![WhatsApp Image 2025-01-28 at 19.34.03](https://kliksumatera.com/wp-content/uploads/2025/01/WhatsApp-Image-2025-01-28-at-19.34.03-1024x1365.jpeg)
Oleh : Qomariah (Muslimah Peduli Generasi)
Problem Pendidikan berparadigma kapitalisme sekuler sangat rentan di kapitalisasi, dijadikan komoditas bisnis, dan hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Bahwa cara instan dan kecurangan seperti ini, sangat familiar di dunia pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Bahkan terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, baru-baru ini membatalkan kelulusan 233 orang mahasiswanya periode 2018-2023. Sebab ditemukan adanya ketidaksesuaian pada lulusan studi Ilmu Komunikasi Stikom.
Adapun alasan yang lainnya yaitu; untuk menjalankan good university governance di lingkungan Stikom Bandung, serta hasil rapat kampus ini mengejutkan banyak pihak. Bahwa keputusan tersebut diambil setelah tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Dirjen Dikti menemukan beberapa kejanggalan dalam proses kelulusan. Di antaranya ketidaksesuaian jumlah SKS dan IPK, antara data kampus dan pangkalan data.
Dalam surat itu juga dilampirkan enam halaman yang berisi daftar nama lengkap 233 orang mahasiswa dan nomor induknya dengan status kelulusan dibatalkan (Tempo.com 9/1/2025).
Kampus swasta itu kini juga masih berusaha menarik kembali ijazah yang telah diberikan kepada para alumninya. “Boleh dikatakan saya sebagai pimpinan, di luar dugaan lah kejadian ini,” kata Ketua Stikom Bandung Dedy Jamaludin Malik kepada Tempo.co (Rabu, 8/1/2025).
Penarikan dan pembatalan ijazah di Stikom Bandung, adalah persoalan sistemis yang masih menjadi PR besar, yakni buat kesalahan pendidikan berparadigma kapitalisme sekuler.
Adapun problematika pendidikan hari ini, terlepas dari siapa yang benar dan salah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi jika sistem pendidikannya benar, kebobrokan pendidikan yang tersistem mengingatkan kita pada kasus plagiarisme publikasi ilmiah yang pernah dilakukan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas), kumba Digdowiseiso. Memicu munculnya penggunaan karya ilmiah atau penyedia jasa yang memfasilitasi adanya jurnal abal-abal dan instan.
Ketika regulasi tidak diimbangi paradigma pendidikan yang benar, tidak sedikit akademisi yang berlomba menggenjot kuantitas publikasi ilmiah dengan cara instan dan haram. Tujuannya untuk mengejar jabatan insentif gengsi atau sekedar formalitas, agar memenuhi syarat tunjangan yang diinginkan. Ini menandakan dunia pendidikan penuh masalah, dan berakhir dengan menghasilkan output pendidikan yang bermasalah.
Pendidikan dalam sistem kapitalisme sekuler sangat rentan dikapitalisasi, dan dijadikan komoditas bisnis. berorientasi hanya pada keuntungan materi semata. Sehingga mengakibatkan nilai-nilai dasar kehidupan dan amal perbuatan tidak lagi bersandar pada aturan Allah Swt. Tetapi mengikuti hawa nafsu dan pandangan manusia belaka. Juga standar perbuatan manusia tidak lagi bersandar pada halal dan haram, kesuksesan dan kebahagiaan hidup diukur dengan nilai materi dan pencapaian yang bersifat duniawi. Alhasil, paradigma ini menjadikan pendidikan hanya berkutat pada persoalan kuantitas terseretnya di dunia kerja saja, dan bukan pada kualitas dan kepribadian yang mulia.
Pendidikan yang seperti ini akhirnya, hanya berfokus pada kuliah, mendapat ijazah, dan bisa bekerja, tanpa memperhitungkan halal-haram. Dampaknya, muncul peluang penyelewengan di semua unsur dan level, sebagai contoh; munculnya penyedia jasa untuk pembuatan jurnal atau skripsi dengan berbagai tarif.
Sangat berbeda sekali dengan sistem pendidikan Islam, di mana pendidikan dalam sistem Islam sukses membangun manusia unggul dari aspek akliah (pola pikir) dan nafsiah (pola sikap). Bukan hanya melahirkan sosok ilmuwan cerdas, tetapi juga memiliki kepribadian yang mulia.
Kecerdasan ilmu yang dimiliki dalam sistem Islam, didedikasikan untuk kemaslahatan umat, tetapi bukan untuk kebanggaan dan menyombongkan diri.
Bagi mereka yang memiliki keahlian atas jerih payah ilmu dan temuan teknologinya kala itu, negara memberikan penghargaan atas jerih payahnya.
Kecerdasan berbalut keimanan menghasilkan ilmu yang memberi manfaat bagi kehidupan umat. Islam merupakan peradaban yang sangat gemilang saat itu, dan menjadikan peta jalan roda pemerintahan yang sukses.
Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang hebat, hanya Islam yang memiliki mekanisme yang benar. Diantaranya; Pertama; menerapkan sistem pendidikan berbasis aqidah Islam. Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan aqidah Islam.
Kedua; sistem pendidikan Islam memiliki instrumen penilaian hasil belajar untuk mengukur kemampuan para peserta didik, yakni melalui penilaian formatip dan sumatif.
Ketiga; negara memberikan akses pendidikan untuk seluruh rakyat secara gratis.
Keempat; suasana lingkungan dan masyarakat yang kondusif.
Kelima; menegakkan sanksi tegas bagi pelaku kriminal.
Bahwa dalam pandangan Islam, pendidikan adalah kebutuhan primer, negara wajib memfasilitasinya tanpa memungut biaya dari rakyat. Dengan begitu, para peserta didik bisa lebih tenang menempuh pendidikan sesuai dengan yang diminatinya, orang tua pun bisa lebih fokus dalam mendidik anak-anak mereka tampak merasa risau dengan biaya pendidikan.
Biaya pendidikan dalam sistem Islam (Khilafah) diambil dari Baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Jika dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apapun dari rakyat. Jika harta di Baitul mal habis, atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka daulah Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.
Hanya kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam secara Kafah, pola pikir dan pola sikap Islam, yang bisa melahirkan generasi yang unggul dan bertakwa dalam membangkitkan peradaban Islam, Insya Allah. Wallahu a’lam bishawab.
![](http://kliksumatera.com/wp-content/uploads/2025/01/awang.jpg)
![](http://kliksumatera.com/wp-content/uploads/2025/01/hpn-2025.jpg)
![](http://kliksumatera.com/wp-content/uploads/2025/01/sunandar.jpg)