Cabut Kebijakan Subsidi yang Kian Sengsarakan Rakyat

0
483

Oleh: Padliyati Siregar

LIMA perusahaan sawit berskala besar mendapatkan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan total mencapai Rp 7,5 triliun sepanjang Januari—September 2017.

Lima perusahaan sawit itu terdiri dari Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Berdasarkan data yang diperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun.

Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun. Tentu ini berbanding terbalik dengan rencana pemerintah untuk mencabut subsidi LPG gas melon, pencabutan subsidi utuk pelajar tunanetra, juga pencabutan subsidi utntuk guru honorer adalah kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Ini semakin memperjelas kezholiman rezim korporatokrasi, mencabut subsidi rakyat tapi malah memberi banyak intensif untuk korporatokrasi.

Subsidi hanya salah satu resep kapitalisme dalam mengatasi gejolak rakyat,bukan wujud tanggung jawab Negara untuk melayani dan menjamin kebutuhan rakyat.

Pencabutan subsidi menjadi kebijakan favorit Pemerintah untuk mengurangi beban anggarannya padahal dampak dari semuanya adalah rakyat tidak makin sejahtera, tetapi malah makin sengsara.

Negara, alih-alih menjadi pelayan umat. Sistem ini justru menempatkan negara hanya sebagai regulator yang melayani kepentingan para pengusaha. Bahkan tanpa ragu negara turut bermain, berdagang mencari untung dari tugas penjaminan hak dasar umat dan hak publik mereka.

Rakyat Menjerit Akibat Kapitalis
Sudah harga-harga naik, ditambah pula dengan RUU Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja. Buruh diwacanakan tak lagi digaji per bulan, namun dihitung berdasarkan produktivitas. Yakni sistem pengupahan per jam bukan bulanan.

Belum lagi, serbuan pekerja asing menambah sempit lapangan kerja bagi pekerja pribumi. Mereka dipaksa bersaing dengan buruh asing. Sementara negara tak menjalankan fungsinya sebagai riayah su’unil ummah.

Sistem kapitalisme menambah deret panjang betapa hidup di alam korporatokrasi begitu menyengsarakan. Negara bukan lagi melayani kepentingan rakyat, namun melayani kepentingan korporasi.

Penguasa dan pengusaha tak ubahnya penjual dan pembeli dalam bisnis. Aset-aset negara diperjualbelikan dengan mudah atas nama investasi dan utang. Liberalisasi hampir terjadi di semua lini kehidupan.

Kapitalisme yang serakah menjadikan rakyat sebagai tumbal. Negara dijadikan ladang bisnis. Kekayaan alam menjadi target penguasaan asing untuk keuntungan pribadi. Kapitalis rakus dan penguasa yang ogah urus negara menjadikan negeri ini diperas sedemikian hingga tak ada celah bagi rakyat untuk menikmati yang namanya kesejahteraan.

Menjadi Negara Pelayan Rakyat
Indonesia yang berhukum kapitalisme, menjadikan rakyat bukan sebagai objek untuk diberikan kesejahteraan. Namun dijadikan objek penderita, dimana rakyat dibebani untuk membayar pajak.

Alih-alih negara memberikan pelayanan gratis untuk mendapatkan kesejahteraan dalam segala bidang, justru rakyat harus merogoh sakunya dalam-dalam untuk memenuhi kebutuhannya.

Dengan memungut pajak dari rakyat, negara menjadikan pajak tersebut sebagai pendapatan tetap bahkan terbesar bagi kas negara. Padahal tugas negara adalah mengurusi urusan dan kemaslahatan rakyat.

Dalam kesehatan, pendidikan dan pemenuhan hajat hidup (berupa air, kebutuhan pokok, listrik dan BBM). Tentu hal ini terjadi jika diiringi dengan pengelolaan SDA oleh negara bukan swasta bahkan asing.

Sementara negara tak menjalankan fungsinya sebagai riayah su’unil ummah. Islam mengartikan sebuah Negara tidak hanya berkutat seputar politik kekuasaan atau sistem oligarki sebagaimana yang terjadi dalam demokrasi. Dalam Islam, negara adalah khodimatul ummat (pelayannya umat). Ia ada untuk mengurusi kepentingan rakyat serta memenuhi hajat hidup rakyat. Kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan wajib dipenuhi negara.

Negara tidak hanya mengejar profit untuk kepentingan partai atau individu. Negara dalam Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyat. Andaikata negara membuka peluang investasi, maka hal ini juga memperhatikan dan memperhitungkan baik buruknya bagi rakyat dan negara sendiri. Tidak asal membuka kran investasi yang justru merugikan negara dan rakyatnya seperti halnya dalam sistem negara kapitalis.

Sistem perupahan dalam Islam tidak dipatok sebagaimana standar UMP/UMK saat ini. Sistem perupahan dalam Islam dihitung berdasarkan jenis pekerjaan. Upah bisa berbeda-beda dan beragam karena berbeda dan beragamnya pekerjaan.

Besaran upah dalam Islam diukur berdasarkan jasanya, bukan tenaganya. Sehingga penetapan upah berbeda-beda. Upah insinyur dengan kuli bangunan misalnya jelas berbeda nominalnya.

Meski ada kenaikan upah buruh tahun ini, tidak serta merta diikuti meningkatnya kesejahteraan hidup. Faktanya, masyarakat justru disambut dengan berbagai kenaikan tarif yang cukup berat.

Cari pekerjaan susah, gaji pun tak sebanding dengan kebutuhan hidup yang terus meningkat. Negara hanya mampu memberi beban hidup tanpa memberi solusi fundamental terkait kesejahteraan.

Konsep bernegara ala kapitalis sangat kontraproduktif dengan Islam. Bila kapitalis mengabaikan kesejahteraan, Islam justru sangat memperhatikan kesejahteraan hidup masyarakat. Bila kapitalis berorientasi bisnis, Islam justru berorientasi melayani rakyat secara maksimalis.

Bila kapitalis hanya mengejar profit duniawi, Islam mengejar profit ukhrawi. Bila kapitalis meliberalkan semua kepemilikan, maka Islam mengatur kepemilikan secara imbang. maslahat.

Sungguh, solusi terindah ini tentu akan mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan bagi setiap manusia. Mau sampai kapan bertahan. Wallahu’alam bi shohab. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here