Listrik Gratis di Sistem Demokrasi Bagai Mimpi di Siang Bolong

0
25

Oleh: Muryani

Pelanggan listrik nonsubsidi (900 VA ke atas) sedang harap-harap cemas. Sebab pada Juli 2024 ini, tarif dasar listrik (TDL) naik atau tidak sebab, pertiga bulan akan ada penyesuaian tarif listrik bagi pelanggan nonsubsidi. Ketetapan tersebut mengacu pada Permen ESDM No. 8/2023.

Misalnya saja, Menko Airlangga Hartarto yang mengatakan bahwa jika tidak ada kenaikan TDL, pemerintah harus menggelontorkan anggaran tambahan untuk PT PLN. Alhasil, kondisi ini makin melebarkan defisit APBN. Begitu pun Dirut PT PLN, Darmawan Prasodjo yang merespons dengan mengatakan bahwa subsidi listrik harus lebih tepat sasaran sehingga yang tidak berhak seharusnya tidak boleh menerima subsidi listrik.

Pernyataan para pejabat tersebut seperti sedang menegaskan bahwa subsidi bagi rakyat merupakan beban negara, sedangkan kenaikan TDL dianggap sesuatu yang wajar dengan alasan inflasi. Inilah yang latar belakang TDL sering naik. Jika pun tidak naik, sering kali alasannya adalah kepentingan politik.

Walaupun pemerintah beberapa kali menegaskan bahwa TDL hanya akan naik pada rumah tangga (RT) menengah ke atas, tetapi faktanya, masih RT yang menggunakan 1300 VA bahkan 2200 VA, kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya subsidi hanya diperuntukkan bagi RT dengan 450 VA dan sebagian 900 VA.

Seharusnya, warga Indonesia bisa mendapatkan listrik murah, bahkan gratis. Bagi semua warga miskin maupun kaya. Ini karena bahan bakar pembangkit listrik di negeri ini begitu melimpah. Sebut saja batu bara sebagai bahan bakar PLTU.

Indonesia adalah salah satu penghasil batu bara terbesar di dunia. Cadangannya mencapai 38,84 miliar ton dan masih bisa digunakan hingga 500 tahun mendatang. Namun, mengapa PT PLN kerap merugi dan harus terus disuntik dana? Sedangkan dengan jumlah cadangan batu bara yang melimpah itu, kita semestinya mudah mendapatkan listrik.

Sebab kepemilikan batu bara sebagian besar dikuasai swasta. Walau sudah ada paksaan dari pemerintah untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dengan harga murah, tetap saja namanya swasta pastinya profit oriented. Mereka lebih senang mengekspor batu bara sebab harga jualnya jauh lebih tinggi.

Begitu pun dengan PLTD yang berbahan bakar solar dan PLTG yang berbahan bakar gas alam. Pada kenyataannya, kepemilikan minyak bumi dan gas di negeri ini pun hampir keseluruhannya dimiliki asing. Inilah yang menyebabkan harga listrik begitu mahal karena bahan bakarnya hampir semua bukan milik negara.

Kepemilikan energi yang dikuasai swasta tidak bisa dilepaskan dari upaya liberalisasi yang diterapkan di negeri ini. Pemerintah bahkan mempermudah swasta menguasai SDA termasuk energi. Sebut saja UU Omnibus Law Cipta Kerja yang makin memberikan keuntungan pada swasta dan merugikan negara.

Liberalisasi energi ini sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang kapitalis, yaitu pemerintahan yang menyerahkan seluruh urusan rakyatnya pada swasta, termasuk mengelola SDA.

Mirisnya rakyat ini, sudahlah kekayaan alamnya dirampok segelintir konglomerat, mereka pun terancam masuk penjara jika menolak. Inilah kekejaman negara kapitalis yang malah hadir untuk melindungi oligarki. Inilah pula yang menjadi jawaban atas mahalnya harga listrik dan seluruh kebutuhan hidup lainnya, seperti air, BBM, pendidikan, hingga sandang, papan, pangan

Listrik mahal dan kebijakan zalim memang satu paket dalam sistem pemerintahan kapitalistik. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bukan raa’in (pengurus) umat.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam yang menjadikan fungsi negara sebagai pengurus sekaligus pelindung umat. Seluruh kebutuhan umat diurusi oleh negara. Negara menjamin seluruh rakyatnya akan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak. Misalnya kebutuhan listrik yang merupakan kebutuhan penting pada zaman sekarang. Ini karena hampir seluruh peralatan rumah menggunakan listrik, mulai dari lampu hingga menanak nasi.

Oleh karena itu, negara harus mengupayakan dengan serius agar listrik bisa dikonsumsi oleh masyarakat dengan harga terjangkau, bahkan gratis. Harga listrik yang terjangkau bahkan gratis sangat niscaya dalam Islam karena beberapa alasan

Pertama, aturan kepemilikan tidak dibebaskan. Kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu individu, umum, dan negara.

Adapun SDA melimpah, seperti minyak bumi, gas dan batu bara, merupakan milik umum. Artinya, swasta haram menguasainya, sedangkan negaralah yang wajib mengelola SDA tersebut dan hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat, baik dalam bentuk SDA yang siap dikonsumsi (BBM, listrik), maupun bentuk fasilitas umum misal: jalan, sekolah, RS, serta infrastruktur yang bermanfaat bagi umat.

Kedua, Islam memandang bahwa subsidi adalah kewajiban, bukan beban. Jika ada rakyatnya yang tidak bisa mengakses kebutuhan dasar, negara wajib memenuhinya. Namun, nomenklatur subsidi tidak dikenal dalam Islam sebab subsidi merupakan tambal sulam negara kapitalis dalam tata kelola negaranya.

Ketiga, listrik merupakan kebutuhan publik yang wajib dipenuhi negara. Tanpa listrik, kehidupan hari ini akan banyak yang tidak bisa terealisasi dengan baik. Seorang dokter tidak bisa membedah pasien tanpa ada listrik, seorang guru tidak bisa menampilkan alat bantu pengajaran yang makin memudahkannya untuk mengajar, seorang ibu tidak bisa menyelesaikan urusan domestiknya, dan masih banyak lainnya.

Maka, perlunya kita hidup dalam naungan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiah). Listrik murah bahkan gratis adalah tanggung jawab negara karena memiliki pemasukan yang sangat tinggi dari hasil pengelolaan SDA. Wallahualam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here