Oleh : Ummu Affan
Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyesalkan anggapan pemerintah yang menyebut dana pensiunan PNS membebani negara. Menurutnya, hal ini sangat janggal dan terkesan tidak menghargai pengabdian PNS untuk negara.
Syarief menerangkan PNS merupakan unsur penyelenggara negara yang memastikan pelayanan publik berjalan dengan baik. Sehingga mereka sangat layak mendapatkan apresiasi di hari tuanya. Ia menegaskan pensiunan PNS bukanlah beban negara sebagaimana tendensi yang berulang kali disampaikan pemerintah. “Saya kira ini perlu diklarifikasi dan diluruskan oleh pemerintah. Jangan sampai muncul anggapan dari publik dan khususnya PNS, bahwa pemerintah tidak menghargai pengabdian PNS. Selama masa pengabdiannya, PNS telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk pelayanan publik,” ungkap Syarief dalam keterangannya, Minggu (28/8/2022).
“PNS adalah bagian penting dan strategis dalam penyelenggaraan negara. Karena itu, jika setelah pensiun mendapatkan uang pensiun, ini adalah hal yang teramat wajar. Pemerintah, khususnya kementerian keuangan harus menjelaskan maksudnya,” imbuhnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP 25/1981 sebagaimana telah diubah dengan PP 20/2013 tentang Asuransi Sosial PNS, PNS diwajibkan membayar iuran sebesar 8 persen dari penghasilan per bulan selama menjadi PNS. Syarief menyebut iuran ini nantinya akan digunakan sebagai dana pensiun dan jaminan hari tua setelah PNS pensiun. Sehingga, sebagian dari dana pensiun PNS adalah potongan penghasilan setiap bulan yang memang merupakan hak pensiunan. “Jika pemerintah menganggap dana pensiun membebani APBN, lalu mengapa PNS dikenakan potongan penghasilan setiap bulan? Apakah iuran bulanan yang terhimpun dalam PT Taspen dan/atau Asabri dapat digunakan sewaktu-waktu oleh pemerintah? Apakah pemerintah hendak menempatkan PNS sebagai unsur pekerja yang tidak perlu mendapatkan apresiasi? Saya kira deretan pertanyaan ini perlu dijawab oleh pemerintah dengan lugas dan terang,” tegasnya. Jakarta, detik.com.
Dana pensiunan sesungguhnya lahir dari paradigma kapitalistik, dimana seorang pekerja diposisikan sebagai pengawai dalam satu perusahaanya. Dan hubungan rakyat dengan penguasa hanyalah sebatas untung dan rugi. Dengan memandang usia muda sebagai usia yang produktif sedang usia tua atau lansia merupakan usia yang sudah tidak produktif lagi. Disinilah pemerintah mengangkap suatu kerugian apabila mengeluarkan dana pensiun bagi para pegawai yang sudah tidak bekerja lagi, dan dianggap membebani negara, padahal dana pensiun yang dibayarkan kepada si penerima pensiun lebih kecil dari jumlah gaji pada saat mereka masih bekerja sebagai pegawai. Dana pensiun juga sebenarnya berasal dari simpanan atau investasi saat mereka masih bekerja.
Berkebalikan dengan paradigma Islam, cara islam memperlakukan setiap manusia adalah sama. Baik orang tersebut masih dalam masa produktif ataupun tidak lagi. Karena tidak ada istilah pensiun dalam islam, tapi seorang pekerja akan mendapat upah dari pekerjaannya, dan meski ia sudah tidak lagi bekerja dan tidak ada lagi upah atau gaji, maka anggota keluarga atau tanggungan si pensiunan tidak perlu berkecil hati karena ada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Bila ada pensiunan memiliki tanggungan maka akan mendapat sokongan negara untuk menunaikan tanggung jawabnya. Bila pensiunan meninggal dalam keadaan punya utang dan tidak ada ahli warisnya, maka negaralah yang wajib membayarkan hutangnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Barang siapa yang mati meninggalkan harta, harta itu untuk ahli warisnya, tetapi barang siapa yang mati meninggalkan utang atau anak isteri yang lemah (miskin), maka datanglah kepadaku, karena aku yang akan mengurusnya.”
Dalam Islam, segala sesuatu diatur dengan baik karena Islam memiliki seperangkat aturan yang dapat mensejahterakan warganya.
Wallahu ‘alam bishawab.