Waspada, Agenda Modernasi Islam Membidik Ormas

0
598

Oleh: Siti Murlina SAg

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (Sultan Palembang Darussalam) Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) bertemu dengan Wakil Gubernur Sumsel H. Mawardi Yahya untuk mengadakan audiensi, terkait dengan pelantikan kepengurusan FPK, Senin (12-7-2021) lalu.

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin menjelaskan tentang pembahasannya dengan Wagub masalah identity dan wabah Covid-19 yang melanda saat ini. Beliau menambahkan bahwa diminta juga oleh Pemprov Sumsel untuk membantu menyejukkan antarsuku yang ada di Sumsel agar tidak timbul SARA. Pengurus FPK diharapkan menjadi penjaga kebhinekaan.

Dan sewaktu-waktu diminta siap membantu program Pemprov serta bersedia menjadi mitra pemerintah yang unggul dan tangguh dalam melaksanakan tugas yang diberikan. Agar dapat menjadi percontohan bagi provinsi lainnya yang ada di seluruh Indonesia.

Upaya tersebut adalah untuk menunjukkan masifnya upaya pemerintah yang sudah dicanangkan, dalam rangka mobilisasi moderasi Islam di seluruh lini kehidupan masyarakat. Sudah kita ketahui bersama bahwa pemerintah telah menunjuk Kemenag sebagai lembaga yang menjadi penggerak Islam moderasi.

Seluruh jajarannya sudah dibina dan disiapkan untuk menjadi agen-agen moderasi di tengah masyarakat.

Nampaknya selain menyasar pada lembaga-lembaga, pemerintah daerah mulai merangkul organisasi kemasyarakatan sebagai mitra. Yang misinya bergerak bersama dalam membangun dan merawat persatuan bangsa dan siap menjadi garda terdepan untuk menjaga kebhinekaan.

Dampak buruk dari penerapan sistem demokrasi kapitalis sekuler saat ini, yang memisah agama dari kehidupan membuat paradigma berpikir masyarakat tidak ada standar nilai yang baku tentang baik dan buruk suatu perbuatan. Di sini lah penjajah barat masuk melalui perang pemikiran (ghazwul fikr) ke negeri-negeri kaum muslimin. Individu masyarakat krisis ideologi dan identitas Islamnya.

Maka ketika apapun yang diaruskan oleh penjajah barat lewat agen-agennya yaitu dari pusat sampai ke daerah, yang membangun berbagai proyek dan kemitraan, dalam berbagai bidang dan lembaga, individu masyarakat menerima begitu saja tanpa berpikir jernih bahwa itu adalah ide yang rusak dan batil maka terjadilah krisis multidimensi seperti saat ini.

Modernasi Islam adalah hasil perkawinan ideologi kufur barat dan ideologi Islam. Yang dipakai barat untuk melanggengkan hegemoni mereka atas negeri-negeri kaum muslimin. Seharusnya kaum muslimin sadar akan hal ini, ini proyek penjajahan gaya baru (Neo imprealisme).

Racun berbalut madu tersebut mereka bungkus dalam kemasan yang menarik hampir semua orang tak menyadarinya yaitu kata moderasi. Justru program inilah yang makin menjauhkan umat dari ajaran Islam yang mulia. Dan tanpa disadari umat diaruskan menjadi role model ide kufur tersebut dan disiapkan sebagai antek yang menularkan kepada umat lainnya.

Demikian juga dengan istilah-istilah seperti kebangsaan, pembauran, kebhinekaan, yang mereka gunakan untuk menarik simpati umat. Kalau kita cermati lebih jauh akar istilah tersebut diambil berbagai macam budaya dan tradisi masyarakat di suatu daerah. Nuansa budaya dijadikan basis moderasi agama.

Diharamkan bagi umat melakukan sesuatu perbuatan tanpa pertimbangan Syara’. Sebagai seorang muslim seharusnya kita mendudukkan budaya dan adat istiadat secara tepat dalam timbangan syariat, sekaligus mampu mengambil sikap yang tepat ditengah derasnya arus modernasi Islam yang menganggap adat bagian dari ajaran Islam.

Budaya dan adat istiadat merupakan produk pemikiran, karenanya ia adalah bagian dari peradaban (hadharah). Sebagai produk pemikiran maka budaya dan adat istiadat lahir dari ajaran atau akidah tertentu. Maka jika hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam tidak boleh serta merta dianggap sebagian dari syariat Islam. Sebab, budaya dan adat istiadat terpancar dari akidah lain, bukan Islam.

