
Oleh : Eci, Pendidik Palembang
Presiden Prabowo Subianto, memastikan akan ada penurunan tarif tol saat arus mudik dan balik Lebaran tahun 2025. Aktivitas masyarakat yang mudik Idul Fitri dan berlanjut arus balik, lazimnya akan ramai.
Selain itu, Kepala Negara menyebut koordinasi yang dilakukan Menteri Perhubungan, Menteri BUMN hingga Menteri Pekerjaan Umum telah dilakukan untuk memastikan seluruh fasilitas mudik lancar. Presiden ingin, perjalanan masyarakat saat mudik Lebaran 2025 berjalan dengan lancar dan aman.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo menegaskan pihaknya masih membahas rumusan diskon tarif tol selama mudik lebaran 2025. Ia mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan adanya diskon tarif tol . ( Viva. co. id, Jumat, 28/02/2025)
Ada banyak faktor yang menyumbang berbagai persoalan di bidang transportasi, baik pada kondisi tidak normal seperti momen Lebaran maupun pada situasi normal. Namun, semua faktor ini mengerucut pada satu problem besar yang menjadi akar permasalahan, yakni kapitalisasi sarana dan prasarana transportasi yang kian hari berjalan makin kental.
Diakui atau tidak, selama ini pembiayaan pembangunan infrastruktur, termasuk sarana prasarana transportasi di Indonesia mengandalkan inverstasi asing dan kapitalisasi pembiayaan di pasar modal. Maklum, keuangan negara sudah lama tidak baik-baik saja.
Terkait investasi asing, pengesahan UU Cipta Kerja menjadi bukti betapa pemerintah rela memberi karpet merah pada perusahaan-perusahaan multinasional untuk berbisnis di berbagai bidang, termasuk bidang infrastruktur, khususnya jalan tol. Akibatnya, tidak semua warga negara bisa mendapatkan hak publiknya, kecuali mereka yang mampu membayar. Adapun wilayah-wilayah terpencil jangan harap bisa masuk prioritas kecuali di sana ada ceruk bisnisnya.
Bukan hanya pembiayaan, operator pembangunan dan layanan sektor ini pun nyaris sepenuhnya di-handle swasta. Kalaupun BUMN terlibat, tetap saja paradigmanya adalah “setengah swasta”. Tidak heran jika paradigma hitung dagang begitu sangat kental. Sarana dan prasarana transportasi disediakan, hanya sebatas untuk menghasilkan cuan.
Pemerintah selalu berdalih bahwa swastanisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Selain terkait urusan modal, manajemen bisnis diperlukan semata demi meningkatkan layanan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan. Alhasil masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan; layanan baik, tetapi berbiaya mahal, atau biaya murah, tetapi layanan seadanya (?)
Masalahnya, masyarakat terkadang tidak punya pilihan. Sarana prasarana yang terbatas membuat mereka terpaksa mengambil opsi layanan “rasa swasta” atau memilih nekat berangkat menggunakan fasilitas seadanya. Tidak heran jika tiap tahun ada fenomena mudik naik motor dengan penumpang dan bawaan yang berisiko mengalami kecelakaan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara sudah kehilangan daya urus atas rakyatnya. Paradigma sekuler kapitalisme sudah mengooptasi pemikiran para penguasa sedemikian rupa sehingga mereka membangun hubungan dengan rakyatnya bukan seperti penggembala dan yang digembala, melainkan sebagai regulator yang memandang semua urusan dengan kacamata pengusaha, termasuk dalam memenuhi hak-hak rakyatnya.
Negara dalam pandangan para penguasa dianggap sebagai sebuah perusahaan. Dengan konsep reinventing government ala David Osborne dan Ted Gaebler, mereka mengubah cara birokrasi sedemikian rupa dengan dalih agar pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan secara akuntabel, responsif, inovatif, profesional, dan entrepreneur, padahal yang diuntungkan tentu saja para pemilik modal yang bersekutu dengan penguasa.
Khalifah atau Amirulmukminin Umar bin Khaththab ra. yang saat itu kekuasaannya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Mesir, dan Syam (sekarang: Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina) pernah berkata, “Demi Allah jika ada seekor keledai di negeri Irak jatuh terperosok di jalan, aku khawatir keledai itu akan menuntut pertanggungjawaban saat hari kiamat kelak.”
