
Oleh : Eci, Pendidik Palembang
Dua orang pejabat Pertamina menjadi tersangka baru kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (2018–2023). Mereka diduga memerintahkan proses blending atau ‘oplosan’ pada produk kilang pada jenis RON 88 dan RON 90 agar dapat menghasilkan RON 92, ungkap Kejaksaan Agung, Rabu (26/05) malam.
Kejaksaan Agung menyatakan temuan adanya ‘pengoplosan’ atau blending Pertamax ini ditemukan tim penyidik berdasarkan temuan alat bukti.Kedua tersangka itu berinisial MK, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga. Satu lagi EC, VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar menegaskan hal itu menanggapi pernyataan PT Pertamina yang menyebut tidak ada pengoplosan BBM Pertamax. (BBC News Indonesia, Selasa 25/02/2025).
Maraknya korupsi di negeri ini disebabkan oleh penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Dalam demokrasi, uang menjadi syarat seseorang untuk menduduki kursi kekuasaan. Untuk bisa berkuasa, calon pejabat harus menyetor uang dalam jumlah besar. Makin tinggi jabatan, makin besar jumlah dana yang harus dimiliki.
Begitu pula partai politik. Agar bisa memperoleh suara yang besar, parpol harus siap menebar banyak uang untuk “membeli” suara rakyat. Salah satu sumber dana parpol adalah BUMN. Bahkan, BUMN menjadi “sapi perah” parpol.
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pengelolaan BUMN bisa diatur oleh parpol. Ini karena tata kelola BUMN yang mengurusi kekayaan alam, termasuk minyak bumi, melibatkan swasta sehingga ada celah bagi petinggi parpol untuk ikut bermain di dalamnya.
Demi memuluskan langkah parpol menguasai BUMN, sistem perekrutan pejabat BUMN dibuat tidak profesional, melainkan kapitalistik dan transaksional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa calon dirut BUMN harus mendapatkan restu dari partai terbesar agar bisa duduk di kursi dirut. Akhirnya terjadi deal politik antara dirut BUMN dengan parpol yang akhirnya merugikan rakyat.
Selain itu, sistem sanksi yang ada saat ini tidak tegas melarang korupsi, bahkan Presiden memberi sinyal pemaafan koruptor jika mengembalikan uang yang dikorupsi. Sanksi untuk koruptor juga sangat ringan sehingga tidak membuat jera. Dengan kekuatan fulus mereka bisa menikmati fasilitas “wah” dalam penjara, bahkan bisa pelesir ke luar negeri.
Dari sisi SDM, penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalisme telah gagal mencetak pejabat yang amanah dan bertakwa. Para pejabat justru bersikap aji mumpung dengan melakukan korupsi sebanyak-banyaknya mumpung masih menjabat.
Walhasil penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalistik merupakan biang persoalan korupsi. Jika maraknya korupsi diibaratkan sebuah liga, bisa dipastikan bahwa sistem sekuler kapitalisme adalah penyelenggaranya.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam mampu memberantas korupsi hingga tuntas. Sistem politik Islam (Khilafah) akan menerapkan syariat Islam kafah sehingga menutup peluang korupsi. Proses pemilihan pemimpin dalam Khilafah berlangsung dengan jujur berdasarkan kualitas calon pemimpin, bukan dengan politik uang. Bahkan, politik uang merupakan hal terlarang (haram) sehingga parpol tidak membutuhkan dana besar untuk pemilu. Apalagi hak pengangkatan pejabat mutlak ada di tangan khalifah, tidak ada peran parpol di dalamnya, kecuali sekadar muhasabah dan pengaduan. Hal ini mencegah calon pemimpin dan parpol berbuat korup.
Dari aspek ekonomi, SDA yang terkategori milik umum, termasuk minyak bumi, dalam Khilafah akan dikelola secara profesional oleh negara sehingga tidak menjadi sapi perah bagi parpol.
Sistem perekrutan pegawai dan pejabat dalam Khilafah akan memperhatikan aspek ketakwaan dan kapabilitas. Dengan demikian, orang yang menjadi pejabat adalah orang yang bersih dan sekaligus mampu. Tidak ada proses transaksional dalam perekrutan pejabat. Khalifah akan memilihnya secara profesional.
Dari sisi hukum, Islam menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan haram karena terkategori tindakan khianat, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Islam melarang tindakan khianat melalui QS Al-Anfal ayat 8, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian, padahal kalian tahu.” Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Sanksi bagi koruptor adalah takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Adapun aktivitas mengoplos BBM secara ilegal merupakan tindakan penipuan (tadlis) yang dilarang dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang melakukan penipuan/kecurangan maka bukan dari golonganku.” (HR Muslim). Pelaku tadlis akan mendapatkan sanksi tegas dari negara.
Pelaksanaan sanksi ini bersifat tegas, misalnya meski yang melakukan korupsi adalah keluarga khalifah, ia akan tetap dihukum. Tidak ada privilese dalam hukum.
Dari sisi kesejahteraan, para pejabat dan pegawai akan digaji dengan layak sehingga tidak ada dorongan ekonomi (kebutuhan) untuk melakukan korupsi. Kekayaan pejabat akan diaudit sebelum menjabat dan sesudahnya. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, ia harus mampu membuktikan sumbernya. Jika tidak mampu, hartanya akan disita dan dihukum dengan tegas.
Hal ini didukung dengan penerapan sistem pendidikan Islam. Dengan demikian, akan terbentuk individu-individu yang bertakwa sehingga ketika menjabat, mereka akan bersikap amanah. Sistem pendidikan Islam juga akan membentuk pribadi yang zuhud, yaitu tidak mudah tergoda dengan harta dan bersikap kanaah, yaitu merasa cukup dengan yang diberikan oleh Allah Taala. Ia tidak akan serakah dan mengambil harta yang bukan haknya.
Dengan semua mekanisme ini, Khilafah akan mampu mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi. Wallahualam bissawab.


