Ada Motif Ekonomi di Balik Pembaruan Pertalite Menjadi Pertamax Green 92

0
86

Oleh : Hasnani

PT Pertamina tengah melakukan kajian untuk melakukan pembaruan Pertalite menjadi Pertamax Green 92. Cara yang dilakukan untuk meningkatkan kadar oktan BBM subsidi RON 90 alias pertalite menjadi RON 92 adalah dengan mencampur pertalite dengan ethanol 7 persen sehingga menjadi Pertamax Green 92.

Kajian tersebut merupakan bagian dari Program Langit Biru Tahap 2 yang masih dibahas secara internal oleh Pertamina yang akan diusulkan ke pemerintah.

Terkait kepastian program tersebut merupakan kewenangan pemerintah. PT Pertamina (Persero) mengusulkan agar produk Bahan Bakar Minyak (BBM), khususnya jenis bensin, yang dijual ke masyarakat mulai tahun depan minimal bisa sekelas Pertamax (RON 92).

Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di mana nilai oktan bensin yang boleh beredar minimal 91 (RON 91).

Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta, pada Rabu (30/8) lalu.

Ia mengatakan program tersebut merupakan hasil kajian internal Pertamina, belum ada keputusan apapun dari pemerintah. Tentu ini akan diusulkan dan akan dibahas lebih lanjut.

Nicke menambahkan, jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah.

“Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” terang Nicke, (dikutip dari CNN Indonesia, 31 Agustus 2023)

Kajian tersebut menurut Nicke, dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik, karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan.

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya buka suara. Ia meminta Pertamina untuk melakukan studi terlebih dahulu atas rencana pencampuran BBM Pertalite dengan etanol 7% (E7) itu. Hal ini perlu dilakukan guna memastikan kadar sulfur pada bensin turun, sehingga juga bisa menekan emisi.

Sebelumnya, Luhut juga menyebut bahwa pencampuran etanol pada BBM ini juga salah satu upaya yang akan didorong pemerintah untuk menekan emisi karbon, terutama dari sektor transportasi.

Dia bilang, pihaknya akan menghitung terlebih dahulu berapa besar persentase untuk campuran etanol pada bensin ini, sehingga bisa menurunkan emisi dan menaikkan kadar oktan.

Luhut menjelaskan, saat ini sektor transportasi juga menjadi salah satu penyumbang polusi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Dia menyebut, berdasarkan hasil pengetesan di lapangan, 37% sepeda motor tidak lulus uji emisi.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan keinginan untuk mengganti dan memperbarui pertalite menjadi pertamax green 92 kemungkinan belum bisa dilakukan pada tahun depan lantaran bahan baku etanol yang diperlukan untuk memproduksi pertamax green juga belum tersedia banyak di Indonesia.

Arifin mengatakan saat ini perkebunan tebu untuk bahan baku etanol memang sudah ada di Jawa Timur. Namun, itu belum cukup. Oleh karena itu, pengembangannya harus diupayakan dengan bantuan teknologi dari Brasil. Ia pun memastikan tidak ada rencana tambahan subsidi untuk BBM jenis ini.

Ia juga tak menjawab apakah nantinya subsidi Pertalite akan dialihkan ke Pertamax Green 92. Ia lantas membeberkan perbedaan harga antara Pertamax dan Pertalite ini terjadi lantaran harga minyak mentah (crude).

Menurutnya, dengan harga minyak mentah yang tinggi maka biaya produksi untuk produk BBM Pertamax semakin tinggi.

Seperti diketahui, Pertamina mengungkapkan pilihan bisnis energi hijau yang paling potensial untuk menekan emisi karbon. Ternyata, perusahaan akan mengembangkan bioenergi sebagai salah satu sumber energi hijau potensial di masa depan.

Pihak Pertamina lebih memilih bisnis bioenergi dalam masa transisi energi ini. Bioenergi bisa membuat negeri ini merdeka energi karena sumber bahan baku berasal dari dalam negeri.

