Penolakan UAS Bukti Nyata Islamofobia

0
250

Oleh : Desi Anggraini (Pendidik Palembang)

Pendukung Ustadz Abdul Somad (UAS) dari Pertahanan Ideologi Sarekat Islam (Perisai) bakal mematuhi aturan polisi untuk tidak mengusir paksa Kedubes Singapura. Perisai menyayangkan tuntutan mereka tidak direspons. Senanatha menyebut penolakan UAS merupakan bentuk diskriminasi bagi warga Indonesia. Dia mengatakan tidak dikabulkannya tuntutan Perisai bakal memicu munculnya aksi dari kelompok lain pendukung UAS.

“Karena tidak menutup kemungkinan akan adanya aksi yang berkelanjutan bahkan juga dilakukan oleh kelompok lainnya yang bersimpati terhadap warga Indonesia yang telah dizalimi di negara lain, penuduhan terhadap Ustaz Abdul Somad sama saja telah mendiskriminasi warga negara Republik Indonesia,” tuturnya.

Dia mengatakan Perisai bakal menggelar aksi lanjutan, imbas kecaman polisi terhadap rencana pengusiran paksa Kedubes Singapura jika tidak meminta maaf. Dia menyebut aksi tersebut bakal dilakukan di Kedubes Singapura dan Istana Presiden dengan estimasi 1.000 massa. Dia mengatakan aksi lanjutan tersebut bakal dilakukan dalam waktu dekat. Dia berharap kejadian penolakan memasuki wilayah negara lain, seperti UAS, tak terulang, (DetikNews, Minggu, 22/05/2022).

Sayangnya, penguasa negeri ini malah menunjukkan sikap berbeda dari umat. Penguasa seakan membenarkan tindakan Singapura. Duta Besar Indonesia untuk Singapura mengatakan bahwa UAS tidak dideportasi, hanya tidak diizinkan masuk dan diminta untuk kembali.

Begitu pula dengan sikap BNPT. Mereka justru kembali menggiring narasi radikalisme dari kasus UAS. Bagai memancing di air keruh, mereka menyebut pencekalan UAS adalah wujud pencegahan Singapura terhadap radikalisme dan terorisme.

Bahkan, ironisnya, ada seorang menteri yang menanggapi dengan menyebut perihal pentingnya menjaga lisan. Ia mengatakan hidup bertetangga itu harus baik dengan menjaga lidah, mulut, tangan sehingga kita bisa hidup enak, dan kita pun bisa bertamu ke tetangga dan tidak perlu diusir.

Sungguh ini bukti Singapura mengidap islamofobia akut. Indikasinya dapat kita cermati dari beberapa poin berikut.

Pertama, penolakan penceramah yang dianggap ekstrem dan radikal. Sebenarnya tidak aneh jika Singapura menolak UAS dengan alasan berpaham ekstremis. Rekam jejak Singapura dari dulu memang sudah terjangkiti islamofobia.

Sebelum UAS, Singapura pernah melarang penceramah dari dua negara lainnya lantaran pandangan dan isi ceramahnya, yakni Ismail Menk (Zimbabwe) dan Haslin bin Baharim (Malaysia). Singapura menganggap keduanya menyebarkan pandangan yang bisa memecah belah kesatuan Singapura.

Ismail Menk pernah berceramah seputar larangan muslim memberi selamat hari raya pada umat agama lain. Sedangkan Haslin dinilai mempromosikan perselisihan antara muslim dan nonmuslim dan Singapura menganggapnya sebagai tindakan menyimpang.

K.H. Cholil Nafis juga pernah memiliki pengalaman saat mengunjungi Singapura 2007 silam. Hanya karena nama depannya “Muhammad”, beliau diinterogasi selama kurang lebih dua jam oleh imigrasi Singapura.

Kedua, sikap hipokrit Singapura. Di satu sisi mereka menolak keras kekerasan dan ekstremisme, di sisi lain mereka merangkul pelaku kekerasan dan ekstremisme yang sesungguhnya, yaitu Israel. Mereka bersahabat baik dengan penjajah Israel yang membunuhi warga Palestina.

Berkelindan, ceramah UAS yang mengatakan keabsahan bom bunuh diri terkait Israel-Palestina justru mereka sebut paham ekstremis dan radikal. Wajar jika ada yang menyebut Singapura sebagai “Israelnya Asia Tenggara” lantaran sikap fobia dan hipokritnya terhadap Islam dan pemeluknya.

