Oleh : Daliyem (Terapis Thibun Nabawi)
Tanpa terasa sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru 2024. Tentunya, banyak rencana ke depan yang dipersiapkan setiap orang. Tetapi, kita tidak boleh melupakan berbagai kejadian-kejadian yang silih berganti menimpa hidup kita. Tidak sedikit bencana yang terjadi, ada yang kehilangan harta benda, bahkan jiwa. Semuanya adalah sesuatu yang harus kita lihat ke depan dengan senantiasa bermuhasabah.
Menjelang pergantian tahun, kita melihat di wilayah perkebunan, para petani mulai mempersiapkan tanaman jagung untuk perayaan tahun baru. Semua ini dijadikan sebagai seremonial untuk menyambut pergantian kemeriahan tahun baru, seperti membakar jagung, pesta kembang api, berkumpul dan makan-makan. Seolah aktivitas ini dinormalisasi untuk dilakukan oleh semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, kalangan muda dan juga tua.
Umat semakin boros, dan menghambur-hamburkan uang. Mereka terjebak dalam rutinitas perbuatan yang jauh dari syariat. Padahal, sudah jelas hukumnya haram. “Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85).
Perayaan tahun baru sudah dirayakan sejak 4.000 tahun lalu. Asal usul perayaan tahun baru pertama kali tercatat sejak sekitar 4.000 tahun lalu atau sejak 2.000 tahun sebelum masehi (SM). Tujuan perayaan tahun baru ini dalam rangka menghormati kedatangan tahun baru yang dilakukan oleh Bangsa Babilonia (1696-1654 SM).
Pada saat itu, tahun baru dirayakan pada pertengahan bulan Maret, karena pada masa itu adalah pergantian musim. Bagi bangsa Babilonia perayaan tahun baru dianggap sebagai kemenangan Dewa Langit Marduk melawan Dewi Laut yang jahat, Tiamat. Selama perayaan tersebut Raja Babilonia menerima mahkota baru sebagai simbol pembaruan mandat dari sang Illahi.
Sejarah 1 Januari jadi awal tahun nerupakan asal usul perayaan yang ditetapkan pada 1 Januari tak lepas pula kaitannya dengan pengembangan penanggalan Bangsa Romawi Kuno sebagai penghormatan kepada Dewa Janus, dewa permulaan Romawi. Kala itu, bangsa Romawi memperingati tahun baru dengan berbagai pengorbanan kepada Janus dengan cara bertukar hadiah, mendekorasi rumah, dan mengunjungi beberapa pesta.
Pada masa abad pertengahan, kekaisaran Kristen di Eropa memberi makna religius di sekitar pergantian tahun seperti tanggal 25 Desember sebagai Hari Natal, dan penetapan 1 Januari sebagai tahun baru pertama kali dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582. Hingga kini pada tanggal 1 Januari dirayakan sebagai awal tahun baru oleh sebagian besar masyarakat dunia.
Berdasarkan dari tradisi yang dilakukan oleh orang-orang kafir tersebut, mengapa pada akhirnya kaum muslim ikut terjebak suka cita yang mereka lakukan? Tanpa mereka sadari, saat ini mereka larut dalam perayaan tradisi di luar ajaran Islam.
Bukankah Allah SWT telah berfirman yang artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.”(QS. Al-Baqarah : 120).
Senada dengan hadits Rasulullah SAW, ”Orang yang menyerupai suatu kaum, maka ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).
Kedua dalil ini menunjukkan larangan yang keras bagi seorang muslim untuk mengikuti syariat agama di luar Islam. Tetapi, sebagian kaum muslim tidak menyadari dan menganggap ini hanya sebagai tradisi biasa, padahal sejatinya dapat menyebabkan seseorang lalai dan menjadi lemah imannya.
Semua yang terjadi bukan tanpa sebab. Sejatinya, Islam adalah agama yang sempurna, agama yang diridhoi Allah SWT. Semua tidak lepas akibat ketida pahaman kaum muslim terhadap syariat Islam. Pondasi agama yang tidak kokoh, tidak murni mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap syariat.
Sistem yang menjadi pandangan/akidah kaum muslim saat ini adalah sekularisme, yaitu fasluddiin anil hayah (pemisahan agama dari kehidupan). Agama hanya dianggap ibadah ritual semata hingga aturan kehidupan di luar ibadah menggunakan aturan manusia. Akidah sekularisme hanya mengatur ibadah ritual, seperti sholat, puasa, membayar zakat, berangkat haji/umroh.
Padahal, Islam harus dijalankan secara kafah, menyeluruh dan sempurna. Pun dalam hal meninggalkan tradisi dan perayaan di luar agama Islam. Seorang penguasa dalam sistem Islam akan menjadi raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Maka, penguasa juga turut hadir dalam menjaga akidah umatnya dengan berbagai pengaturan yang sesuai Alquran dan Hadits. Wallahu’alam bishowwab.