Saat ini Pertamina juga mulai mencampurkan etanol 7% pada Pertamax, sehingga menaikkan kadar oktan bensin menjadi setara RON 95, sehingga dijual dengan nama Pertamax Green 95.

Ke depan, Pertamina berencana hanya menjual tiga jenis bensin yakni Pertamax Green 92, Pertamax Green 95, dan Pertamax Turbo.

Motif Ekonomi Dibungkus Alasan Lingkungan

Pemerintah berencana menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup. Keputusan itu menimbulkan pro kontra di masyarakat.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melalui salah seorang pimpinannya menilai, rencana itu “lebih dipengaruhi dengan motif ekonomi yang dibungkus alasan lingkungan”.

Direktur dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat, rencana itu sebagai upaya ekonomi untuk melakukan penghematan akibat membengkaknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dwi Sawung dari Walhi melihat rencana itu memiliki “motif ekonomi yang dibungkus dengan alasan lingkungan”.

“Jika benar-benar peduli lingkungan. Lalu mengapa pemerintah pusat banding dalam putusan polusi udara di Jakarta? Kalau soal lingkungan, harusnya dari kemarin-kemarin, bukannya sekarang,” kata Sawung.

Sawung menjelaskan, sejak dulu, Walhi telah mendorong pemerintah untuk mengganti ke standar emisi gas buangan Euro 4.

Dimana dalam standar Euro 4, nilai RON minimal adalah 91, yang terkandung dalam BBM Pertamax dengan RON 92, dan Pertamax Turbo dengan RON 98.

Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menduga ada motif ekonomi di balik rencana pembaruan ini.

“Patut diduga bahwa rencana itu lebih dipengaruhi dengan motif ekonomi yang dibungkus dengan alasan green-green-an, alasan lingkungan. Itu menurut saya,” ujarnya, dalam “Pertalite Bakal Dihapus?” melalui kanal Justice Monitor, Kamis (31-8-2023).

Ia melanjutkan, rencana ini berpotensi memberatkan rakyat secara ekonomi jika menggunakan jenis yang lebih mahal. “Apabila ke depan pemerintah menaikkan harga BBM, tentu ini amat zalim. Mengapa? Pertama, korbannya adalah rakyat kebanyakan.

Mereka adalah kalangan menengah ke bawah yang jumlahnya ratusan juta orang. Terutama para pengguna kendaraan bermotor roda dua, termasuk ojek online (ojol). Juga kendaraan umum seperti angkot dan angkutan niaga,” urainya.

Kedua, Agung mempertanyakan kenapa keputusan menaikkan harga BBM yang dikeluarkan pemerintah, termasuk penghapusan yang nanti diganti yang baru, saat kebanyakan masyarakat masih terpuruk secara ekonomi, harga-harga naik, biaya hidup makin tinggi. “Ini kezaliman,” tegasnya.

Kenaikan BBM atau pengalihan penghapusan pertalite ini, sambungnya, dipastikan akan meningkatkan biaya hidup masyarakat, harga kebutuhan pokok pasti naik. “Sebabnya, biaya transportasi juga otomatis naik,” ujarnya.

Maka, tiga catatan di bawah ini semestinya menjadi koreksi bagi penguasa.

Pertama, apakah kebijakan ini dalam rangka uji coba pengondisian ekonomi atas usulan penghapusan Pertalite yang sedang dikaji Pertamina dan pemerintah?

Dalam usulan tersebut, Pertalite direncanakan diganti dengan BBM jenis Pertamax Green 92. Ini artinya, harga Pertamax dan Pertalite kemungkinan tidak sama.

Dengan pengondisian awal penyesuaian harga Pertamax, mungkinkah pemerintah berkehendak agar rakyat tidak kaget dengan perubahan harga atas usulan tersebut?

Kedua, ganti Kepmen, ganti harga, begitu mudahnya menetapkan kebijakan dengan mengubah aturan. Ini mengindikasikan bahwa kebijakan bisa berubah jika aturan diubah.

Demikianlah, sistem kapitalisme demokrasi meniscayakan hal ini karena aturan dibuat sesuai kehendak dan kepentingan yang berkuasa.