Ketiga, mempermasalahkan istilah “kafir” bagi nonmuslim. Sebelum Singapura ada, istilah “kafir” sudah ada dalam Al-Qur’an secara gamblang dan disebut berulang kali. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang ingkar dan dusta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini termaktub dalam QS Al-Bayyinah: 6,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِۗ

“Orang-orang kafir dari kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan kaum musyrik benar-benar akan masuk neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah manusia yang paling jahat.”

“Kafir” adalah sebutan bagi nonmuslim yang tidak mengimani Allah dan Rasul-Nya. Selama berabad-abad, tidak ada yang mempermasalahkan sebutan bagi nonmuslim ini. Namun, belakangan, kata “kafir” sering dijadikan bahan “gorengan”—khususnya oleh Barat—untuk menstigma umat Islam dengan sebutan radikal dan intoleran.

Begitulah upaya Barat menjauhkan umat dari agamanya. Beraneka cara dan strategi busuk mereka pakai untuk mendiskreditkan Islam.

Semestinya tidak perlu ada yang merasa tersinggung dengan istilah tersebut. Sebab, “kafir” adalah bagian dari istilah Islam. Sebagaimana umat Islam juga disebut “domba tersesat” dalam ajaran Nasrani, ataupun “gayim” dalam ajaran Yahudi.

Dalam Islam, toleransi terwujud dengan tidak saling mengganggu ibadah dan ajaran agama masing-masing. Lantas, mengapa kata “kafir” mendapat sentimen negatif dan sering dituduh intoleransi? Mengapa pula hanya umat Islam yang dituduh radikal dan narasi negatif lainnya ketika menggunakan istilah dan ajaran Islam?

Alangkah baiknya apabila Singapura bersikap adil dan objektif. Jangan menghakimi ulama dan umat Islam yang berdakwah dengan menstigmanya dengan label ekstremis. Jangan pula karena bisikan narasi radikalisme, akhirnya terjebak pada islamofobia yang memandang rendah Islam, ajaran, dan pemeluknya.

Nyatanya, sebelum perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, Singapura terkenal sebagai surganya pelarian para buron korupsi. Lebih dari 20 buronan korupsi Indonesia pernah kabur ke Singapura. Jangan sampai ada kesan tentang Singapura begini, “Koruptor dilindungi, ulama dideportasi”.

Islam adalah agama rahmat. Sebutan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bukanlah isapan jempol. Bukti kemuliaan Islam akan banyak kita temukan sepanjang sejarah Islam memimpin peradaban dunia. Perlakuan Islam terhadap orang kafir sangat adil. Islam mengajarkan agar berbuat baik kepada sesama manusia, termasuk nonmuslim.

Sejak Islam diturunkan kepada Nabi SAW. Lalu diteruskan para khalifah sesudahnya, tidak pernah ada pemaksaan Islam terhadap nonmuslim. Bahkan, dalam peperangan sekali pun, ada adab yang berlaku bagi mereka yang berjihad fii sabilillah, yakni larangan merusak tempat ibadah dan fasilitas publik, serta larangan menyakiti anak-anak, perempuan, dan orang tua.

Secara empiris, hanya Islam yang mampu mengurusi masyarakat heterogen dengan sangat baik selama berabad-abad. Hal ini dapat kita buktikan dari ungkapan sejarawan Barat, Will Durant yang bertutur dengan jujur bagaimana perlakuan Khilafah terhadap nonmuslim. “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi. Fenomena seperti itu setelah masa mereka.” (The Story of Civilization).

Dalam Islam, setiap warga negara baik ia muslim atau nonmuslim mendapat perlakuan dan hak yang sama. Nabi saw. bersabda;

أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Ketahuilah, bahwa siapa yang menzalimi seorang mu’ahad (nonmuslim yang berkomitmen untuk hidup damai dengan umat muslim), merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridaan dirinya, maka aku adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR Abu Daud).

Kenalilah Islam dengan kacamata yang benar, yaitu sesuai fakta dan kebenaran. Harus kita pahami bersama bahwa islamofobia sengaja Barat munculkan agar umat kian jauh dari gambaran Islam yang benar dan lurus.

Mereka menebarkan rasa takut terhadap Islam dengan narasi radikalisme, terorisme, intoleransi, serta memonsterisasi sejumlah ajaran Islam dengan sangat buruk. Tujuannya adalah untuk menghalangi kebangkitan Islam sebab satu-satunya ancaman bagi eksistensi ideologi kapitalisme sekuler hanya Islam.

Oleh karenanya, umat Islam wajib belajar Islam dengan kaffah. Pahami dan amalkan dengan benar. Di antara sifat terpuji orang bertakwa ialah mengagungkan syiar Islam, bukan malah fobia terhadap Islam. Wallahu a’lam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here