Bisnis Ritel Jatuh, Ekonomi Rapuh

0
180

Oleh : Irohima

”Bisnis ritel di Indonesia telah memasuki titik nadir setelah satu tahun terdampak pandemi”. Demikian ungkap Ketua Umum Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, 27/5/2021 (Liputan6.com). Penutupan seluruh gerai hypemarket Giant perjuli 2021 menambah daftar panjang bisnis ritel yang gulung tikar setelah PT.Matahari Department Store, Fashion Centro Department Store dan PT. Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Menurut data Aprindo, terdapat lebih dari 400 minimarket yang collaps. Sementara untuk supermarket, selama Maret-Desember 2020, rata-rata ada 5-6 gerai terpaksa tutup tiap hari. Per Januari-Maret 2021, rata-rata ada 1-2 toko yang tutup dalam sehari.

Pemicu banyaknya gerai yang tutup di masa pandemi salah satunya adalah perilaku belanja masyarakat yang berubah selama Pandemi Covid-19, mobilitas yang kurang serta rendahnya daya beli. Keputusan PT. Hero Supermarket Tbk, (HERO Group) menutup seluruh gerai Giant merupakan bagian dari strategi perusahaan untuk memfokuskan bisnisnya ke merk dagang IKEA, Guardian, dan Hero Supermarket yang dianggap lebih potensial dibanding Giant.

Meski penutupan gerai merupakan bagian dari strategi perusahaan, namun dampak dari penutupan ini tidak bisa diabaikan. Menurut Ketua Umum Aprindo, Roy Nicholas Mandey, penutupan gerai ritel modern bisa berdampak hilangnya pendapatan negara, retribusi pendapatan daerah yang akan ikut lenyap, hilangnya daya beli di wilayah tersebut dari pekerja yang di PHK serta para peritel yang akan kehilangan investasinya. Namun dampak yang lebih memprihatinkan lagi adalah makin meningkatnya angka pengangguran di negeri ini.

Pertumbuhan ritel cenderung melambat di tahun 2018 dan bertambah anjlok saat pandemi. Gelombang penutupan ritel diperkirakan akan masih berlangsung selama konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat melemah. Salah satu faktor penting yang merupakan ujung tombak pertumbuhan ritel yaitu daya beli masyarakat dipengaruhi banyak faktor di antaranya kondisi ekonomi negara yang tidak stabil dengan ditandai adanya defisit, kebijakan impor yang massif hingga mematikan produksi dalam negeri serta terjadinya inflasi dan menurunnya kurs rupiah. Faktor ekonomi global pun turut berperan besar dalam perputaran dan pertumbuhan ekonomi sebuah negeri.

Daya beli masyarakat yang rendah adalah dampak dari tata kelola ekonomi negeri yang berbasis kapitalis sekuler. Sistem kapitalis sekuler yang mengkondisikan pengelolaan kekayaan negara diberikan pada pihak asing maupun swasta membuat sumber pendapatan negara untuk pembangunan dan pelayanan masyarakat berkurang hingga dana yang dimiliki negara hanya bersumber dari investasi dan hutang. Jadilah kemudian komersialisasi hampir disegala aspek mulai dari infrastruktur dan pelayanan masyarakat. Pendidikan, kesehatan, dan transportasi jalan yang sering mengalami tren kenaikan harga di setiap waktunya adalah hal lumrah dalam sisitem kapitalis. Daya beli masyarakat menurun akibat disibukkan dengan kegiatan pemenuhan kebutuhan yang lebih berprioritas ketimbang kebutuhan yang bisa ditunda.

Kebijakan impor yang begitu massif mematikan produksi, industri, pertanian dan manufaktur dalam negeri hingga berdampak pada harga produksi dan harga jual didalam negeri yang babak belur dihantam impor. Ditambah lagi dengan kurs rupiah yang makin hari makin turun drastis serta gempuran investasi non real berupa pembelian sukuk ritel dan global bond, padahal investasi non real justru menghambat roda perputaran ekonomi mesyarakat.

