Penegakan Hukum Secara Tegas, Adil, dan Merata Menurut Islam

0
392

Oleh : Marsal S.Ag (Penghulu KUA Kec. Muara Enim)

Salah satu tugas pokok yang harus dijalankan oleh para penyelenggara pemerintahan di suatu masyarakat ialah menjalankan hukum secara adil dan merata, secara tegas dan bijaksana. Sebab dengan hukum yang adil, serta tegas dan bijaksana itu, maka hak hak rakyat mulai dari rakyat yang paling kecil hingga paling besar, mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat, dan mulai dari rakyat yang paling dekat hingga yang paling jauh, semua akan dapat terpenuhi secara adil dan baik.

Secara umum tidak ada yang dirugikan, jugà tidak ada yang menindas dan terlindas. Jika hukum yang adil dan merata, serta tegas dan bijaksana itu dapat dilaksanakan di masyarakat, maka setiap anggota masyarakat pasti mendukungnya, menghormati dan menaatinya. Tegasnya, hukum di masyarakat makin berwibawa dan dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Para penjahat pun akan berfikir panjang jika mau berbuat kejahatan. Namun sebaliknya jika hukum tidak ditegakkan secara tegas, adil, dan merata, maka akan banyak rakyat yang dirugikan dan tertindas. Maka dari itu rakyat makin tidak percaya terhadap para penyelenggara hukum, bahkan mereka makin dibenci oleh rakyat. Rakyat juga selalu tidak puas dengan putusan putusan hukum.

Ketidakpecayaan dan ketidakpuasan itu kemudian melahirkan tindakan-tindakan menghakimi sendiri atau penghakiman massa. Di saat itulah wibawa hukum menurun, tidak lagi dihargai dan dijunjung tunggi. Jika demikian maka penegakkan hukum secara tegas, adil, dan merata menurut pandangan Islam adalah sangat penting, begitu pentingnya sehingga Allah SWT berfirman dalam Qur an surat An Nisa’ ayat 58. yang artinya : “… dan apabila kamu menetapkan suatu hukum di antara manusia, supaya kamu tetapkan secara adil …”.

Akan tetapi meskipun sudah cukup jelas mengenai pentingnya penegakkan hukum secara adil, merata, tegas dan bijaksana. Ternyata dalam kehidupan masyarakat kita masih ada hukum hukum yang tidak ditegakkan secara tegas, adil, dan merata. Hal itu dapat kita saksikan dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak kasus yang tidak diselesaikan secara tuntas bahkan terkesan dipetieskan, atau dibiarkan begitu saja. Banyak pula kasus-kasus yang diselesaikan dengan penuh rekayasa, sehingga masyarakat geli mendengarnya.
Demikian pula banyak kasus yang diadukan rakyat kepada wakil mereka di DPRD, DPR – MPR, namun kasus tersebut belum tertangani secara serius, atau hanya ditampung dan ditampung hingga menumpuk. Akibat itu semua maka wajar bila kemudian rakyat makin tidak percaya dapat pelaksanaan hukum di masyarakat, juga kurang percara kepada wakil wakil mereka di pemerintahan.

Dan wajar pula di kemudian hari rakyat main hakim sendiri, karena beranggapan bahwa jika kasusnya diserahkan kepada pihak yang berwajib tidak akan ditangani secara adil. Jika demikian berarti telah terjadi krisis kepercayaan terhadap hukum yang berlaku, tegasnya wibawa hukum di masyarakat kita sedang menurun, atau sedang terpuruk.

Yang demikian itu dapat terjadi karena: Pertama, Yang menyebabkan wibawa hukum menurun ialah adanya manusia manusia tertentu yang tidak bisa di adili atau mempunyai kekebalan hukum. Manusia manusia tersebut tidak bisa di adili karena mereka mempunyai kekuatan dan punya posisi tinggi. Akibatnya para abdi hukum yang bertugas menyelidiki, menuntut dan mengadili sebuah kasus tidak dapat berbuat banyak.

