Pemilu Ditunda, Atas Kepentingan Siapa?

0
255

Oleh : Retno Purwaningtias, S.IP (Pegiat Literasi)

Wacana penundaan Pemilu 2024 makin panas. Beberapa pihak ada yang mendukung, dan tak sedikit pula yang menolak wacana tersebut.

“Perpanjangan masa jabatan”. Begitulah narasi yang dilontarkan oleh beberapa elite politik di negeri ini. Sejak isu ini muncul, polemik pun terus bergulir di tengah publik.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini sebenarnya sudah lama muncul ke permukaan. Sebutlah di tahun 2019 lalu, ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode. Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi empat tahun dan dapat dipilih sebanyak tiga kali. Hingga bulan Maret ini, wacana tersebut muncul kembali.

Belum kelar polemik perpanjangan masa jabatan, kini penundaan Pemilu jadi perbincangan baru. Usulan penundaan pemilu yang disuarakan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar masih menjadi perbincangan hangat hingga hari ini. Ia menyebutkan bahwa usulan ini disampaikan karena adanya masukan dari para pengusaha, pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), hingga analis ekonomi, yang mengusulkan untuk melakukan penundaan pemilu tahun 2024 selama satu atau dua tahun.

Gayung pun bersambut. Usulan ini kemudian didukung oleh Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Sebelumnya, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, juga memberikan usulan serupa. Bahlil bahkan mengeklaim, usul tersebut datang dari para pengusaha yang bercerita kepadanya. Alasannya, perlu waktu untuk memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19, sehingga para pengusaha ingin penyelenggaraan Pemilu ditunda.

Demikianlah, dukungan terhadap perpanjang masa jabatan Presiden dikemukakan oleh para elite politik yang sekaligus merupakan tim koalisi dari pemerintahan presiden saat ini. Ada beberapa alasan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, yakni karena kondisi pandemi masih terjadi; anggaran pemilu tidak memungkinkan; kepuasan rakyat terhadap Presiden Jokowi tinggi.

Di sisi lain, penolakan wacana ini pun pun terus bergulir. Salah satunya sikap penolakan ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang menilai wacana memundurkan pemilu merupakan pemikiran yang tak logis. Menurutnya, wacana itu telah melanggar konstitusi, dan semestinya semua pimpinan di tingkat pusat hingga daerah harus patuh dengan masa jabatan yang telah ditentukan. (nasional[dot]kompas.com, 26/2/2022).

Klaim tiga petinggi partai politik nasional tentang alasan perpanjang masa jabatan ini semata-mata karena adanya tuntutan dan keinginan dari masyarakat ini pun terbantahkan. Berdasarkan hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), mayoritas masyarakat justru menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini. Upaya penolakan pun turut disampaikan oleh para pengamat politik negeri ini, yang mencium aroma ketakutan para elite politik sebab akan kehilangan eksistensi dan posisi strategis di pemerintahan.

Atas nama rakyat, setiap kebijakan dicipta–meski entah rakyat yang mana yang sedang mereka perjuangkan. Rakyat akan terus dibuat resah dengan berbagai pernyataan yang keluar dari para pemangku kebijakan dalam sistem ini. Inilah ciri khas demokrasi yang selalu mengatasnamakan rakyat di balik kepentingan golongan, baik oligarki maupun penguasa saat ini.

Kita sudah khatam, bagaimana sistem ini berdiri di atas slogan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, pada kenyataannya slogan tersebut hanya akan digunakan selagi ada manfaat yang dapat diambil dari rakyat. Sementara itu, pengurusan terhadap rakyat dilakukan sekadarnya saja. Amanat akan mudah dikhianati dan selesai saat pesta demokrasi usai. Cita-cita sejahtera di bawah naungan demokrasi saat ini, pada kenyatannya bak punuk merindukan rembulan.

Perebutan kursi kekuasaan menjadi hal lumrah. Bahkan, meski harus menabrak aturan yang sudah dibuat dan disepakati bersama. Manipulasi, tipu-tipu, dan jual nama menjadi senjata agar langgeng pada kekuasaan tuan nya. Inilah buah getir demokrasi saat ini.

Kepercayaan masyarakat kepada para penguasa pun perlahan pudar. Masyarakat kini mempertanyakan atas setiap kebijakan yang dibuat. Sebab jika ditanya apakah rakyat puas dengan hasil kinerja penguasa saat ini, survei pun mengatakan sebagian besar masyarakat sudah kehilangan kepercayaannya. Semua tidak lain karena secara berulang rakyat akan menjadi korban harapan palsu segudang janji-janji kampanye yang tak kunjung ditepati.

Sementara itu, seolah menjadi rahasia publik, setiap kali perhelatan pesta demokrasi berlangsung, biaya yang dihabiskan sangat fantastis nilainya. Demikian pula dengan waktu, tenaga dan pikiran yang akan dikuras habis demi untuk memperoleh suara. Namun kenyataannya, demokrasi gagal menuntaskan segala problematika rakyatnya. Kesejahteraan hanya cerita semu belaka. Kini, rakyat merasakan buah pahit dari narasi dan lahirnya kebijakan- kebijakan tidak prorakyat.

Paradigma demokrasi meletakan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dasar inilah yang banyak mengakibatkan kekacauan di tengah rakyat. Karena setiap isi kepala yang satu, akan berbeda dengan isi kepala yang lainnya. Sehingga dapat diartikan nafsu menjadi penentu demi melanggengkan kepentingan para kapital oligarki.

Kekacauan dan kebingungan yang dialami umat saat ini, sejatinya tidak lepas dari dicampakkannya aturan Allah Swt. dari kehidupan. Perasaan cinta dunia menjadikan para penguasa khawatir kehilangan posisi yang dirasa nyaman. Alhasil, amanah mengurus rakyat pun terabaikan demi meraih kepentingan golongan.

Hal ini jelas tidak akan terjadi jika sistem pemerintahan saat ini diatur dengan aturan syariat. Sebab dalam naungan Islam, penguasa sebagai pelayan rakyat, wajib mengurus dan menerapkan hukum Allah Swt. dalam segala urusan. Meneladani bagaimana Rasulullah saw. dalam bernegara dan memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya.

Dalam sistem pemerintahan Islam, antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sulthan) dibedakan secara tegas. Paradigma Islam memandang bahwa kedaulatan berada di tangan syarak. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqubat (sanksi-sanksi).

Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekali pun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah SWT.

Paradigma Islam juga memandang bahwa kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syarak itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syarak.

Demikianlah syariat Islam tegak di atas landasan yang sempurna. Lahir dari aturan Zat yang Maha Sempurna yaitu Allah Swt.. Syariat ini akan tegak secara kafah dalam naungan institusi negara. Alhasil, umat akan berdikari dan bebas dari intervensi. Tidak akan ada lagi diskriminasi. Niscaya umat sejahtera di bawah kepemimpinan Islam. Rahmat Allah SWT pun akan hadir bagi seluruh alam.

Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here