
Oleh : Eci, Pendidik Palembang
Militer Israel telah menewaskan sedikitnya sembilan warga Palestina di Gaza pada pagi hari Idul Fitri, Ahad 30 Maret 2025. Seperti dilansir Al Jazeera, para korban tewas termasuk lima anak. Serangan Israel ini terjadi serentak di kamp pengungsi Khan Younis di Gaza selatan hingga di Kota Gaza dan kamp penunngsi Jabalia di Gaza utara.
Serangan ini terjadi saat warga Palestina di Gaza menggelar salat Id untuk menandai akhir bulan suci Ramadhan dan dimulainya Idul Fitri. Sama seperti yang mereka lakukan selama perang, warga berdoa di tengah puing-puing yang disebabkan oleh serangan Israel di Jalur Gaza.
Israel telah membunuh lebih dari 900 warga Palestina di Gaza sejak melanggar gencatan senjata dengan Hamas dan melanjutkan serangan 11 hari lalu. Hingga kini, Israel membunuh seorang anak Palestina di Gaza setiap 45 menit. Itu adalah rata-rata 30 anak yang terbunuh setiap hari selama 535 hari terakhir. (Tempo. co. Id,Minggu, 30/03/2025).
Apa yang dilakukan Zionis ini benar-benar di luar nalar manusia. Setelah berakhirnya fase pertama gencatan senjata pada 1 Maret 2025, pihak Zion*s kembali memberlakukan pengepungan di Gaza. Mereka kembali memutus aliran listrik sekaligus mencegah makanan, air, bahan bakar, serta obat-obatan untuk masuk ke Gaza. Alhasil, kaum muslim Gaza harus menjalankan ibadah Ramadan dalam kondisi yang sangat berat.
Bahkan bukan memblokade saja, setelah pertengahan Ramadan, tepatnya 18 Maret 2025, pihak Zion*s juga terus menyerang warga Gaza yang benar-benar sudah tanpa daya. Pengeboman hebat mereka lancarkan terhadap rumah-rumah penduduk, sekolah-sekolah, masjid-masjid dan tenda-tenda pengungsian bagi warga yang rumahnya sudah hancur.
Pihak Zion*s telah memutuskan sepihak untuk tidak melanjutkan perjanjian gencatan senjata ke tahap kedua. Dalihnya adalah pihak Ham*s telah melanggar perjanjian, padahal faktanya merekalah yang kerap melanggar perjanjian, bahkan sejak tahap pertama.
Pihak Zion*s dalam hal ini menuntut pembebasan lebih banyak tahanan mereka. Namun pada saat sama, mereka tidak mau memenuhi komitmennya kepada Ham*s. Mereka pun tampak tidak berniat mengakhiri perang di Gaza, padahal itulah yang sudah dijanjikan sebelumnya.
Bahkan atas dukungan Presiden Amerika Donald Trump, PM Netanyahu memutuskan untuk melanjutkan proyek genosida di Gaza. Serangan pada 18 Maret tersebut adalah bukti nyata bahwa pihak Zion*s memang ingin benar-benar menguasai Gaza.
Serangannya pun jauh lebih brutal dan intens dari sebelumnya. Hal ini tergambar dari kutipan yang termuat pada salah salah satu artikel berita di situs Qudsnen, “Keluarga-keluarga terjebak di antara reruntuhan, tanpa air, tanpa makanan, tanpa obat-obatan, di tengah runtuhnya layanan kesehatan. Yang terluka dibiarkan mati kehabisan darah, dan anak-anak sekarat karena kelaparan dan kehausan di bawah pengepungan dan pemboman yang tiada henti.”
UNICEF pun menggambarkan kondisi di sana sebagai fakta yang sangat mengerikan. Betapa tidak, di Gaza benar-benar tidak ada lagi tempat aman. Bahkan bisa diibaratkan, setiap warga Gaza seakan sedang menunggu giliran kematiannya.
Mirisnya, semua itu terjadi di depan mata seluruh penduduk dunia, termasuk kita. Namun, dari hari ke hari, suara pembelaan atas muslim Palestina khususnya Gaza makin lemah terdengar, tertutup oleh berbagai persoalan yang membelit kehidupan mereka. Begitu pun dengan para penguasanya.
Mereka hanya bisa beretorika dan berkoar-koar siap berada di sisi muslim Palestina. Namun faktanya, tidak ada yang mereka lakukan selain berkelit atas nama kepentingan nasional dan aturan internasional yang harus dijaga.
Padahal sebagai sesama umat Rasulullah SAW, tidak pantas kita berdiam diri melihat saudara seimannya hidup menderita. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”(HR Bukhari dari Anas bin Malik, ra.).
Beliau SAW juga bersabda, “Barang siapa yang pada pagi harinya hasrat dunianya lebih besar maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak takut kepada Allah maka itu tidak ada apa-apanya di sisi Allah, dan barang siapa yang tidak perhatian dengan urusan kaum muslimin semuanya maka dia bukan golongan mereka” (HR Al-Hakim dan Baihaqi).
Betul bahwa apa yang terjadi di Gaza, hakikatnya adalah kemuliaan bagi kaum Muslim di sana karena tanahnya menjadi tanah jihad dan kematiannya adalah syahid yang diinginkan setiap hamba bertakwa. Itulah kenapa, kita lihat mereka tampak begitu bersabar dan rida dengan ketentuan Rabb-nya, meski mereka tetap menangis karena mereka adalah manusia.