Kata-kata itu sejatinya mewakili prinsip kepemimpinan dalam Islam yang tidak hanya memiliki dimensi duniawi, tetapi juga dimensi ukhrawi. Pelaksanaan seorang penguasa atas kepemimpinannya di dunia akan membawa konsekuensi pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Pemimpin dalam Islam berperan sebagai raa‘in (pengurus/penggembala) sekaligus junnah (perisai/penjaga) bagi seluruh rakyatnya. Bahkan dari perkataan Umar ra. tersebut tampak bahwa tanggung jawab kepemimpinan dalam Islam itu tidak hanya menyangkut urusan manusia, tetapi juga urusan hewan dan alam semesta lainnya.
Paradigma inilah yang menuntun para khalifah dari masa ke masa untuk berusaha sekuat tenaga memenuhi hak-hak rakyatnya dan menyejahterakan mereka dengan layanan prima. Hal ini bisa diwujudkan sejalan dengan pelaksanaan syariat Islam secara kafah yang menjamin kehidupan yang serba harmonis dan penuh berkah.
Dalam pandangan Islam, seluruh kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan hingga keamanan dan layanan publik lainnya, ada dalam jaminan negara. Negara wajib memastikan setiap individu bisa mengakses kebutuhan dasar dan layanan publik ini dengan mudah dan murah. Termasuk di dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang sudah menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat. Setiap individu pun harus bisa mendapatkannya dengan layanan yang mudah, aman, nyaman, dan murah, bahkan gratis.
Dengan kata lain, negara haram mengapitalisasi layanan transportasi publik seperti yang terjadi saat ini. Negara pun haram membiarkan individu atau swasta menguasai transportasi publik, termasuk menjadikan jalanan umum sebagai sumber pemasukan yang akan memberatkan warga negaranya.
Negara justru diberi amanah memaksimalkan upaya agar hak-hak itu bisa ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Hal ini niscaya, karena syariat Islam mengatur sistem keuangan yang memungkinkan negara punya modal besar untuk mewujudkannya.
Islam menetapkan bahwa kekayaan alam, seperti tambang emas, nikel, timah, batu bara, bijih besi, dan lain sebagainya yang ada di perut bumi Nusantara, serta hasil hutan dan lautan adalah hak milik umum yang wajib dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara. Demikian pula ada banyak pos pemasukan APBN lainnya yang bisa digunakan negara untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakatnya.
Dengan modal itulah Islam akan melakukan berbagai riset dan pengembangan hingga semua layanan publik yang diberikan bagi rakyatnya bisa membawa kebaikan dan menjauhkan mereka dari kemudaratan. Alhasil, umat Islam selalu terdepan dalam berbagai bidang kehidupan hingga mereka tampil sebagai sebaik-baik umat. Sementara itu, peradabannya menjadi mercusuar peradaban-peradaban lainnya.
Hal tersebut tercatat dalam sejarah emas peradaban Islam. Jalan canggih beraspal sudah dikenal di kota Baghdad sejak abad ke-8 M. Ketika suatu wilayah di-futuhat, tata kota pun dibuat sedemikian rupa hingga memudahkan rakyat memenuhi berbagai keperluannya. Bahkan yang fenomenal pada masanya, Khilafah Utsmani di bawah Abdul Hamid II membangun Hijaz Railway dan Baghdad Railway yang menghubungkan Istanbul, ibu kota Khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Palestina, hingga Madinah. Tujuannya adalah memangkas waktu perjalanan ibadah haji dari beberapa bulan menjadi beberapa hari.
Jelas ada perbedaan diametral antara paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme dengan sistem kepemimpinan Islam. Penerapan sistem sekuler kapitalisme hanya berhasil memberi harapan kosong tentang kesejahteraan dan kebahagiaan. Kezaliman dan kerusakan justru terjadi secara sistemis dan struktural di berbagai bidang kehidupan. Sementara itu, sistem kepemimpinan Islam telah terbukti membawa kemaslahatan dan keberkahan bagi umat manusia selama belasan abad lamanya. Wallahu a’lam bish-shawwab.


