Kenaikan Tunjangan Guru, Benarkah Meningkatkan Kesejahteraan?

0
14

Oleh : Adelusiana

Kabar kenaikan gaji guru ditanggapi dengan beragam reaksi. Apalagi setelah ada penjelasan bahwa yang naik bukan gaji melainkan tunjangan kesejahteraan yang diperoleh setelah lolos program sertifikasi guru.

Dikutip dari KOMPAS.com – puncak peringatan hari Guru di velodrome rawamangun, Jakarta timur pada Kamis (28/11/2024), disambut meriah oleh para guru saat presiden Prabowo Subianto menyatakan akan meningkatkan kesejahteraan guru. “Hari ini saya agak tenang berdiri di hadapan para guru karena saya bisa menyampaikan bahwa kita walaupun baru berkuasa satu bulan, kami sudah bisa mengumumkan bahwa kesejahteraan guru bisa kita tingkatkan,” ujar Prabowo, Kamis (28/11/2024).

Prabowo merinci, tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji untuk guru ASN dan hingga Rp.2 juta untuk tunjangan guru non-ASN atau honorer yang telah mengikuti sertifikasi/ pendidikan profesi guru (PPG). “Guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Guru-guru non-ASN nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp 2 juta ,” jelas Prabowo.

Namun, pernyataan ini belakangan dinilai membuat salah informasi bagi masyarakat luas termasuk para guru. Karena sebenarnya, jika dihitung kenaikan tunjangan guru non ASN hanya sebesar Rp 500,000 per bulan. Hal ini disampaikan ketua ikatan guru Indonesia (IGI) Aceh Utara, Provinsi Aceh, Qusthalani, Jumat (29/11/2024). “Sebenarnya kenaikan gaji itu hanya RP.500,000 untuk guru non ASN. Karena sekarang gaji guru non ASN yang lulus PPG sebesar Rp 1,5 juta. Tahun 2025 menjadi Rp 2 juta,” ungkap Qusthalani.

Pernyataan presiden terkait kenaikan gaji guru nyatanya bukanlah kenaikan gaji. Namun hanya kenaikan tunjangan untuk guru swasta atau non ASN, itupun hanya 500.000. Kebijakan ini jelas menggambarkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan guru.

Kenaikan tunjangan ini jelas tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru, pasalnya kesejahteraan rakyat tidak hanya berkaitan dengan besaran gaji dan tunjangan yang didapatkan tetapi juga sangat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang melingkupi kehidupan masyarakat.

Sementara kita pahami di bawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme banyak kebutuhan pokok rakyat yang membutuhkan biaya besar yang harus ditanggung oleh setiap individu termasuk guru.

Kenaikan harga bahan pangan, papan, kesehatan, pendidikan, BBM, gas, listrik, dan PPN lebih sering terjadi di bandingkan kenaikan gaji guru. Faktanya masih banyak guru yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kekurangan biaya hidupnya, bahkan tak sedikit dari mereka yang terjerat pinjol (pinjaman online) hingga judol (judi online), kasus guru terlibat judi online juga sangat sering kita dapati di media.

Dalam sistem kapitalisme guru dipandang tak ubahnya faktor produksi yang tenaganya digunakan untuk menyiapkan generasi yang siap terjun ke dunia kerja atau industri, semakin banyak generasi yang memiliki kemampuan bekerja semakin besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi, inilah yang terus dikejar oleh sistem ekonomi kapitalisme, padahal pertumbuhan ekonomi ala kapitalis tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat individu per individu.

Hal ini diperparah dengan lenyapnya para negara sebagai pengurus (raa’in) dalam sistem kapitalisme ini, negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator implikasinya, negara melegalisasi keterlibatan pihak swasta dalam mengelola sumber daya alam (SDA), kesehatan, hingga pendidikan karakter penguasa yang sekuler. menjadikan mereka jauh dari karakter Islam, pemikiran dan tingkah lakunya yang tidak dilandasi oleh Islam menjadikan mereka mudah berbuat zalim atau tidak adil, hilang rasa prihatin dan peduli pada rakyatnya hingga tidak mengasihi dan mencintai rakyatnya.

Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekulerisme memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.

Nasib guru tentu akan berbeda di bawah penerapan sistem Islam, Islam sangat memperhatikan guru karena Guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis mencetak generasi yang berkualitas, generasi pembangun bangsa dan penjaga peradaban.

Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang melebihkan kedudukan orang-orang yang berilmu dan para pemberi ilmu, kedudukan guru yang begitu mulia menjadikan kesejahteraannya tidak boleh diabaikan. Guru adalah rakyat pada umumnya dan mendidik generasi secara khusus kesejahteraannya menjadi tanggung jawab penguasa (Khalifah), apalagi penguasa dalam Islam diposisikan oleh syariat sebagai raa’in atau pengurus rakyat.

Penguasa yang menjalankan tanggung jawab besar mewujudkan kesejahteraan rakyatnya termasuk guru, tentu wajib memiliki kepribadian Islam, khususnya kepribadian sebagai penguasa yakni aqliyah hukkam (penguasa), dan nafsiyah hakim (pemutus perkara), selain itu penguasa wajib menjalankan sistem Islam dalam mewujudkan kesejahteraan pada guru, bukan sistem kapitalisme ataupun sosialisme yang terbukti gagal. Pada perkara ini negara mewujudkan kesejahteraan semua guru tanpa terkecuali dan tanpa membedakan satu guru dengan guru yang lainnya dengan memberikan gaji yang layak.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji guru sebesar 15 Dinar /bulan atau sekitar 95 juta rupiah, selain kebijakan penggalian penerapan sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara, juga menjadikan kebutuhan-kebutuhan guru mudah dijangkau.

Harga kebutuhan pokok seperti, pangan, sandang dan papan dijaga kestabilannya dengan support besar negara dan sektor hulu dan hilir,  pelayanan pendidikan, kesehatan hingga keamanan disediakan negara secara gratis, dengan jaminan kebutuhan dan penghidupan yang cukup para guru bisa fokus mendidik generasi dengan ilmu terbaiknya tanpa harus dibayangi kebutuhan di hari esok ataupun mencari tambahan nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Penerapan syariat Islam dalam kehidupan sungguh akan memuliakan guru hingga mampu mencetak generasi unggul dan bertakwa. Wallahu ‘alam bishowab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here