusan massa Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS) melakukan aksi unjuk rasa bersama Forum Pemuda Pemudi Pagar Batu di halaman kantor Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Lahat. Aksi ini digelar dengan dua tuntutan kepada Bupati Lahat, Cik Ujang.

Tuntutan pertama ialah terkait dengan dugaan kasus pembunuhan yang mengakibatkan dua warga Pagar Batu Lahat meninggal dunia. Sementara tuntutan kedua, perihal Bupati Lahat harus segera menjalankan rekomendasi Wamen ATR/BPN RI, Gubernur Sumsel, dan DPRD Lahat, untuk membahas kasus konflik lahan dan menyelesaikan konflik lahan atau membuat kebijakan untuk Desa Pagar Batu dengan mengembalikan lahan seluas 180,36 hektar dengan pola apapun atas PT Arta Prigel yang memiliki HGU dengan luas 7.075 hektar.

Sementara, pada Jumat (28/8) telah terjadi rapat fasilitasi sengketa antara warga desa Purwaraja dengan PT Lonum, TBK yang digelar di ruang Opprom Setda Pemkab Lahat. Rapat ini menindaklanjuti hasil pertemuan dengan masyarakat desa saat ingin menduduki lahan yang disengketakan. Setelah melalui proses mediasi dan secara administrasi bahwa warga telah membuktikan bahwa lahan tersebut memang lahan warga Desa Purwaraja.

Polemik Lahan

Sering kali di negeri ini terjadi konflik sengketa atas lahan pertanian. Yang terparah adalah bertarung atas hak tanah antara rakyat dengan para kapital. Hal ini berawal tatkala eksploitasi tanah diberikan kepada para pemilik modal. Di negeri yang kaya raya ini, pemerintah tak mampu menghalau kapitalisasi para pengusaha utamanya dibidang pertanian. Alhasil, kekerasan berujung konflik lahan terhadap petani sering terjadi. Apalagi sudah jelas bahwa 165 ha yang disengketakan ke dalam wilayah Desa Purwaraja dan ada berita acaranya dan telah ditandatangani oleh tim.

Wajar saja, karena negara saat ini mengemban sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan alam sebagian besar hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Baik asing maupun korporat lokal ikut mengeruk kekayaan alam negeri. Berbagai macam cara dilakukan untuk memuluskan jalan masuk mendapatkan kekayaan, salah satunya dengan menggarap lahan para petani. Sistem hukum yang diterapkan di Indonesia lebih pro kepada para kapital. Dasar hukumnya adalah UU NO. 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 26 dan 27 tentang izin pemanfaatan kawasan, UU No 18/2003 tentang Perkebunan.

Pandangan Islam

Sementara di dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk di dalamnya tanah, hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Allah Swt berfirman yang artinya:
“Dan kepunyaan Allah-lah yang ada di langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali(semua makhluk)” (TQS. An-Nur : 42).

Oleh karena itu, di dalam sistem pemerintahan Islam, kepemilikan tanah harus diatur sesuai syariat Islam.

Kepemilikan dalam syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang dilayani oleh Allah Swt bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy-syari ‘bil al-intifa’ bil-‘ain). Dalam syariah Islam masalah kepemilikan tanah mempertimbangkan dua aspek; yaitu zat tanah (raqabah a;-ardh), dan manfaat tanah (manfaah al-ardh) yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan cara yang sah secara syariah, dengan enam cara menurut hukum islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya ‘ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (mempersembahkan negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Syiayah al-Iqtishadiyah al-Mustla, Hal.51).

Pemilik tanah memiliki hak untuk mengelolanya tau memindahtangankan secara waris, ataupun jual beli. Kepemilikan tanah ini bersifat pasti tanpa ada pihak lain yang dapat mencabut hak-haknya. Dan negara diwajibkan melindungi harta milik warga negara dari ancaman pihak lain.

Di dalam sistem ekonomi Islam ada hukum yang mengatur penguasaan tanah secara khusus misalnya dengan menghidupkan tanah mati (tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya selama bertahun-tahun) maka, seseorang boleh menghidupkan tanah tersebut dengan bercocok tanam. Sebagaimana Sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu adalah hak perlindungan”. (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, konflik lahan pertanian akan berakhir apabila negara melepaskan diri dari cengkraman sistem kapitalisme yang semakin membelenggu negeri. Karena di dalam Islam telah jelas bagaimana Allah Swt memberikan hukum syariat atas kepemilikan tanah. *** Wallahu a’lam bisshowab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here