Namun bagi kita, nasib mereka hakikatnya adalah ujian keimanan. Apakah iman itu kokoh terhunjam di dada? Atau hanya sampai di kerongkongan, bahkan di bibir semata? Tentu tidak pantas bagi kita bersikap abai melihat saudaranya dibantai dan dihilangkan eksistensinya. Bahkan kelak kita akan didakwa karena saat di dunia kita berpura-pura tuli buta dan menerima kelemahan untuk tidak sungguh-sungguh menolong mereka.
Islam tegas memerintahkan agar kaum muslim seluruhnya bergerak membantu dengan sekuatnya. Pertolongan itu tidak lain berupa tentara yang akan mengusir penjajah dan sekutunya dengan jihad fi sabilillah. Namun tidak dimungkiri, ada halangan fisik yang besar bagi umat untuk bisa bergerak menolong mereka. Halangan itu berupa bercokolnya kepemimpinan dan negara yang tegak di atas paham sekularisme dan nasionalisme di negeri-negeri Islam.
Dua hal inilah yang selama ini membuat umat Islam begitu lemah dan terpecah-belah. Keberadaan akidah pada diri mereka tidak cukup untuk melahirkan satu rasa dan satu pandangan tentang persoalan Palestina. Bahkan bukan hanya untuk soal Palestina, dalam berbagai urusan dunia, mereka sulit disatukan hingga mereka menjadi bulan-bulanan sekaligus objek jarahan bagi musuh-musuhnya.
Suara-suara pembelaan terhadap nasib muslim Palestina, dengan mudah tertutup oleh persoalan-persoalan lainnya. Sebagian mereka bahkan berkata, untuk apa memikirkan urusan bangsa lain, sementara kita di sini sedang menghadapi banyak persoalan. Mereka dibuat lupa, bahwa urusan muslim Palestina adalah urusan mereka juga. Sejatinya jati diri muslim Palestina adalah jati diri mereka juga.
Sebentar lagi kaum muslimin akan sampai di Hari Raya. Mereka selalu menarasikan hari itu sebagai hari kemenangan mereka. Namun, melihat apa yang terjadi pada muslim Palestina, khususnya Gaza, bahkan dengan yang terjadi pada diri mereka sendiri dengan segala kesempitannya, maka kita patut bertanya, lebaran nanti sebetulnya kita menang dari apa?
Siapa pun tahu bahwa target yang dituju dari pensyariatan saum Ramadan adalah terwujudnya manusia-manusia takwa. Itulah hakikat kemenangan yang sesungguhnya. Akan tetapi, apakah itu takwa?
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib menyebutkan ada sempat kunci takwa. Pertama, al-khauf min al-jalil, yakni adanya rasa takut kepada Allah Yang Maha Agung. Kedua, al-‘amal bi at-tanzil (mengamalkan seluruh syariat yang Allah turunkan). Ketiga, ar-ridha bi al-qalil (rida dengan anugerah yang dianggap kecil alias kanaah). Keempat, Al-Isti`dadu li Yaumi ar-Rahil (senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan kembali menghadap Allah Taala).
Jika dicermati seluruhnya, tampak bahwa esensi dari takwa tadi adalah kesiapan untuk tunduk patuh dan taat kepada ketentuan Sang Maha Pencipta, baik dalam konteks individu, masyarakat, maupun negara. Dan ini terkait dengan tujuan hakiki penciptaan manusia, yakni sebagai hamba Allah sekaligus khalifah yang akan memakmurkan alam semesta.
Untuk itulah Allah Taala menurunkan syariat Islam sebagai tuntunannya. Hanya saja, syariat ini hanya mungkin diterapkan seluruhnya dalam sebuah kepemimpinan atau negara yang tegak di atas akidah Islam. Itulah Khilafah Islam, sebuah negara warisan Rasulullah yang pernah menaungi dan menyatukan umat Islam sedunia sekaligus memuliakan mereka dalam masa yang sangat panjang.
Sayang hari ini, Khilafah Islam telah hilang eksistensinya sehingga Islam hanya eksis di tengah sebagian pemeluknya. Pada 1924, penjajah Inggris melalui anteknya, Mustafa Kemal, telah berhasil meruntuhkannya. Sejak itulah umat Islam hidup sebagai entitas yang terpecah belah dan kehilangan muruahnya. Penjajah Inggris dan Amerika bahkan berhasil mendirikan “negara” Zion*s di jantung negeri Islam, yakni di Tanah Palestina.
Hari ini umat Islam dunia tengah merasakan dampak buruk akibat ketiadaan Khilafah Islam dan penerapan aturan sekuler atas mereka. Berbagai krisis terus melanda, hingga membuat mereka lemah tanpa daya meski jumlahnya lebih dari dua miliar jiwa di dunia. Salah satu buktinya adalah berlarutnya krisis Palestina dan ketakberdayaan mereka dalam mengusir Zion*s yang jumlahnya tidak seberapa. Pertanyaannya, sampai kapan kita rela hidup dalam kondisi terhina? Wallahu a’lam bishawab.