Ketiga, pengguna Pertamax adalah bagian dari rakyat. Terlepas dari kemampuan finansialnya, rakyat mana pun berhak menikmati BBM murah. Minyak adalah kekayaan alam milik umum, siapa pun, baik orang kaya atau miskin, berhak mengaksesnya dengan murah, bahkan gratis.

Namun, sistem pemerintahan model kapitalisme mustahil memberi harga BBM secara murah atau gratis. Ini karena paradigma kepemimpinan kapitalisme selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam menetapkan kebijakan. Hubungan penguasa dengan rakyatnya ibarat penjual dan pembeli.

Milik Rakyat

Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menjelaskan, dalam pandangan Islam, BBM dan energi lainnya hakikatnya milik rakyat. “Rakyatlah pemilik BBM itu, termasuk energi dan segala sumber daya alam yang depositnya melimpah. Bukan milik pemerintah,” terangnya.

Menurutnya, pemerintah hanya berwenang mengelola semua milik rakyat tersebut, hasilnya seluruhnya dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk BBM dan energi yang murah harganya. “Negara tidak boleh berdagang dengan rakyat dan mencari untung yang sebesar-besarnya. Apalagi, dengan memperdagangkan barang-barang yang sejatinya milik rakyat, seperti BBM, listrik , gas, dan lain-lain,” tambahnya.

Oleh karena itu, ujarnya, kebijakan pemerintah untuk menghapus pertalite yang berpotensi menaikkan harga BBM wajib ditolak. Selebihnya, ia mengatakan, pemerintah wajib mengelola BBM dan energi, juga seluruh sumber daya alam milik rakyat sesuai dengan ketentuan syariat Islam.  “Rasulullah SAW bersabda, manusia memiliki secara bersama-sama (berserikat) dalam tiga perkara, yaitu air, padang penggembalaan, dan api. Berdasarkan hadis ini, minyak bumi adalah milik umum,” simpulnya.

Penting mendudukkan sumber daya alam, termasuk minyak bumi pada posisi yang tepat sehingga betul-betul untuk kemaslahatan rakyat.

Pengelolaan Migas dalam Islam

Fenomena kenaikan harga BBM yang kerap kali merugikan rakyat tidak akan pernah terjadi dalam sistem kepemimpinan Islam.

Ini karena Islam menetapkan pengelolaan migas dalam prinsip-prinsip berikut. Pertama, migas adalah kekayaan milik umum. Ini segala sesuatu yang sifat kepemilikan harta milik umum tidak boleh dikuasai individu, swasta, asing, ataupun korporasi.

Negara bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hingga pendistribusiannya. Hasil pengelolaan migas tersebut harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk harga BBM murah, bahkan gratis.

Negara boleh memberi harga BBM kepada rakyat sebatas sebagai ganti operasional semata, bukan bertujuan untuk bisnis dan mencari keuntungan. Negara juga boleh memberikan BBM secara gratis selama pemasukan baitulmal mencukupi kebutuhan tersebut.

Kedua, hubungan penguasa dengan rakyat dalam Khilafah adalah ibarat penggembala dengan gembalaannya. Sebagaimana tugas penggembala, ia harus merawat dan mengurusi setiap keperluan gembalaannya.

Tugas penguasa adalah melayani dan mengurusi setiap kebutuhan rakyat. Artinya, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan baik, seperti kemudahan mendapatkan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan hajat publik lainnya semisal BBM.

Ketiga, tidak ada tujuan komersialisasi BBM seperti halnya pengelolaan BBM dalam kapitalisme.

Dalam Khilafah, pengelolaan migas dan harta milik umum lainnya murni dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan rakyat.

Negara tidak boleh berjual beli dengan harta rakyat. Dengan pengelolaan migas yang sesuai tuntunan Islam akan memberikan kemudahan tersedianya kebutuhan BBM. Dengan kepemimpinan sistem Islam secara kafah, negara dapat menjalankan perannya sebagai raa’in dengan totalitas, tanpa tercampuri kepentingan tertentu.

Allahualam Bishowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here