ULN Kian Tinggi, Mengancam Kedaulatan Negeri

0
240

Oleh: Siti Muslikhah, SPd (Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)

Pandemi wabah Covid-19 telah berlangsung kurang lebih kurang empat bulan. Untuk penanganan pandemi wabah ini pemerintah memerlukan dana yang tidak sedikit. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan melalui video conference, Rabu (3/6/2020) bahwa anggaran penanganan Covid-19 Rp.677,2 triliun membengkak Rp. 272,1 triliun atau 67 persen dari anggaran sebelumnya yaitu Rp. 405,1 triliun.

Besaran anggaran itu diperuntukkan pertama, bagi bidang kesehatan sebesar Rp. 87,55 triliun. Kedua, perlindungan sosial masyarakat yang terdampak Covid-19 sebesar Rp. 203,9 triliun. Ketiga, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Mengengah (UMKM) yang terdampak Covid-19 sebesar Rp. 123,46 triliun. Keempat, insentif dunia usaha agar mereka mampu bertahan dengan melakukan relaksasi di bidang perpajakan dan stimulus lainnya sebesar Rp 120,61 triliun. Kelima, pendanaan korporasi yang terdiri dari BUMN dan korporasi padat karya Rp. 44,57 triliun. Keenam, dukungan untuk sektoral maupun kementerian dan lembaga serta Pemda sebesar Rp 97,11 triliun (Kompas.com 4/6/2020).

Pemerintah dengan cepat merespon kondisi ini dengan mengubah postur APBN 2020 melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Juni 2020 dan diundangkan pada tanggal 25 Juni oleh Menteri Hukum dan Ham Yasonna Laoly. Ini adalah perubahan APBN 2020 kali kedua akibat pandemi Covid-19, yang sebelumnya perubahan APBN 2020 ini diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 pada 3 April 2020 lalu.

Tujuannya untuk mengakselerasi belanja negara terkait penanganan pandemic Covid-19 dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Dalam Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tersebut, Anggaran Pendapatan Negara diperkirakan sebesar Rp 1.699 triliun. Pendapatan tersebut terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp 1.404 triliun, penerimaan bukan pajak Rp 294 triliun dan penerimaan hibah sebesar Rp 1,3 triliun.

Sementara itu, anggaran belanja pemerintah menjadi Rp 2739 triliun dan pembiayaan anggaran juga diperkirakan mencapai 1.039 triliun, (tirto.id 27/6/2020).

Jika kita lihat sumber pendanaan APBN 2020 ini, sumber terbesar didapat dari penerimaan perpajakan yaitu 83 persen. Defisit anggarannya pun lebih tinggi yakni Rp 1.039 triliun atau 6,34 persen dari sebelumnya di Perpres Nomor 54 Tahun 2020 yang diperkirakan hanya defisit 5,07 persen PDB. Akibatnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin terbebani untuk pembayaran utang.

Adapun posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp 5.258, 57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp 5.172,48 triliun. Rasio utang per akhir Mei 2020 naik dari angka 32,09 persen dari PDB dari bulan sebelumnya di angka 31,78 persen dari PDB. Komposisi utang tersebut terdiri dari Rp 4.442,90 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 815,66 trilun dari pinjaman yang terbagi menjadi Rp 9.94 truliun pinjaman dalam negeri dan Rp 805,72 triliun pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri terdiri dari Rp. 316,68 triliun bilateral, Rp 446,69 triliun multilateral, dan Rp 42,35 triliun dari bank komersial (tirto.id 17/6/2020 ).

Kondisi ini tentu mengundang pertanyaan, pertama, mengapa negara Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah, justru sumber pendapatan APBN terbesarnya dari pajak? Kedua, dengan posisi utang yang demikian tinggi apakah ini tidak berbahaya bagi negeri ini?

Salah Pilih Sistem, Buat Negara dan Rakyat Susah

Pilihan sistem yang digunakan untuk mengelola negeri ini termasuk dalam mengelola sumber daya alam adalah sistem kapitalisme. Sistem ini telah membuat sumber daya alam negeri ini dikuasai oleh sektor swasta asing dan aseng. Karena sistem kapitalisme tidak mengakui kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kapitalisme hanya mengakui kepemilikan individu. Itu sebabnya negeri ini tidak bisa memenuhi APBN dari pengelolaan sumber daya alam.

