kliksumatera.com

Pelayanan Kesehatan Gratis Hanya Bisa Terwujud dalam Kepemimpinan Islam

Oleh : Suciyati

Warga desa 80 % masih melakukan pengobatan sendiri, sudahkah fasilitas kesehatan merata di Indonesia?

Pemerataan kesehatan di Indonesia nyatanya belum terjadi, apabila dilihat dari upaya pengobatan masyarakat di perdesaan dan perkotaan.

Akses dan pelayanan kesehatan yang baik merupakan salah satu hak dasar bagi setiap manusia. Masyarakat berhak memperoleh akses pencegahan dan pengobatan suatu gangguan/penyakit dalam dirinya, baik dengan cara mengobati secara mandiri, rawat jalan, dan rawat inap

 

Self-Mediaction atau Pengobatan Mandiri

Menurut World Health Organization (WHO), mengobati secara mandiri atau self-medication adalah upaya pengobatan pada suatu gangguan atau gejala tanpa adanya konsultasi pada tenaga kesehatan terlebih dahulu. Fenomena mengobati sendiri ini cenderung banyak terjadi di wilayah perdesaan dibanding perkotaan.

 

Berdasarkan data di bawah, proporsi penduduk perdesaan yang pernah melakukan self-medication cenderung meningkat pada tahun 2022, tetapi menurun pada 2023 dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan, yakni sebesar 3,5%.

 

Apabila melihat data perkotaan, grafik yang ditampilkan terlihat menurun setiap tahunnya. Pada 2021, terdapat nilai 86,1% lalu menurun 1,8%, kemudian menurun kembali pada tahun 2023 sebesar 5,5%.

 

Pengaruh Status Ekonomi dan Akses Tempat Tinggal

Berdasarkan data di atas, fenomena mengobati diri sendiri nyatanya dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti status ekonomi dan akses tempat tinggal. Status ekonomi dapat dilihat dari kelompok rumah tangga dengan pengeluaran per kapita per bulan paling rendah (kuintil 1), hingga paling tinggi (kuintil 5)

 

Grafik di atas menunjukkan bahwa masyarakat berstatus ekonomi rendah atau kuintil 1, menduduki grafik paling tinggi sejak awal, kemudian stagnan hingga kuintil ke-3. Lalu, pada kuintil ke-4 mulai mengalami penurunan hingga kuintil 5, sebagaimana menunjukkan masyarakat berstatus ekonomi tinggi.

 

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa semakin tinggi status ekonomi, semakin mudah masyarakat mengobati dirinya melalui tenaga kesehatan melalui upaya pengobatan rawat inap atau rawat jalan. Badan Pusat Statistika (BPS) turut mengatakan bahwa lokasi tempat tinggal dapat berpengaruh signifikan terhadap akses pelayanan kesehatan.

 

Dalam hal ini, masyarakat desa/kelompok kuintil 1 cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan rawat inap/jalan akibat beberapa hambatan, mulai dari minimnya akses jalan, hingga tidak adanya finansial yang memadai. BPS menambahkan, semakin tinggi pendapat kepala keluarga, maka semakin tinggi pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk berobat jalan (Rabbaniyah dan Nadjib, 2019).

 

Berdasarkan penjelasan di atas, pemerintah dapat melihat fenomena ini sebagai bahan evaluasi terhadap pemerataan akses kesehatan bagi masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Hal itu dapat diwujudkan melalui jaminan kesehatan yang layak dan baik agar seluruh masyarakat dapat mengaksesnya tanpa terkecuali.

 

Saat ini, terdapat beberapa jaminan kesehatan yang sudah digunakan, seperti BPJS, Jamkesda, asuransi, dan sebagainya. Namun, hal tersebut perlu ditambah dengan perlindungan finansial untuk mencegah keluarga terperangkap dalam kemiskinan akibat biaya kesehatan yang tinggi. Pemerintah dapat terus melakukan pengawasan demi mewujudkan hak kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali.

