Oleh: Dahlan Pido, SH., MH (Praktisi Hukum/Advokat Senior)
Bahwa Pasal2 dan 3 UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) ini menimbulkan ketidakpastian hukum, yang telah dimaknai dengan semena-mema oleh aparat penegak hukum, terutama dikaitkan dengan kerugian keruangan negara. Bahkan orang yang tidak mempunyai niat jahat bisa didakwa dengan pasal ini, karena akibat kebijakan yang diambil, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1Milyar“, sebaiknya DIBATALKAN. Jika tetap diperlukan, harus diberikan syarat adanya “SUAP MEMYUAP”. Menurut hemat kami, ketikaadakebijakan management yang diambil dengan baik (business judment rule) tanpa ada “suap menyuap” seharusnya dihargai sebagai kebijakan tanpa niat buruk.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan pengujian UU (Judicial Review) terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 UUNo. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UUNo. 20 Tahun 2001, melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa frase “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kemudian menjadi permasalahan hukum apakah adanya Putusan MKNo. 25/PUUXIV/ 2016 akan menjadi solusi atas permasalahan penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang ada, ataukah sebaliknya akan menimbulkan permasalahan hukum baru?. Secara historis, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ditujukan kepada subjek yang merupakan seorang PNS atau pejabat publik yang memiliki kekuasaan, meskipun dalam UU Tipikor dan perubahannya, tidak secara tegas menyatakan demikian.Hal ini sebagaimana diungkapkan Oemar Seno Adji, saat menjadi wakil Pemerintah dalam pembahasan dengan DPR-RI yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b UU No. 3 Tahun 1971 harus ditujukan kepada pengawai negeri sipil atau kedudukan istimewa yang dimiliki seseorang di dalam jabatan publik sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor memiliki tiga unsur,yaitu (a) memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; (b) melawan hukum; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut adalah perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menggunakan sarana melawan hukum tanpa perlu dibuktikan apakah dari perbuatannya tersebut timbul kerugian keuangan atau benar-benar merugikan perekonomian negara. Pasal tersebut merupakan delik formil (formeeldelict) karena perbuatan yang hendak dipidana adalah manifestasi dari perbuatan seorang pegawai negeri atau kedudukan seorang pejabat publik yang secara tidak patut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan segala akibat hukumnya. Sementara pada Pasal 3 UU Tipikor juga memiliki tiga unsur yaitu (a) dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi; (b) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (c) dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Dari rumusan deliknya, Pasal ini ditujukan kepada pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan tertentu. Adanya unsur “menyalahgunakankewenangan” yang frase tersebut secara inherent selalu mengandung sifat melawan hukum. Selain itu dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971 yang mengkaitkanunsurmenyalahgunakankewenangandenganketentuanPasal 52 KUHAP, yang juga hanyaberlakubagipegawai negeri.
DalamPasaliniharusdibuktikanterlebihdahulubahwapegawai negeri ataupejabatpubliktersebutmemilikikewenanganuntukkemudiandibuktikanbahwaadakewenangan yang diselewengkansebagaisarana dan tujuanuntukmenguntungkandirisendiriatau orang lain. Sama halnyadenganrumusanPasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, perumusantindakpidanakorupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juga dirumuskansecaraformil (formeel delict).
PenerapanPasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tersebutharusdipertimbangkanadanyakesengajaan dan kausalitasantarasubjektindakpidana, unsurmelawanhukum, dan unsurmempekayadirisendiriatau orang lain. Harus adahubungankausalitas yang nyatabahwaperbuatan yang dilakukan oleh seorangpegawai negeri ataupejabatpublik yang dilakukandengansaranamelawanhukumataumenyalahgunakankewenanagankesempatanatausarana yang adapadanyakarenajabatanataukedudukantersebutmengakibatkanpegawai negeri ataupejabatpublikatau orang lain yang terkaittersebutmemperolehkekayaan yang tidakwajar. Jika tidakbisadibuktikanmakaperbuatantersebuttidakdapatdikualifikasikansebagaitindakpidanakorupsi.
