Mekanisme Harga yang Bijak, Islam Solusinya

0
38

Oleh : Qomariah

Dengan adanya kenaikan beras dan sembako lain, jelas membuat was-was setiap masyarakat luas, di mana tidak beras adalah kebutuhan pokok yang wajib untuk dipenuhi oleh setiap masyarakat Indonesia.

Adapun komisi pengawas persaingan usaha atau KPPU, menemukan adanya kenaikan harga pada sejumlah bahan pokok, seperti gula konsumsi, beras, dan cabai merah keriting, hal itu diungkap ketua KPPU M. Fanshurullah Asa, saat sidak di pasar tradisional cihapit Bandung, dan griya pahlawan Bandung, Minggu (11/ 2/ 2024).

Fanshurullah menyebut, sidak ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya permainan harga dan penahanan pasokan oleh pelaku usaha tertentu, serta stabilitas komoditas di Jawa Barat jelang bulan Ramadan.

Sejak akhir tahun lalu terdapat beberapa komoditas pangan yang terus mengalami kenaikan harga dan berada di atas HET yang ditetapkan pemerintah,” kata Fanshurullah dalam keterangan resmi yang dikutipTEMPO, Jakarta (11/2/2024).

Dari pantauan KPPU menemukan kelangkaan pada dua komoditas, yakni gula konsumsi dan beras, untuk gula premium, ditemukan di pasar cihapit, pedagang hanya di atas satu karton berisi 24 kg per pekan, sementara di griya pahlawan, konsumen hanya boleh membeli 3 pcs per konsumen, untuk gula konsumsi 1 kg. sedangkan stok beras premium tidak banyak dijual dan ada pembatasan dari pemasok.

Sebentar lagi memasuki Ramadan, sementara beras adalah kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, tetapi harga beras dan sembako lain justru terkerek naik, jelas menyusahkan setiap orang, sehingga menyebabkan penghasilan keluarga akan banyak tersedot untuk belanja beras, sampai menyebabkan pengurangan belanja kebutuhan yang lainnya. Bagi masyarakat miskin kenaikan harga beras juga akan menjadikan mereka tidak bisa membeli beras dalam jumlah yang layak.

Selama ini pemerintah mengklaim kebijakan bansos sebagai solusi efektif terhadap kenaikan harga beras, namun ternyata, meski ada bansos harga beras tetap saja naik, pembagian bansos tidak semua rakyat miskin mendapatkannya, bahwa temuan di lapangan menunjukkan masih banyak bansos yang salah sasaran, selain itu aroma politisasi bansos juga menguat.

Penyebab salah satu kenaikan harga beras, adalah rusaknya rantai distribusi beras yang dikuasai oleh sejumlah perusahaan besar beromzet triliunan rupiah, perusahaan besar ini memonopoli gabah dari petani dengan cara membeli gabah dengan harga yang lebih tinggi, sehingga banyak penggilingan kecil yang gulung tikar, karena tidak mendapatkan pasokan gabah.

Perusahaan besar ini, tidak hanya menguasai sektor hulu, tetapi menguasai sektor hilir juga, dengan teknologi canggih, sehingga mereka menghasilkan padi berkualitas premium, sedangkan penggilingan kecil hanya bisa menghasilkan beras berkualitas medium, dengan demikian perusahaan besar mampu menguasai pasar dan memproduksi beras dengan berbagai merek, alhasil perusahaan besar mampu mempermainkan harga dan menahan pasokan beras, di sisi lain ada larangan bagi petani untuk menjual beras langsung ke konsumen.

Dengan adanya distribusi (monopoli) beras, membuat perusahaan besar mampu mempermainkan harga, dan menahan pasokan beras, beras ditahan di gudang-gudang sehingga harganya naik, dan setelah harganya tinggi, baru dilepaskan ke pasar. Hal yang semacam ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga merugikan petani, alhasil tingginya harga ritel beras di tingkat konsumen tidak berarti petani memperoleh untung besar, yang mendapatkan untung besar adalah perusahaan besar (kapitalis) yang memonopoli distribusi beras dari hulu hingga hilir.

Pemodal bisa memiliki modal besar, adalah karena bisa menyedot dalam masyarakat melalui bisnis finansial ribawi (lembaga keuangan bank dan non bank) dan pasar sekunder (saham, obligasi, dll).

Beras merupakan kebutuhan pokok, salah satu komoditas strategis karena menyangkut hajat hidup orang banyak, adapun solusi dalam Islam negara wajib mengelola beras dari hulu hingga hilir, yaitu dengan produksi, distribusi, hingga sampai ke tangan rakyat. Negara harus memastikan rantai distribusi ini sehat, yakni bebas dari penimbunan, monopoli dan berbagai praktik bisnis lainnya yang merusak rantai distribusi.

Cuma yang mampu mewujudkan jaminan pengelolaan komoditas pangan hanyalah daulah Islam, sebaliknya, negara yang menerapkan kapitalisme, akan melakukan liberalisasi pangan, yaitu negara lepas tangan dari pengelolaannya dan justru menyerahkan kepada swasta (kapitalis).

Politik ekonomi daulah Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat perindividu, terutama kebutuhan pangan, jaminan ini diwujudkan oleh negara, dengan menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai satu kewajiban negara. sektor hulu (produksi), negara akan memberikan bantuan pertanian kepada rakyat yang menjadi petani, seperti bantuan lahan, pupuk, benih, pestisida, alat pertanian, dll.

Sedangkan sektor hilir (distribusi), Kholifah akan memastikan bahwa tidak ada hambatan distribusi, dan perhatikan setiap rakyatnya, jika ada kebutuhan bantuan dari negara.

Khalifah sebagai pelindung (Junnah), dengan luar biasa selalu memperhatikan penyediaan pangan, merupakan wujud peran negara kepada semua rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Al iman (Khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-Nya. (HR.Muttafaqun’alayh).

Mekanisme pembentukan harga, daulah Islam tidak melakukan pematokan harga (tas’ir), harga dibiarkan terbentuk secara alami sesuai permintaan dan penawaran dari pasar, dengan demikian negara tidak menentukan HET, menurunkan harga melalui kebijakan negara dalam membenahi sektor hulu dan hilir, sehingga harganya terjangkau dan stabil, dalam daulah Islam dilarang keras menimbun beras dan komoditas lainnya.

Di dalam daulah Islam, apabila ada pelaku penimbunan, akan diberi sanksi yang tegas dan menjerakan, tidak ada mafia pangan di dalamnya, pelaku dan aparat yang terlibat akan dihukum dengan adil, bahwa solusi satu-satunya hanya dengan penerapan Islam secara Kaffah untuk menyelesaikan persoalan ekonomi dan bermuamalah secara hakiki. Insya Allah. Wallahu a’lam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here