Oleh: Hj. Padliyati Siregar, ST
Pernyataan Puan Maharani, Petinggi PDI Perjuangan, terhadap Sumatera Barat (Sumbar) berbuntut panjang.
Bakal calon Gubernur Sumbar yang direkomendasikan PDI-P dalam Pilkada Gubernur Sumbar 2020, Mulyadi – Ali Mukhni diberitakan mengembalikan surat dukungan dari partai tersebut.
Hal itu diperkirakan karena imbas dari ucapan Ketua DPP PDIP Puan Maharani soal Sumatera Barat (Sumbar) yang jadi kontroversi.
Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung Negara Pancasila,” tutur Puan. (SERAMBINEWS.COM)
Pernyataan petinggi partai penguasa yang menyerang loyalitas masyarakat Sumbar terhadap model negara saat ini, mengindikasikan ketakutan partainya kalah oleh politik identitas.
Sudah menjadi rahasia umum, menjelang pemilihan umum juga ada sejumlah kebiasaan baru yang biasa terjadi di kalangan para calon legistlatif. Barangkali ini juga yang membuat masyarakat luas ragu dengan jiwa sosial caleg bersangkutan.
Di antara kebiasaan baru para calon legislatif sebelum berlangsungnya pemilihan, biasanya menggunakan atribut yang islami.
Sebuah baligho besar akan dipasang di daerah strategis suatu wilayah. Di Indonesia, keyakinan beragama masih mempengaruhi kondisi politik sejak pemilu pertama 1977 diadakan. Hal tersebut terlihat dari sejumlah kebiasaan religi diadakan sebelum pelaksanaan pemilu.
Pemimpin yang dicalonkan juga idealnya memiliki hubungan religi dengan sejumlah tokoh agama. Oleh karena itu, tidak heran jika menjelang pemilihan umum, ada banyak sekali calon legislatif yang mendadak rajin mengenakan atribut religi. Tidak dipungkiri pemimpin yang mempunyai sosok yang religi menjadi harapan rakyat. Rakyat berharap pemimpin yang akan dipilih bisa menjalankan amanah dengan baik sehingga harapan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bisa terwujud.
Namun sangat disayangkan sosok yang didambakan tidak kunjung datang. Ketika konstelasi pemilihan selesai rakyat gigit jari. Pemimpin yang religi hanya sebatas pencitraan tidak ada bedanya dengan parpol sekuler yang lain.
Berkaca pada pelaksanaan pemilu, pemilu tidak menghasilkan pemimpin yang baik, yang mampu memberantas korupsi di lingkungannya, atau mampu bebas dari tindak pidana korupsi. Lebih dari 50 persen atau 287 kepala daerah terlibat tindak pidana,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di Tangerang, Senin (7/10).
Setelah reformasi, demokrasi dalam pelaksanaan pemilu terus dibangun, meski ditemukan banyak kecurangan di berbagai level. Ironisnya, setiap tahun tingkat kecurangan tersebut justru meningkat. Bila pada 1999 kecurangan dilakukan per orangan atau kelompok tertentu, saat ini dilakukan secara sistemik.
Ia membuktikan itu saat menjabat Ketua MK periode 2008-2013. Ketika itu, MK membatalkan 72 kursi hasil pemilu karena kecurangan di tingkat pusat. Serta 60 kursi di tingkat daerah.
Dari 72 kasus itu semua parpol ada wakil-wakilnya yang terlibat. Jadi dilakukan semua partai dan sistemik. Kecurangan yang didominasi motif politik uang menjadi marak. Karena jabatan politik lebih banyak disetir oleh cukong yang cenderung berorientasi keuntungan finansial. Sehingga, alur pelaksanaan pemilu yang memungkinkan sengketa hasil pemilu bisa diusut kepada lembaga peradilan juga digunakan untuk memuluskan keinginan pihak tertentu.
Akibatnya, politik transaksional tidak hanya terjadi di lingkup penyelenggara pemilu. Tetapi juga merembet hingga pada mahkamah konstitusi tertinggi sekali pun.
Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga, itulah yang dikatakan oleh Mahfud MD. Masihkah kita berharap pada demokrasi?
Faktor Islam menjadi pendongkrak kemenangan partai kontestan pilkada menunjukan meski dalam sistem demokrasi yang mengharamkan Islam menjadi penentu,namun kerinduan umat terhadap kepemimpinan Islam tidak bisa dialihkan atau ditutupi.
Rakyat Rindu Pemimpin Yang Menjalankan Hukum Islam
Tindakan radikal adalah tindakan untuk menyelesaikan persoalan secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Mengubah demokrasi adalah tindakan yang radikal dan total. Ganti demokrasi dan terapkan hukum Islam, bila serius ingin menyelesaikan persoalan umat saat ini. Hukum Islam memastikan penguasa untuk menjalankan tugas berdasarkan keimanan kepada Allah dan takut kepada ancaman Allah. “Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya.” (HR. Ahmad).
Rakyat cerdas adalah rakyat yang tidak seperti keledai untuk masuk kedua kali kedalam lubang yang sama. Percaya kepada janji-janji, setelah menjabat mereka mengkhianati. Itu cerita lama dan bisa ditebak akhir ceritanya, selama masih menggunakan Demokrasi, keadaan ini tidak akan berganti.
Rakyat sudah lelah, ingin segera menentukan pilihan kepada sesuatu yang pasti, yaitu pemimpin yang berani menerapkan hukum Islam. Hanya hukum Islam yang mampu menjamin kesejahteraan hidup rakyat dan itu sudah terbukti selama 1300 tahun. Pemimpin yang menerapkan hukum Islam adalah pemimpin yang menjamin kebahagiaan rakyatnya. Rakyat sudah merindukan kepada pemimpin yang berani menegakkan hukum Islam. Hanya dengan hukum Islam, rakyat bisa meraih bahagia dunia dan dibimbing sampai ke surga. ***
Wallahu ‘alam bishowab