Tingginya biaya hidup berdampak langsung pada runtuhnya berbagai bisnis termasuk ritel. Kondisi ini akan terus membayangi bahkan berbahaya jika kita tak segera mengatasinya. Ditambah lagi dengan adanya fenomena arus global Revolusi Industri 4.0 yang mengedepankan teknologi digital dalam berbagai hal termasuk bisnis ritel, Saat ini, pola belanja masyarakat yang beralih dari berbelanja langsung di toko ke pola belanja online turut andil dalam runtuhnya usaha-usaha dengan skala kecil hingga besar.

Dunia mengalami perkembangan teknologi di setiap era. Adalah benar jika teknologi memiliki sejuta manfaat dan bisa membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju, teknologi informasi yang melimpah menyediakan manfaat yang besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan sangat mudah diakses hingga ke pelosok. Tapi kemajuan teknologi jika tidak diimbangi dengan tata kelola yang baik tentu akan mengakibatkan ketimpangan. Seperti yang dikatakan Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi industri 4.0 dalam 5 tahun mendatang akan menghapus 35% jenis pekerjaan, bahkan pada 10 tahun yang akan datang jenis pekerjaan yang akan hilang bertambah menjadi 75%. Hal ini disebabkan oleh teknologi digitalisasi program yang mengambil alih peran manusia. Tentu ini adalah hal yang menggembirakan bagi para perusahaan yang menginginkan efisiensi dan penghematan biaya operasional serta produksi. Tapi akan menyebabkan munculnya berbagai masalah ekonomi dan sosial dalam masyarakat hingga berimbas pada perputaran roda perekonomian bangsa,

Dalam Islam teknologi adalah sebuah hal yang sangat diapresiasi. Karena teknologi merupakan produk kemajuan sains dan perkembangan iptek. Tapi kemajuan teknologi tanpa didasari dan dikelola dengan aturan kehidupan yang berstandar pada aturan Allah akan menjadi sangat berbahaya, apalagi kemajuan teknologi yang meniscayakan kemudahan dengan sistem otomatisasi, penekanan biaya produksi, serta laba yang tinggi akan membuat para kapitallis dengan senang hati memakainya sebagai alat ideologis untuk menebalkan kantong kantong laba korporasi.

Sistem kapitalisme yang memanfaatkan revolusi industri 4.0 sebagai ideologinya dan hanya mengacu pada upaya meminimalisasi biaya produksi pada level terendah dan meraih laba produksi ke level tertinggi telah banyak dipakai oleh negara-negara di dunia dan menyasar berbagai aspek diantaranya usaha manufacturing (pengolahan), ritel, transportasi dan perdagangan, tenaga administrasi, konstruksi, layanan makanan dan akomodasi, pertanian, dan lain sebagainya telah nyata menimbulkan banyak sekali permasalahan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Di antaranya adalah menggelembungnya jumlah pengangguran dan kesenjangan sosial kemanusiaan yang merupakan realitas yang terjadi saat ini.

Mengutip sedikit ungkapan : ”Islam tanpa tenologi akan lemah, teknologi tanpa Islam akan menjajah” adalah betul adanya, teknologi yang tidak mempunyai tata kelola yang baik serta tidak didasari dengan aturan kehidupan yang hakiki yaitu aturan ilahi telah nyata memporak porandakan kehidupan kita dari segala sisi. Begitu juga sebaliknya Islam tanpa teknologi tentu akan tertinggal jauh.

Sejatinya jatuhnya bisnis ritel adalah dampak buruk yang bukan hanya disebabkan oleh revolusi industri, kebiijakan impor yang massif, daya beli masyarakat yang rendah, monopoli perdangangan ataupun imbas dari virus covid 19. Namun semua bermuara pada sistem yang salah, jika saja kita menerapkan sistem Islam yang tak akan membiarkan penguasaan dan intervensi asing dalam berbagai bidang termasuk ritel, membuat kebijakan adil terkait impor dan ekspor, serta pemanfaatan teknologi yang seimbang dengan kehidupan, tentu berbagai persoalan akan dapat diminimalkan atau dihilangkan. Pun sebaliknya jika kita tetap mempertahankan sistem sekuler kapitalis, maka kita sejatinya tengah menyambut kehidupan yang tragis.

Wallahualam bis shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here