 

Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik, tetapi berdasarkan perhitungan terbaru, iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial. Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran JKN sampai Oktober 2024 telah mencapai 109,62%, yang berarti beban yang dibayarkan lebih tinggi dari iuran yang didapat. BPJS Kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan sebesar Rp 146,28 triliun. “Jika berkaca dari kondisi rasio klaim tahun 2024 yang sudah mencapai 109,62%, sepertinya kenaikan iuran sebesar 10% tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan biaya layanan kesehatan dan berpotensi akan terjadi defisit hingga gagal bayar,” kata Rizzky kepada Bisnis, Jumat (6/12/2024).

Namun demikian, Rizzky menegaskan, perhitungannya tersebut sangat tergantung dari kebijakan pemerintah terkait manfaat dan tarif yang akan ditetapkan nantinya seperti apa. “Jika tidak ada penyesuaian terhadap kebijakan, maka risiko biaya yang akan terjadi dalam enam tahun ke depan akan lebih tinggi 80% dari kondisi saat ini. Hal ini akan berbeda jika iuran ditetapkan hanya untuk jangka waktu dua tahunan,” katanya. Adapun Peraturan Presiden Nomor 59/2024 telah mengamanatkan pemerintah dapat melakukan penyesuaian manfaat, tarif pelayanan dan besaran iuran JKN. Saat ini, hal tersebut masih dalam proses pembahasan oleh lintas kementerian/lembaga bersama BPJS Kesehatan dan diharapkan penyesuaian ketiga hal tersebut dapat diberlakukan maksimal 1 Juli 2025.

 

Rizzky menegaskan bahwa dalam penetapan besaran iuran, banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti ada tidaknya penyesuaian manfaat dan tarif layanan kesehatan, risiko biaya yang muncul, jangka waktu yang digunakan, kemampuan masyarakat, hingga kemampuan fiskal pemerintah. “Besaran iuran yang ditetapkan tentunya akan berdampak pada kondisi keuangan Dana Jaminan Sosial [DJS] Kesehatan,” kata Rizzky. BPJS Kesehatan telah membuat skenario apablia rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran terus melonjak. Skenario buruknya, aset dana jaminan sosial diproyeksi akan menjadi minus mulai Januari 2025. Skenario normalnya, hal itu akan terjadi mulai Juni 2025, dan skenario terbaiknya aset DJS akan minus pada Januari 2026. Rizzky menjelaskan skenario ini disusun sesuai kaidah aktuaria dan standard pelaporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perbedaan antarskenario ini terletak pada seluruh aspek yaitu kepesertaan, iuran dan utilisasi manfaat. “Dari ketiga aspek tersebut, yang paling dominan sebagai pembeda masing-masing skenario adalah pertumbuhan utilisasi manfaat. Hal ini sejalan dengan kebutuhan akses layanan kesehatan masyarakat yang terus mengalami peningkatan,” jelas Rizzky.

 

Problem Kesehatan masih banyak: fasilitas dan nakes tidak merata, berbiaya mahal/komersialisasi, dll sehingga alih-alih mendapat layanan terbaik, tidak semua warga negara bisa mengakses layanan kesehatan

Kepemimpinan sekuler menjadikan penguasa abai terhadap perannya sebagai raa’in. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator.

Kesehatan justru dikapitalisasi atau menjadi industri. Bisa dipastikan narasi pemerintah soal anggaran kesehatan yang diprioritaskan dan upaya peningkatan standarisasi profesi kesehatan sejatinya bukan untuk rakyat, melainkan demi melayani kepentingan korporasi

Kesehatan adalah kebutuhan dasar publik yang wajib disediakan negara. Jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat ini hanya mungkin terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam.

Khalifah berperan sebagai raa’in, yang menjamin terpenuhinya layanan kesehatan hingga pelosok, dengan fasilitas yang memadai, berkualitas, dan gratis. ***

Exit mobile version