Ketidakjelasan Nasib Pengungsi Rohingya Butuh Solusi yang Tepat

0
120

Oleh : Eci, Pendidik Palembang

Kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya saat hendak berlabuh dengan perahu kayu, disebut sosiolog bisa memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antara warga di masa depan. Di sisi lain, pemerhati pengungsi Rohingya mengatakan gelombang pengungsi yang datang ke Indonesia kemungkinan akan semakin besar ke depan, karena bantuan internasional untuk pengungsi ini teralihkan ke Ukraina dan Gaza.

Seorang pengungsi Rohingya yang akhirnya mendarat di Pidie mengaku khawatir dengan penolakan warga setempat. Pemerintah Indonesia menyerukan agar negara-negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 “menunjukkan tanggung jawab lebih”. Meskipun menolak kedatangan pengungsi, ratusan warga sempat memberikan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas kepada para pengungsi sebelum akhirnya mengusir mereka kembali ke dalam kapal. Para pengungsi kembali melanjutkan perjalanan bertaruh nyawa. Di atas kapal kayu itu, terlihat pengungsi berjubal dan menatap dengan wajah sedih ke daratan – sebagian dari mereka adalah perempuan dan anak-anak (BBC News Indonesia, Sabtu, 18/11/2023).

Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya memang merupakan domain negara, bukan sekadar individu atau masyarakat. Muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan prodemokrasi.

Sikap kejam rezim Buddha Myanmar disebabkan oleh sentimen asabiah mereka terhadap etnis Rohingya yang muslim. Juga permainan politik antara Amerika Serikat dan Cina dalam menancapkan pengaruh di kawasan tersebut.

Ketika mengalami ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingya lari ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina mengabaikan mereka. Tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingya pun amat buruk sehingga tidak layak untuk didiami. Nasionalisme telah membelenggu Bangladesh dari menolong muslim Rohingya secara layak.

Dengan latar belakang yang demikian, wajar saja muslim Rohingya melarikan diri ke Indonesia, negeri mayoritas muslim yang diharapkan memberi tempat hidup yang layak untuk mereka. Namun, sekali lagi, rezim penguasa terbelenggu oleh nasionalisme. Meski muslim Indonesia—utamanya Aceh—mau menolong muslim Rohingya, tetapi negara mengabaikan para pengungsi. Sedangkan untuk menolong secara permanen tentu tidak bisa dengan kekuatan individu atau masyarakat, melainkan butuh kekuatan negara.

Muslim Rohingya membutuhkan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, dan lainnya, bahkan mereka butuh kewarganegaraan. Mencukupi itu semua adalah tugas negara. Namun, nasionalisme yang telah membelenggu menjadikan negara enggan untuk membantu.

Negara masih pakai hitung-hitungan ekonomi sebab tentu terbayang besarnya rupiah yang harus dikeluarkan untuk membantu muslim Rohingya hingga mendapatkan kehidupan layak. Pada saat yang sama, rezim ini terhadap rakyatnya sendiri saja berlepas tangan dari melakukan riayah, apalagi mengurusi para pengungsi. Mirisnya, sikap yang sama diambil oleh seluruh penguasa negeri muslim di dunia.

Solusi hakiki bagi muslim Rohingya hanya ada pada Khilafah. Ketika ada Khilafah, khalifah akan menerima muslim Rohingya. Mereka akan menjadi warga negara Khilafah. Dan kesatuan umat hanya bisa terealisasi dengan adanya satu institusi Khilafah. Adapun langkah praktis Khilafah dalam menyelesaikan masalah Rohingya dijelaskan Fika Komara dalam Muslimah Timur Jauh.

Yakni pertama, penyatuan negeri-negeri muslim dan penghapusan garis perbatasan.Islam membangun kesatuan fisik di antara umat Islam, sebagaimana tertuang dalam surah Al Anbiya ayat 92. Maka, Khilafah akan menyatukan wilayah Rakhine Myanmar, dengan tanah Bangladesh, Pakistan, kepulauan Indonesia, dengan seluruh tanah kaum muslim di dunia. Perbatasan negara Khilafah akan selalu terbuka untuk setiap muslim yang tertindas, tak peduli dari mana mereka berasal.

Kedua, digunakannya seluruh perangkat negara, termasuk memobilisasi militer untuk membela kaum muslim yang tertindas. Hal demikian akan menjadi tekanan politik yang hebat, termasuk memutus hubungan politik dan ekonomi. Serta mengeluarkan ancaman aksi-aksi militer terhadap negara mana pun yang terlibat menindas atau membunuh muslim.

Ketiga, menerapkan paradigma kewarganegaraan Islam dalam masyarakat. Menurut Islam, kewarganegaraan seseorang dilihat berdasarkan tempat yang dipilihnya untuk tinggal dan menetap. Seseorang yang menetap di dalam wilayah khilafah dan mentaati seluruh aturannya, tak peduli etnis atau agama mana pun. Maka mereka adalah warga negara yang berhak menerima seluruh haknya sebagai jaminan. Maka dari itu, sudah sangat jelas perintah Islam bagi penguasa muslim Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia untuk segera melakukan tindakan pertolongan terhadap pengungsi Rohingya.

Namun, bergemingnya mereka terhadap nasib kaum muslim Rohingya hari ini adalah akibat bercokolnya konsep kebangsaan dan ditinggalkannya konsep Kekhilafahan. Oleh karena itu, satu-satunya solusi atas permasalahan kaum muslim Rohingya di Myanmar dan juga nasib muslim lainnya, seperti kaum muslim Gaza di Palestina, kaum muslim Uighur di Cina, kaum muslim Pattani di Thailand, kaum muslim Moro di Filipina Selatan, adalah tegaknya institusi pemersatu Daulah Khilafah Islamiyah. Yang akan menjadi pelindung umat dari segala macam mara bahaya dan menjadi satu institusi yang akan mewujudkan kembali peradaban Islam yang mulia.

Ketika ada Khilafah, khalifah akan menerima muslim Rohingya. Mereka akan menjadi warga negara Khilafah. ini hanya bisa terwujud dengan tegaknya Khilafah. Oleh karenanya, umat Islam hari ini memiliki tanggung jawab untuk berjuang mewujudkan Khilafah, selain tetap memberikan pertolongan bagi muslim Rohingya yang berada di sini. Ini adalah kewajiban kita. Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here