BPJS Kesehatan Hapus Kelas, Naikkan Standar Layanan atau Iuran?

0
213

Oleh : Desi Anggraini (Pendidik Palembang)

Kelas pelayanan rawat inap Badan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) Kesehatan dikabarkan akan dilebur menjadi kelas rawat inap standar (KRIS).

Jika sebelumnya rawat inap ruang perawatan terbagi kelas 1, 2, dan 3, maka nanti akan menempati ruang perawatan dengan standar yang sama, yakni KRIS.

Ternyata berdasarkan pernyataan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri, dengan adanya peleburan ini, iuran nantinya ditentukan dari besar pendapatan peserta.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) masih belum bisa memastikan waktu penerapan kelas tunggal atau KRIS. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan, kriteria KRIS masih dalam proses finalisasi. Asih menyebut, penerapan kelas tunggal BPJS Kesehatan masih menunggu diselesaikannya revisi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Saat ini, masyarakat peserta BPJS Kesehatan masih membayar dan menerima manfaat ruang perawatan sesuai dengan kelas kepesertaan yang mereka miliki. ( Kompas.com, Minggu, 19/06/2022).

Lantas, akankah pelayanan kesehatan menemui keadilannya? Ataukah ini modus untuk menaikkan iuran semata? Mengapa BPJS kian semrawut? Apa akar permasalahannya dan bagaimana Islam menyelesaikannya?

Walhasil, aturan ini lebih terlihat seperti modus untuk menghimpun dana ketimbang menyelesaikan permasalahan diskriminasi. Bukan rahasia lagi jika keuangan BPJS defisit. Walaupun tahun ini BPJS mengalami surplus, tetapi jika melihat skema pembiayaannya yang bertumpu pada iuran peserta, kemungkinan untuk defisit akan terus besar. Hal ini karena kondisi perekonomian rakyat yang kian hari kian buruk. Jangankan untuk membayar iuran BPJS, untuk makan sehari-hari saja sudah susah.

Begitu pun solusi iuran yang disesuaikan dengan gaji peserta BPJS, sungguh bukanlah solusi untuk memperbaiki pelayanan BPJS. Peserta BPJS yang bergaji besar bukan tidak mungkin akan meninggalkan BPJS dan beralih pada asuransi non-BPJS. Bagi pegawai yang gajinya pas-pasan, bukan tidak mungkin pula akan menunggak iuran BPJS.

Hingga kini, perhitungan jumlah iuran yang disesuaikan dengan gaji peserta masih belum jelas sehingga diduga kuat iuran justru akan naik dan memberatkan peserta.Begitu pula aturan baru yang menjadikan Kartu BPJS sebagai syarat mendapatkan sejumlah layanan publik, seperti pembuatan SIM; alih-alih menghimpun dana, yang terjadi malah penunggakan akan makin besar. Rakyat dipaksa mendaftar walau tidak sanggup membayar iuran.

Persoalan diskriminasi sebenarnya bukan pada jumlah iuran. Skema iuran seperti apa pun, jika basis pengaturan layanan kesehatan diserahkan pada swasta, pastinya akan diskriminatif. Rumah sakit swasta tentu profit oriented, mereka ingin mendulang keuntungan dari penjualan fasilitas-fasilitas kesehatan pada orang yang mampu saja.

Ruang rawat inap VVIP yang supermahal dan superlengkap jelas tidak terjangkau rakyat kebanyakan sebab memang bukan untuk mereka kamar tersebut dipersiapkan. RS swasta tidak akan mau menghilangkan kamar rawat inap VIP dan VVIP karena dari situlah pundi-pundi rupiah terbesar mereka dapat.

Juga dengan fasilitas kesehatan yang standar, pihak RS Swasta bukan sedang beramal jariah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas demi kesehatan publik. Mereka tentu berhitung atas profit yang akan didapat. Siapa yang mampu membayar lebih, ia yang akan mendapatkan pelayanan lebih prima. Inilah risiko jika kesehatan dikelola swasta, hanya yang memiliki akses saja yang bisa mendapatkan pelayanan maksimal.