Walau ada sebagian ulama menjadikan budaya, adat (al-‘adat) dan konvensi (al-‘urf) sebagai dalil. Alasannya ada dalam Al Qur’an yang berbunyi:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (TQS. Al-a’raf (7): 199)

Frasa, ” wa’ mur bil ‘ urf” ( dan suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) mereka gunakan sebagai hukum. Mereka konotasikan ini dengan beberapa masalah fikih yang mereka dakwa, ditetapkan menggunakan konvensi ( al-‘ urf).

Dan mereka menduga bahwa Nabi Saw telah mengakui sejumlah konvensi dan Al ‘adat, karena itu mereka jadikan dalil syariat.

Kita harus menjelaskan kekeliruan dalil yang mereka ambil dari surat al-‘Araf ayat 99 tadi, ayat tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan konvensi dan adat.

Pertama, mengenai frasa ” wa’mur bil ‘urfi” maknanya adalah pentahkan perbuatan yang baik. ‘Urf disini disamakan maknanya adalah al-ma’ruf (perbuatan yang terpuji). Jadi tidak boleh menjadikan konvensi dan adat sebagai dalil. Serta tidak boleh menuduh Nabi Saw telah mengakui ha tersebut. Yang menjadi dalil adalah hadits Nabi Muhammad SAW.

Kedua, konvensi (‘urf) adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus bahaya, akan merusak akidah. Karena setiap Muslim wajib melaksanakan perbuatannya sesuai perintah dan larangan Allah SWT. Syariahlah yang mesti dijadikan patokan adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya.
Adat-istiadat atau konvensi tidak boleh dijadikan baik sebagai dalil maupun kaidah syariah.

Ketiga, kadangkala adat-istiadat atau konvensi tersebut menyalahi syariah, kadangkala tidak. Jika adat-istiadat atau konvensi menyalahi syariah, maka syariah datang untuk membersihkan atau mengubahnya. Hal ini karena di antara tugas syariah adalah mengubah adat istiadat atau konvensi yang rusak, bukan memeliharanya.
Jika adat-istiadat atau konvensi tersebut tidak menyalahi syariah, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariah, bukan berdasarkan adat istiadat atau konvensi tersebut. Syariahlah yang menjadi dasar kepada adat istiadat atau konvensi. Bukan sebaliknya.

Keempat, adat istiadat atau konvensi tidak memiliki landasan baik dalam Al-quran, Sunah, maupun Ijmak Sahabat. Karena itu adat istiadat atau konvensi tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai dalil syariah. Ini karena, apapun tidak diakui sebagai dalil syariah, kecuali dinyatakan oleh Al-quran dan Sunah.
Kelima, adat istiadat atau konvensi itu ada yang baik (hasan), dan ada yang tidak (qabîh). Adat istiadat atau konvensi yang tidak baik, pasti tidak diakui.

Penentu baik (hasan) dan buruk (qabih) adalah syariah Islam bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sebab akan sangat berbahaya apabila baik dan buruk ditentukan akal dan hawa nafsu manusia.

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah ; 216).

Dalam modernasi Islam, pengarus utamaan kearifan lokal yang merupakan bagian dari kekayaan budaya dijadikan sebagai landasan perilaku dan praktik beragama secara moderat di msyarakat. Contohnya seperti acara siklus hidup dan kematian, kenduri, sedekah dusun, penanaman dan pelarungan kepala sapi atau kerbau dan sebagainya.

Kalau dilintas agama antara lain halal bihalal idul Fitri bersama, panitia idul kurban bersama, natalan bersama, doa lintas agama.

Inilah kaitannya dengan setrategi penguatan moderasi beragama yang diprogramkan oleh pemerintah saat ini dalam seluruh aspek kehidupan.

Sepantasnya seorang muslim peka terhadap ide-ide yang merusak akidah Islam-nya dan berupaya untuk melawannya. Bukan malah ikut bersama dalam proyek tersebut.

Hanya ideologi Islam saja yang boleh diemban oleh seorang muslim bukan yang lainnya. Serta wajib berupaya untuk memperjuangkannya dan berupaya untuk menegakkannya dalam naungan daulah Khilafah Islamiyah.

Sebagaimana firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. ( TQS. Ali Imran (3):102)

Wallahu a’lam bishshawab***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here