Oleh : Irohima
Bepergian atau berwisata untuk bersenang-senang menjadi salah satu alternatif yang dipilih sebagian besar orang untuk melepas penat, lelah, dan rasa bosan setelah beraktivitas. Destinasi wisata seperti taman, pantai, hutan, laut, dan sungai adalah beberapa pilihan tempat wisata yang tersedia saat ini. Ada sebagian tempat yang memang sengaja dibangun untuk pariwisata, ada juga tempat yang masih alami dan belum terjamah namun kemudian disulap menjadi tempat wisata karena diunggah dan viral di sosial media. Namun sayang, di tengah kepopuleran sebuah tempat wisata, kita terkadang lalai akan dampak kerusakan yang ditimbulkan karena ulah pengunjung yang ‘nakal’ atau karena pengelolaan yang tidak bijak.
Objek wisata Sungai Kasie di Kelurahan Lubuk Tanjung, Kecamatan Lubuk Linggau Barat I, Kota Lubuk Linggau, Sumatra Selatan yang ditutup sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Penutupan objek wisata Sungai Kasie ini dilakukan karena adanya permintaan dari masyarakat yang dipicu berbagai persoalan yang timbul semenjak dibukanya objek wisata Sungai Kasie, beberapa di antaranya adalah masyarakat yang kesulitan mendapatkan air, adanya dugaan pengerukan aliran Sungai Kasie menggunakan alat excavator oleh pengurus wisata, dan adanya karcis retribusi dengan alibi uang kebersihan jika ingin menyeberang sungai, serta pengelolaan Sungai Kasie secara pribadi tanpa melibatkan karang taruna dan tidak memiliki izin hingga sekarang (TribunSumsel.com, 28/07/2024).
Persoalan yang terjadi terkait penutupan objek wisata Sungai Kasie adalah salah satu dampak dari upaya yang hanya fokus mengais pendapatan dari sektor pariwisata namun tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Padahal pendapatan dari sektor lain lebih berpotensi mendatangkan keuntungan dibanding sektor receh pariwisata. Pembangunan sektor pariwisata kerap merugikan masyarakat, banyak hak publik yang kemudian diambil oleh swasta atas nama pembangunan dan kemajuan.
Sebagai negara yang terjajah oleh sistem kapitalisme, kita memang selalu sengaja dialihkan kepada hal-hal receh seperti pariwisata sebagai sarana mengisi anggaran negara, mulai dari memungut pajak ataupun mengambil keuntungan dari tiket tempat wisata yang tak seberapa, sementara pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara kita dan begitu potensial justru dialihkan kepada asing atau swasta, padahal sumber daya alam tersebut bisa menjadi salah satu sumber pemasukan besar bagi negara.
Adanya tempat wisata yang dikelola secara pribadi dan tanpa izin menjelaskan betapa sistem kepemilikan dalam kapitalisme begitu kacau dan tidak jelas, pengaturan dalam hal kepemilikan seharusnya diatur dengan tegas agar tak terjadi pencaplokan wilayah yang menjadi milik umum dan otorisasi hak-hak publik serta kerusakan tempat-tempat wisata. Pengawasan serta aturan yang lemah juga kurangnya kesadaran masyarakat untuk bersikap bijak dalam menjaga kelestarian alam menjadi salah satu penyebab timbulnya kerusakan. Banyak tempat wisata seperti objek wisata Sungai Kasie yang tadinya jernih kemudian berubah jadi kotor akibat ulah orang-orang yang membuang sampah sembarangan.
Kebutuhan akan berwisata melihat keindahan alam yang tak diiringi dengan kesadaran menjaga dan merawat lingkungan akan menimbulkan kerusakan di manapun kita berada, padahal sejatinya setiap sudut alam semesta merupakan keindahan yang luar biasa bila kita jaga.
Negara kita sering mengalami kekurangan anggaran dalam membiayai banyak aspek yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, maka dari itu segala upaya dilakukan pemerintah untuk mencari sumber pemasukan negara, salah satunya dari pariwisata. Kenapa demikian? karena hampir seluruh sumber-sumber pemasukan yang besar seperti tambang telah diswastanisasi, hingga tak ada cara lain untuk menambah pemasukan selain memeras rakyat atas nama pembangunan. Padahal hasil dari sektor pariwisata tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam seperti tambang.
Sistem Kapitalisme telah menjadi biang dari seluruh persoalan yang muncul, kebebasan dalam segala hal termasuk kebebasan dalam kepemilikan membuat banyak hak milik umum ataupun harta yang seharusnya menjadi milik umat dikomersialisasi dan menjadi milik pribadi. Walhasil, yang kemudian dirugikan adalah rakyat. Berbagai pembangunan infrastruktur termasuk pembangunan pariwisata cenderung hanya memperhatikan kepentingan kaum kapitalis tanpa peduli akan dampak yang merugikan umat.
Sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem Islam, sumber daya alam seperti lahan tambang dan sumber kekayaan lainnya, sepenuhnya akan dikelola oleh negara dan hasilnya kemudian dikembalikan lagi untuk kemaslahatan rakyat. Dalam Islam, sumber daya alam yang melimpah ruah bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan negara selain dari pos-pos yang lain seperti ghanimah, kharaj dan fa’i. Islam memiliki sistem kepemilikan yang jelas yaitu kepemilikan umum, negara dan individu, Islam melarang keras kepemilikan apapun yang terkait dengan harta milik umum dan milik negara.
Sungguh, aturan dalam Islam akan membuat pihak manapun tak bisa seenaknya mengelola harta milik umum seperti laut, hutan atau sungai seperti yang terjadi pada Sungai Kasie. Islam juga tak akan mengeksploitasi alam lewat pariwisata hanya untuk mengais pendapatan yang tak seberapa.
Wallahualam bis shawab.