Pendidikan Merata dan Berkualitas dengan Zonasi?

0
48

Oleh: Adelusiana

Kisruh PPDB dengan sistem zonasi terus terjadi. Mirisnya sistem ini tetap dipertahankan dan sudah memicu terjadinya banyak pelanggaran dan kecurangan, baik wali murid maupun oknum. sebagaimana yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya telah ditemukan kecurangan dalam bentuk kartu keluarga atau kk palsu, alamat domisili yang tidak sesuai KK hingga praktik suap berupa jual beli kursi.

Di Jawa Barat Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan Jawa barat Adi Afriandi menemukan penggunaan satu alamat domisili oleh delapan kartu keluarga yang didaftarkan di sistem PPDB dan enam pendaftaran yang menggunakan satu alamat domisili yang sama.

Modus pelanggaran lainnya adalah beberapa orang tua siswa ditemukan menggunakan alamat domisili yang pemiliknya telah dinyatakan meninggal. Dikutip dari rri.co.id KBRN, Semarang: sebanyak 30 aduan terkait masalah pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) Jawa tengah 2024 masuk melalui ombudsman. Data itu berdasarkan pantauan posko ombudsman Jateng belum genap, sejak dibuka 11 Juni 2024.

Kurangnya daya tampung jalur zonasi, sejatinya telah menambah persoalan PPDB, beberapa kalangan menilai bahwa alasan zonasi untuk pemerataan dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas layak ditinjau ulang, karena realita di lapangan justru membawa banyak praktik buruk yang berujung pada diskriminasi.

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang juga pengamat kebijakan pendidikan, Cecep Darmawan mengatakan, ketimpangan kualitas sekolah menjadi salah satu pemicu kecurangan dalam PPDB ini.

“Pemerataan kualitas sekolah akan menutup kekurangan PPDB. Jadi jika tidak ingin masalah PPDB terus berulang pemerintah secara bertahap harus meningkatkan pemerataan mutu pendidikan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/6/2024.

Sangkar sistem PPDB di negeri ini sejatinya tidak lepas dari tata kelola pendidikan yang masih berada di bawah payung sistem pendidikan sekuler- kapitalis, inilah akar persoalan yang sesungguhnya, sistem pendidikan sekuler-kapitalis maniscayakan pendidikan mahal, sehingga sulit diakses oleh masyarakat sebab pendidikan dalam sistem ini dipandang sebagai jasa yang boleh dikomersialkan (diperjual belikan).

Ditambah lagi sistem pendidikan yang berada di bawah payung ideologi kapitalisme saat ini telah menempatkan negara sebagai regulator saja, bukan pengurus urusan rakyatnya.

Belum lagi Sistem politik demokrasi kapitalis yang diterapkan saat ini meniscayakan liberalisasi dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Alhasil pihak swasta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terlibat aktif dalam pendidikan, termasuk menyediakan sarana prasarana pendidikan.

Bahkan pemerintah memandang bahwa kurangnya daya tampung pendidikan yang disediakan oleh negara mengharuskan negara bermitra dengan swasta. Padahal dalam sistem kapitalisme pendidikan kerap dijadikan alat pengeruk keuntungan.

Sementara pada saat yang sama negara lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan dan memfasilitasi pendidikan warga negaranya. Oleh karena itu selama yang diterapkan sistem kapitalisme maka problem pemerataan mutu pendidikan tidak akan pernah tuntas, rakyat akan terus merasakan ketidakadilan dan kekurangan yang diproduksi sistem ini.

Berbeda dengan sistem Islam dalam khilafah, kepala negara atau khalifah adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara, Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan.

Hal ini karena Islam telah menempatkan negara sebagai penanggung jawab pengurus seluruh urusan umat, sebagaimana dalam Hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengatakan: “Seorang imam atau (Khalifah) adalah raa’in (pengurus urusan rakyat) dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya,” (HR Al-Bukhari).

Dengan peran utama ini negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana dan prasarana, gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum yang shahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya, sebagai penanggung jawab negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta meski demikian sekolah swasta tetap diberikan kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi dalam bidang pendidikan. Namun keberadaan pihak swasta ini tidak sampai mengambil alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan rakyatnya.

Adapun persoalan anggaran pendidikan maka negara khilafah mengatur anggaran secara sentralisasi atau terpusat, seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari Baitul maal yakni pos fa’i dan, Serta pos kepemilikan umum (SDA).

Dengan mekanisme ini negara mampu memenuhi seluruh kebutuhan pendidikan rakyatnya. Alhasil, pendidikan Islam menjamin pemerataan di seluruh wilayah negara baik di perkotaan maupun di perdesaan, dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh negara, baik secara kualitas maupun kuantitas, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh.

Capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban yang gemilang, dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan rakyatnya khilafah berpegang kepada tiga prinsip yakni, kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi, dengan prinsip ini kromitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi. Sistem pendidikan yang seperti inilah yang mampu menyediakan pendidikan yang berkualitas dan dapat diakses oleh seluruh warga negara. Wallahualam bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here