Oleh: Muryani
Indonesia sebentar lagi akan merayakan pesta demokrasi 5 tahunan yakni pemilihan capres cawapres 2024.
Masihkah ingat, ketika pesta demokrasi 2019. Terjadi “perang opini” yang saling menjagokan pasangan capres-cawapres masing-masing. Lalu muncullah istilah “cebong” untuk simpatisan Jokowi dan sebutan “kampret” untuk pendukung Prabowo. Setelah Pilpres 2019 usai, istilah itu bergeser menjadi “buzzeRp” dan “kadrun”. Namun, setelah Prabowo masuk dalam kabinet Jokowi, para pendukung Jokowi lebih sering menyebut “kadrun” terhadap mereka yang kecewa dengan rekonsiliasi Prabowo yang awalnya menjadi rival dalam Pilpres 2019.
Momen pemilu memang berpotensi terjadi gesekan antara pendukung, bahkan bisa menumbuhkan kecintaan pada figur yang mereka dukung secara berlebihan. Ketika sang figur dihujat oleh kubu yang berlawanan, emosi pun bisa di luar kendali hingga mengeluarkan umpatan yang tidak semestinya.
Dalam sistem demokrasi sekarang, pemilu dianggap sebagai arena hidup dan mati. Siapa yang memenangi pertarungan, ialah pemenangnya. Setelah mendukung sampai titik darah penghabisan, pendukungnya dilupakan. Ini yang terjadi pasca-Pilpres 2019 bahwa rekonsiliasi Jokowi-Prabowo mengecewakan banyak pihak, termasuk para pendukungnya. Setelah pesta pemilu usai, Prabowo malah merapat ke kubu Jokowi demi mendapat jatah kursi.
Diduga rakyat pendukung Prabowo kala itu pun merasa dibohongi dengan sosoknya yang terlihat garang seperti macan saat pilpres, tetapi langsung berubah seperti kucing ketika diberi umpan jabatan di pemerintahan.
Kemarin lawan, sekarang kawan. Begitulah realitas parpol sekarang. Lain simpatisan, lain sikap para elite parpol. Para elite parpol justru lebih mementingkan tujuan dan kepentingan yang hendak diraih ketimbang mengurusi fanatisme masyarakat yang mendukung mereka. Sekalipun masyarakat memilih menjadi oposisi, misalnya, itu tidak berlaku bagi parpol. Pilpres 2019 adalah contoh nyata demokrasi tidak mengenal kawan ataupun lawan. Yang abadi hanyalah kepentingan.
Umat harus paham bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan setiap kebijakan parpol, melainkan lebih pada manfaat yang bisa diambil parpol dari setiap keputusan politik yang mereka buat.
Fenomena kutu loncat hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik adalah untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. Jika masyarakat mencermati betul, koalisi yang dibangun dalam setiap kontestasi pemilu pasti berwajah dinamis.
Jadi, sangat merugi jika kita terlalu mengedepankan fanatisme terhadap partai. Apalagi hingga terjadi bentrokan yang tidak mengindahkan semangat persaudaraan dan persatuan.
Hal ini, kita harus paham akan banyak pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan beraneka cara. Oleh karenanya, umat harus tahu realitas politik demokrasi agar tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.
Dalam Pandangan Islam
Parpol berdiri bukan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan memenangkan suara semata. Lebih dari itu, parpol berperan strategis dalam melakukan perubahan di tengah masyarakat, yaitu membentuk kesadaran dan pemahaman politik yang benar. Politik yang bermakna mengurusi urusan rakyat.
Tujuan berdirinya parpol dalam Islam adalah untuk membina dan mendidik umat dengan pemahaman yang lurus sesuai pandangan Islam, bukan sekadar sebagai wadah menampung aspirasi suara rakyat. Mereka juga harus melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, tidak membela kezaliman, dan tidak bersikap manis hanya untuk menyenangkan penguasa. Semestinya parpol berdiri untuk membela kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Itulah cara kerja parpol dalam Islam.
Islam membolehkan berdirinya banyak parpol dalam rangka muhasabah kepada penguasa. Yakni amar makruf nahi mungkar. Artinya, tugas parpol sebagai penyambung aspirasi rakyat dalam rangka membangun kesadaran penguasa ketika menjalankan tugas dan amanahnya.
Maka, landasan parpol haruslah dengan aturan Islam, bukan kepentingan individu atau golongan. Dengan begitu, parpol tidak akan mudah berbelok arah karena bersandar pada akidah Islam. ***