Selainitu, dalamunsurmemperkayadirisendiri, orang lain ataukorporasisecaratersiratterdapatunsurkesalahan. Akibatnya,ketikapentututumumatauHakim membuktikanunsuriniharusdapatdibuktikan,bahwaadanyaniatjahatdaridariseorangpegawai negeri ataupejabatumum yang memperkayadirisendiriatau orang lain ataukorporasitersebut. Terkaitdenganpermasalahanpembuktiankerugian negara,makamencakupsiapa yang berwenanguntukmenerbitkanlaporanmengenaikerugian negara tersebut. SebelumadanyaPutusan MK No. 31/PUU-X/2012, perhitungankerugian negara saatinimenjadikewenangandari Badan PemeriksaKeuangan (BPK) dan PemeriksaKeuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor negara. Permasalahannyatidakadastandartmengenaibentuk audit, dan bagaimanaperhitungankerugian negara tersebut di dalamperkara-perkaratindakpidanakorupsi.
|
|||
DuaputusanMahkamahKonstitusitersebuttelahmemberikanputusan yang kontradiksi. Yang pertama (Putusan No. 003/PUU-III/2006) justrumenegaskanpentingnya kata “dapat” dalamrumusantindakpidanakorupsi yang dimaksudPasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, sebaliknya, yang terakhir (Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016) justru menghilangkan unsure “DAPAT”. Kedua Pasal ini dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum, dengan alas an pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pemohon yang kebetulan berstatus sebagai terdakwa dan terpidana korupsi.
|
|||
Praktiknya, adanya kata “DAPAT”menimbulkan rasa takut dan kuatirbagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman diusut sebagai pelaku korupsi. Adanya kata ‘dapat’ dalam rumusan Pasal 2 dan 3 tersebut dianggap telah menimbulkan rasa khawatir dan takut dikriminalisasi meskipun yang terjadi adalah kesalahan administrasi, sehingga penyelenggara negara, khususnya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), takut mengambil keputusan atau menjalankan kebijakan.
Pemaknaan kembali yang lebih jelas dari MK terkait rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut, terkait unsur kepastian hukum yang adil dan hak bebas dari rasa takutdalam konteks yang berubah menjadi indikator konstitusional duapasal tersebutharus ditafsirkan kembali untuk menegaskan makna kondisi yang berubah, yaitu atas alas an adanya perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan administrasi negara sejak lahirnya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UUini menyebutkan penyelesaian kerugian negara yang timbul menggunakan pendekatan administratif. Norma ini seakan menegaskan doktrin bahwa jalurpidana adalah upaya terakhir (ultimumremedium). Dalam putusannya, MK menilai terkait penerapanPasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tersebut, unsure merugikankeuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delikmateril). Tegasnya, unsure merugikan keuangan negara tidak perlu lag dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapiharus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor. |
|||
MK menerima argumentasi pemohon yang menyatakan pencantuman kata ‘dapat’ membuat delik kedua dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Salah satu acuannya dengan mengkaitkan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mendefiniskan kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, suratberharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hokum baik sengaja maupun lalai.
Perkembangan dan perubahan pengaturan dan penerapan unsure merugikan keuangan negara yang demikian memberikan alasan yang menjadi dasar untuk merubah penilaian konstitusionalitas putusan sebelumnya (Putusan No. 003/PUU-IV/2006), yang dipandang berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam upaya pemberantasan korupsi. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 bagi para Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda, kekuatiran adanya kata “dapat” berpotensi menjadikan seseorang pejabat pemerintah dapat dijatuhi pidana tanpa adanya kesalahan berupa kerugian negara tidaklah beralasan, karena UU tentang Administrasi Pemerintahan telah memberi perlindungan terhadap pejabat pemerintah yang diduga menyalahgunakan wewenang yang merugikan keuangan negara dengan mekanisme pengujian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sedangkan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang yang diduga menimbulkan kerugian negara akan diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparat intern pemerintah. *** |