Sementara itu, RS milik negara, sudahlah jumlahnya sangat sedikit dan jauh dibandingkan swasta, sumber dananya juga sangat terbatas, yaitu dari APBN/APBD dan iuran. Wajar saja pelayanan dan faskes sangat minim. Inilah pemicu bermunculannya RS swasta dengan faskes fantastis, tetapi diperuntukkan bagi segelintir orang saja.

Beginilah konsekuensi penerapan kapitalisme. Persoalan diskriminasi tidak akan mungkin bisa selesai. Pemerintah juga seperti sedang membuang badan dengan adanya BPJS. Namanya sih penyelenggara jaminan sejahtera, tetapi pada praktiknya, lembaga ini tidak lebih sekadar lembaga asuransi yang “memaksa” merekrut peserta.

BPJS, Lembaga Penyedot Dana untuk Korporasi

Diskriminasi hanya satu dari sekian banyak penyakit akut yang diidap lembaga ini. Ini karena lembaga ini bukan mengurusi urusan pelayanan kesehatan saja, melainkan juga sebagai lembaga yang turut menjadi sumber keuangan sejumlah perusahaan BUMN, bahkan swasta. Artinya, tidak seluruh iuran yang dibayarkan peserta BPJS disalurkan pada aspek kesehatan, melainkan juga pada perusahaan-perusahaan yang butuh suntikan dana.

Setidaknya ada 13 BUMN yang turut menerima aliran investasi BPJS Ketenagakerjaan, di antaranya Aneka Tambang (Antam), Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, Jasa Marga, Krakatau Steel, Perusahaan Gas Negara (PGN), Semen Indonesia, PT Bukit Asam, Telkom, PT Timah, dan Wijaya Karya dengan jumlah lembar 479.748.138.

Untuk pihak ketiga terdiri dari 14 perusahaan, yakni Adaro Energy, Astra Argo Lestari, Astra International, BCA, PT Bumi Serpong Damai, PT Indon Tambang Raya Megah, PT Indofood CBP Sukses Makmur, PT Indofood Sukses Makmur, PT Kalbe Farma, PT PP London Sumatera Indonesia, PT Salim Ivomas Pratama, PT Unilever Indonesia, dan PT Vale Indonesia.

Selain itu, tercatat perusahaan yang juga memiliki piutang, yaitu GMF AeroAsia, Nindya Karya, Pelindo II, PT Indonesia Comnets Plus, BRI, dan PT PP dengan total piutang Rp12,38 miliar pada 2019 dan Rp 5,54 miliar pada 2018. (Okezone, 25/02/2022)

Wajar jika BPJS buruk dalam pelayanan kesehatan sebab dana yang dihimpun juga diperuntukkan bagi yang lainnya. Tidak salah pula jika dikatakan bahwa BPJS serupa lembaga penyedot uang rakyat demi membiayai perusahaan-perusahaan besar untuk makin tumbuh. Inilah konsekuensi sistem kapitalisme, akumulasi modal menjadi harga mati pertumbuhan.

Sungguh menyesakkan dada. Rakyat terus diburu untuk membayar iuran BPJS, padahal kesengsaraan masih terus menyelimuti mereka. Terlebih, dana yang terhimpun pada BPJS malah disuntikan kepada korporasi.

Inilah derita hidup dalam sistem kapitalisme, negara berpihak pada korporasi dan berpaling dari rakyat. Rakyat tidak memiliki pelindung untuk bisa menjamin kesehatannya, apalagi kesejahteraannya.

Berbeda dengan sistem kesehatan dalam Islam yang menyatu di bawah pengurusan penguasa. Khalifah bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan pada seluruh rakyat dengan sebaik-baiknya. Kekuatan APBN Khilafah—Baitulmal—akan mampu mewujudkan pelayanan kesehatan yang prima tanpa pungutan biaya.

Pengelolaannya yang langsung di bawah pemerintah menjadikan pelayanan merata bagi setiap pasien tanpa diskriminasi. RS swasta tidak akan menjamur (meski akan tetap ada) lantaran RS pemerintah telah memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya. Bukankah ini yang umat damba? Ayo, segera tinggalkan kapitalisme dan beralihlah pada sistem Islam. Wallahu a’lam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here