Kemacetan Jalan Tak Kunjung Usai, Tanggung Jawab Siapa?

0
94

Oleh : Desi Anggraini, Pendidik Palembang

Pada hari Selasa, 28 Februari hingga Rabu pagi, 1 Maret lalu, kemacetan panjang selama 22 jam terjadi di Jalan Nasional Tembesi, Batanghari, Jambi. Pengusaha truk pun teriak akibat macet panjang hingga 15 km itu. Pasalnya, jumlah truk yang terkena kemacetan hingga mencapai belasan ribu unit. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengungkapkan, kerugian pengusaha truk mencapai belasan miliar.

Sebelumnya diberitakan, kemacetan tersebut dipicu ribuan truk pengangkut batu bara yang beroperasi saat itu. Gemilang pun mempertanyakan pengawasan pemerintah. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Irjen Pol Hendro Sugiatno mengatakan, masalah angkutan batu bara bukan berada di wilayah kewenangannya, melainkan ada di Kementerian atau Lembaga lain, (CNBC Indonesia, Jumat 03/03/3023).

Kondisi ini tidak lepas dari asas sekularisme yang menjadi dasar setiap aktivitas pemerintahan, termasuk dalam pengurusan jalan. Urusan jalan dijauhkan dari aspek ketakwaan sehingga tidak berdasarkan syariat Islam.

Kekuasaan yang seharusnya tersentralisasi justru didesentralisasi sehingga berakibat pada pembagian jalan menjadi jalan nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Sebenarnya, pembagian jalan tidak masalah jika tanggung jawab tetap terpusat pada penguasa. Namun, yang terjadi adalah dikotomi tanggung jawab.

Jalan nasional hanya urusan pihak tertentu, sedangkan jalan provinsi urusan pihak yang lain, dan seterusnya. Walhasil, masing-masing lepas tanggung jawab ketika ada masalah dengan alasan, “Itu bukan tanggung jawab saya.”

Akhirnya, terjadilah debat kusir tentang siapa yang paling bertanggung jawab. Padahal, jika penguasa tertinggi mau mengumpulkan bawahannya untuk membahas masalah jalan dalam satu meja, urusannya pasti cepat selesai. Sayangnya, praktiknya tidak semudah itu.

Inilah realitas pemerintahan dalam sistem kapitalisme sekuler. Para penguasa dan aparat tidak berkhidmat melayani rakyat, melainkan sibuk mencari cuan sendiri, termasuk dengan menjadi “pelayan” para konglomerat.

Realitas jalan di dalam sistem Islam sungguh berbeda dengan kondisi hari ini. Dalam Islam, jalan dipandang sebagai kepemilikan umum. Setiap orang berhak menikmati fasilitas jalan yang aman dan nyaman sehingga memudahkan mobilitas masyarakat.

Para khalifah di dalam sistem Islam memandang rakyat sebagai tanggung jawabnya. Penguasa bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyat, termasuk urusan jalan. Penguasa tidak akan mencari keuntungan dari proyek-proyek yang menyangkut kemaslahatan rakyat.

Selain itu, kekuasaan dalam Islam terpusat sehingga seluruh jalan adalah tanggung jawab khalifah, sedangkan terkait teknis perbaikan jalan bisa didelegasikan pada pejabat di wilayah tersebut. Namun, tanggung jawab utama tetap ada pada khalifah.

Begitu perhatiannya Khilafah terhadap urusan jalan sehingga tidak membiarkan ada lubang sekecil apa pun yang bisa membuat pengguna jalan terperosok. Khalifah Umar bin Khaththab berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Bagdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?”

Inilah profil penguasa dalam sistem Islam, siap bertanggung jawab atas pengurusannya terhadap rakyat, bukan malah lempar tanggung jawab seperti penguasa hari ini. Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here