Oleh : Desi Anggraini (Pendidik Palembang)
Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII), Nasrullah Larada, menegaskan merupakan ide dan gagasan konyol jika muncul keinginan untuk membubarkan MUI. Bahkan, kemunuculan ide ini sangat terkesan berasal dari kelompok yang tidak senang kepada umat Muslim karena dendam masa lalu. Menurut Nasrullah, bila dilihat dalam sejarah perjuangan hadirnya NKRI, umat Islam bersama TNI selalu bersatu padu dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan negara Indonesia. Maka menjadi sangat naif jika tiba tiba ada ide konyol yang mencoba memecah belah persatuan bangsa.
“Oleh karenanya, Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII) sebagai bagian dari komponen umat Islam menolak secara tegas munculnya gagasan yang ingin membubarkan MUI. Mereka perlu belajar sejarah perjuangan bangsa dan memaknai Pancasila bukan sekedar jargon melainkan mengamalkan nilai nilai yang terkandung di dalamnya,” tegasnya.
Pada sisi lain, lanjut Nasrullah, ghiroh atau semangat kebangkitan umat Islam Indonesia sekarang ini justru akan semakin membara bahkan semakin mengkristal ketika muncul gagasan membubarkan MUI tersebut. Oleh karena itu TNI dan Polri perlu mencurigai muncul provokasi yang memecah persatuan bangsa dengan mengambil isu agama. ( Republika.co.id, ahad, 21/11/2021).
Selalu saja ada pihak yang memanfaatkan situasi untuk kembali memojokkan umat Islam. Isu terorisme lagi-lagi menjadi pembenar dalam menyuarakan pembubaran MUI. Bak gayung bersambut, penangkapan ulama terduga teroris menjadi ajang para pembenci Islam mengayunka terorisme secara terus menerus. Bagai memancing di air keruh, para pembenci Islam melihat kesempatan ini sebagai peluang untuk membungkam ulama kritis dan lurus. Entah kebetulan atau tidak, pasca ijtimak ulama MUI yang menyatakan jihad dan khilafah adalah ajaran Islam, terorisme kembali menggoyahkan umat. Sebagaimana kita ketahui, jihad dan khilafah selalu terstigma sebagai ajaran radikal yang memicu terorisme.
Akhirnya, MUI seakan terpojok karena narasi negatif terhadap Islam. Buntut dari penangkapan Ahmad Zain An-Najah, MUI berencana menelusuri identitas calon pengurus ketika melakukan rekrutmen anggota ke depannya. Anggota Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET MUI) Makmun Rasyid mengatakan hal ini guna mencegah pengurus MUI terafiliasi dengan jaringan terorisme sekaligus upaya pembersihan internal dari terorisme.
Ada satu hal yang mendasari di balik tuntutan pembubaran MUI, yaitu narasi radikalisme-terorisme. Narasi ini sukses memengaruhi pandangan masyarakat tentang Islam. Beberapa waktu lalu ramai perbincangan mengenai sertifikasi dai gagasan Kemenag. Alasannya sama, untuk menangkal paham-paham radikal. Kita juga pernah dikejutkan dengan temuan BIN yang menyebut 41 masjid lingkungan pemerintah terpapar radikalisme. Ada pula tudingan “anak good looking , tetapi radikal”, seperti menghafal Al-Qur’an, rajin mengikuti kajian Islam, dan berpakaian sesuai syariat Islam.
Tudingan ustaz atau penceramah radikal pada akhirnya mampu membungkam kekritisan para ulama dalam melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa. Tidak ayal, setiap ada peristiwa terorisme atau narasi radikalisme, umat seakan ditakut-takuti bahwa jika terlalu fanatik terhadap agama akan menyemai benih terorisme. Begitu pun ulama. Ulama yang kritis dalam mengoreksi kebijakan penguasa akan terstigma sebagai ulama radikal, ceramahnya berbahaya, tidak sejuk, dan cenderung memprovokasi atau memecah belah. Kriminalisasi terhadap ulama yang tegas menyuarakan kebenaran berulang terjadi. Selama rezim ini berkuasa, banyak penangkapan terhadap ulama dan aktivis Islam yang kerap berseberangan pendapat dengan penguasa. Mereka yang lantang melawan kezaliman buru-buru mendapat cap radikal atau pemecah belah bangsa.
Oleh karena itu, umat mestinya cermat menyikapi peristiwa ini. Jangan sampai kita terjebak dengan narasi radikalisme-terorisme yang sengaja terembuskan untuk mencitraburukkan Islam dan kaum muslim.
Peran MUI sebagai lembaga yang membimbing, mengayomi, dan membina kaum muslimin di Indonesia sangat penting. Sebagai lembaga yang mewadahi para ulama, cendekiawan, dan zu’amah, kehadiran MUI penting dalam merealisasikan amar makruf nahi mungkar. Sebab, tugas ulama ialah memandu umat agar memahami Islam secara kaffah, benar sesuai syariat, dan melawan kebatilan. Untuk itulah ulama disebut sebagai pewaris Nabi. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena rida kepada penuntut ilmu.
Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban) Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, frasa “ulama pewaris nabi” adalah orang yang mewarisi menempati kedudukan yang diwarisi berserta hukum pada posisi yang ia gantikan. Artinya, ulama menggantikan peran dan tugas para nabi, yakni mengemban misi penyampaian dan penyebaran risalah Islam.
Dakwah amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim, tidak terbatas pada ulama saja. Hanya saja, aktivitas ini juga membutuhkan ilmu sehingga lumrah saja bila para ulama yang terdepan mengemban tugas mulia ini. Apalagi ulama hakikatnya adalah orang yang paling takut kepada Allah Swt.. Sangat wajar pula bila mereka konsisten dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar, terutama menasihati dan mengoreksi kebijakan penguasa. Aktivitas ini pernah dicontohkan para sahabat, tabiin, dan salaf saleh, seperti Asma’ binti Abu Bakar kepada Muawiyah, Zubair bin Awwam kepada Yazid bin Muawiyah, Said bin Jubair kepada Hajaj bin Yusuf, Imam Ahmad bin Hanbal kepada Khalifah al-Ma’mun, dan Buya Hamka kepada Soekarno. Mereka semua melakukan tugas amar makruf nahi mungkar kepada penguasa yang berkuasa kala itu. Abu Said al-Khudzri berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling afdal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Dailami).
Oleh karenanya, tuntutan pembubaran MUI memang harus dilawan bersama oleh umat dan para ulama. Kehadiran MUI sudah semestinya makin menyuarakan kepentingan Islam dan kaum muslimin, membela kepentingan umat Islam, dan menjaga pemahaman umat dari bahaya pemikiran menyimpang. MUI tidak boleh mencukupkan diri sebagai menjadi lembaga fatwa yang mengakomodasi program rezim yang bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini karena ulama adalah pelita umat yang akan mengantarkan mereka ke jalan kebenaran Islam. Wallaahu a’lam bis shawab. ***