Dalam sejarah Islam tidak ada manusia yang di istimewakan dalam pengadilan semua mendapatkan hak yang sama tanpa terkecuali. Demikian pula dalam hukum hukum umum, seluruh manusia mendapatkan hak yang sama tanpa pengecualian. Sebab membeda bedakan manusia di depan hukum, akan merugikan pihak yang lemah dan menurunkan wibawa hukum itu sendiri, termasuk juga hukum Islam. Dan hal itu juga merupakan alamat kehancuran.

Dalam sejarah pengadilan Islam masa lampau, pernah Umar bin Khattab sang pemimpin dunia Islam terpaksa harus duduk sejajar dengan orang Yahudi di depan hakim, dalam kasus kesalahpahaman mengenai tanah antara Umar dengan orang Yahudi. Ternyata kasus itu tidak menurunkan wibawa Umar bin Khattab.

Oleh karena itu, salah satu jalan untuk membangun wibawa hukum di masyarakat kita, marilah kita hindari pengistimewaan terhadap golongan tertentu di depan pengadilan, dan kita berantas penggunaan kekuatan dan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dalm hal kesamaan di depan hakim, Rasuluĺah SAW bersabda dengan artinya :
”Sesungguhnya yang membinasakan orang orang yang sebelum kamu yaitu jika yang mèncuri itu golongan bangsawan (pejabat tinggi), maka hukuman itu tidak dilaksanakan. Tetapi jika yang mencuri itu dari mereka yang termasuk golongan lemah. Tetapi jika yang mencuri itu dari mereka yang termasuk golongan lemah (miskin), maka hukum itu ditegakkan. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad SAW mencuri, mencuri, pastilah aku potong tangannya”. (HR Bukhari & Muslim).

Kedua: Yang menyebabkan wibawa hukum menurun ialah karena hukum di masyarakat kita masih dapat dibeli. Hukum tersebut dapat dibel ikarena ada oknum hakim yang materialis (mempertuhankan harta), dan pihak yang bersangkutan dengan kasus itu memanfaatkan keadaan tersehut. Akhirnya terjadila penyimpangan dalam pengadilan, dan lagi-lagi kaum lemah lah yang dirugikan.

Agama Islam melarang keras permainan suap, sebab permainan suap itu mengakibatkan hilangnya keadilan. Dan Islam juga tidak menghendaki orang-orang yang materialistis itu memegang jabatan atau peranan, karena mereka itulah perusak keadilan. Oleh karena itu, untuk meninggikan wibawa hukum dalam masyarakat kita, permainan suap harus di berantas. Dalam hal suap, Rasulullah SAW bersabda Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya yang artinya: ”Laknat Allah atas orang orang yang menyuap dan yang disuap di dalam hukum”.

Ketiga: Yang menyebabkan wibawa hukum tidak ada lagi ialah karena sanksi hukum terlalu ringan dan pelaksanaannya tidak tegas dan ketat. Akibat terlalu ringannya sangai hukum menjadikan seseorang tidak takut dan tidak jera terhadap ancaman hukum, bahkan nekat melakukan kejahatan. Demikian pula ketidaktegasan pelaksanaan tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh orang tidak bertanggung jawab. Maka untuk menegakkan wibawa hukum, sangsi hukum harus setimpal dengan perbuatan, tegas dan ketat. Allah berfirman dalam Surat Shaad ayat 26 yang artinya: ”Maka berilah keputusan di antara manusia dengan benar-benar yang dimaksud dalam ayat ini ialah adil, tepat, dan setimpal, lagi sesuai dengan hukum Allah.

Keempat: Yang menyebabkan jatuhnya wibawa hukum adalah karena tidak ada jiwa ksatria bagi penegak hukum itu sendiri, yaitu sikap berani membela kebenaran. Seorang hakim haruslah berani karena benar takut karena salah, apapun resikonya. Membela kebenaran adalah keluhuran di hadapan Allah SWT. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here