Sebab itu sumber pasukan dana negara terbesar sistem kapitalis berasal dari sektor pajak atau utang. Negara akan menarik pajak hampir di semua sektor. Ketika negara tidak bisa memungut pajak dari rakyat untuk memenuhi pendapatan negara, solusi alternatifnya adalah utang.

Dalam kapitalisme berhutang adalah instrument penting untuk menambal defisit anggaran. Utang diperbolehkan asal tidak melampaui batas aman. Namun ternyata batas aman utang tersebut bisa diubah oleh pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh Menteri koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, selama ini rasio utang terhadap PDB Indonesia dipertahankan di bawah 30 persen. Namun, akibat wabah Covid-19 dengan terpaksa rasio utang hasus dinaikkan dalam beberapa waktu mendatang. Demikian pula defisit terhadap PDB yang biasaya dipertahankan di bawah 3 persen diperkirakan naik hingga menjadi 6,3 persen pada tahun ini. Menurut Luhut, hal itu perlu dilakukan sebagai upaya pemerintah memulihkan ekonomi sebagai imbas dari dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tahun 2020 (Jawa Pos.com 29/6/2020).

Utang kepada para kapital yang terus membumbung inilah yang justru mengancam kedaulatan negara dan menambah penderitaan rakyat secara tidak langsung.

Sebagaimana dikatakan oleh Kamrussamad, anggota DPR RI bahwa penambahan utang sangat berbahaya bagi kedaulatan NKRI (fajar.co.id 19/05/2020).

Negara akan mudah dikendalikan dan didikte kebijakannya sesuai kepentingan para kapital sebagai kompensasi utang yang dipinjam. Tentu kondisi ini yang mengancam kedaulatan negara karena negara selalu terintervensi oleh kepentingan-kepentingan para kapital.

Sungguh sistem ekonomi kapitalis yang merupakan turunan Idiologi Kapitalisme Sekuler telah menyusahkan rakyat ataupun negara teramat dalam. Mereka harus terkungkung untuk memenuhi kepentingan-kepentingan para pemilik modal. Pandemi Covid-19 yang telah menguliti kegagalan sistem ekonomi kapitalis dalam menjamin kebutuhan rakyat maupun negara, seharusnya membuka mata kita untuk mencari sistem alternatif lain.

Penyelesaian Defisit Anggaran dalam Islam

Islam memiliki solusi efektif dan efisien disemua turunan kebijakannya karena itu Islam bukan hanya sebagai agama melainkan idiologi yang berasal dari pencipta manusia, Allah SWT. Oleh karena itu kebijakan akan bersumber kepada Al-qur’an dan As sunah bukan kepentingan kelompok.

KH. M Shiddiq Al-Jawi, menjelaskan tiga strategi Islam dalam menyelesaikan defisit anggaran yaitu:
Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, pemimpin dalam sistem Islam (Khalifah) berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, tentunya harus tetap sesuai dengan hukum-hukum syariah Islam. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:

(1) Mengelola harta milik negara (istighlal amlak ad-dawlah). Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.

Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun, ada catatan penting, bahwa ini tak berarti negara menjadi pedagang atau pebisnis, yaitu selalu berusaha mencari profit dan menghindari risiko atau kerugian. Negara dalam hal ini wajib tetap mengedepankan fungsinya menjalankan ri’ayatus-syu‘un atau pengaturan urusan rakyat.

(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pelayanan kesehatan. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan, seperti pembangunan rumah sakit, menyediakan sarana dan alat kesehatan, obat-obatan, membayar gaji dokter dan tenaga kesehatan dan sebagainya.
Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, misalnya tatkala Rasulullah SAW melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum muslim.

(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.

(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan. Khalifah dapat menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya.

Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Misal: menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi Khalifah dan aparat pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak.

Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): pertama, utang tersebut pasti menarik bunga, yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275). Dan yang kedua, pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘ [4]: 141).

Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia.

Sistem Islam secara jelas mampu memberikan solusi dalam mengatasi masalah defisit anggaran negara tanpa perlu mengorbankan negara dalam jerat utang bahkan menjadi pilihan terakhir dalam strateginya. Maka sudah selayaknya kita jadikan sistem Islam sebagai aturan hidup bermasyarakat dan bernegara. *** Wallahu a’lam….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here