Oleh: Nelly, M.Pd (Pemerhati Masalah Sosial Politik, Pegiat Opini Medsos)
Di tengah kondisi pandemi yang masih mewabah di seantero negeri, telah diputuskan bersama antara pemerintah, DPR RI dan KPU RI bahwa Pilkada serentak akan tetap dilaksanakan pada Rabu 9 Desember 2020. Hal itu dikuatkan oleh diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemililihan Umum Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020.
Salah satu alasan yang diutarakan oleh pemerintah dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah, agar tak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan tidak hanya legitimasi tak kuat dalam menjalankan roda kepemerintahan, tapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 di daerahnya masing-masing.
Menurut para pengamat melaksanakan pemungutan suara di tengah Pandemi Covid-19 tentu sangat berisiko terhadap penularan Virus Corona. Dan ini juga harusnya menjadi pertimbangan terutama masalah keamanan dan keselamatan petugas dan pemilih dari ancaman penularan Covid-19.
Hal ini dikarenakan beberapa tahapan penting Pilkada memungkinkan menimbulkan kerumunan massa. Selain itu masalah berkurangnya partisipasi pemilih juga harus menjadi perhatian. Karena dengan alasan untuk menghindari berkumpulnya banyak orang, tidak menutup kemungkinan calon pemilih juga enggan memberikan hak suaranya untuk datang ke TPS. (timesindonesia.co.id)
Pelaksanaan Pilkada yang terkesan dipaksakan ini mendapat sorotan dari media asing, seperti dalam pemberitaan suara.com, dalam the star media asal Malaysia menggarisbawahi Pilkada tetap dilaksanakan lantaran kekuasaan sedang membangun dinasti politik. Dimana diketahui putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan menantu Jokowi, Bobby Nasution ikut mencalonkan diri dalam Pilkada 2020.
Pembahasan ini terdapat dalam berita berjudul “Mayoral bids by Jokowi’s son and son-in-law spark ‘political dynasty’ debate” yang terbit pada Rabu 24 Juni 2020. Dilansir hops.id jaringan Suara.com, Sabtu (27/6/2020), artikel dengan judul yang sama juga dimuat dalam situs media asal Singapura, Strait Times. Tulisan itu menyebut Jokowi kini getol memupuk politik dinasti di Indonesia lewat pencalonan Gibran dan Bobby.
Jokowi tidak sendirian, sejumlah pejabat tinggi lain juga disebut-sebut tengah membangun dinasti politik. Misalnya, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, ikut bersaing memperebutkan kursi Wali Kota Tangerang Selatan. Apa yang disampaikan berita asing tersebut bukan rahasia umum lagi di negeri demokrasi ini. Sebab momen pilkada tidak hanya pada saat pandemi agar kroni penguasa memiliki kesempatan duduk di kursi kekuasaan.
Ya beginilah sistem kapitalis demokrasi, tak akan terelakkan pusaran kekuasaan adalah punya penguasa semua, bahkan yang ada serba kepentingan dan manfaat yang bermain. Lihat saja di tengah buruknya penanganan pandemi, pemerintah dan semua pihak bersikukuh tetap menyelenggarakan Pilkada serentak 2020. Mereka beranggapan ini adalah mekanisme sistem untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal.
Namun yang tak kalah penting untuk dikritisi bukan sadalah bagaimana mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya slogan dan ilusi belaka.
Buktinya rakyat hanya didatangi saat kampanye saja, namun dalam hal kebijakan hanya melibatkan para pemilik modal, sementara rakyat diabaikan. Bahkan rakyat hanya jadi sasaran empuk dari kebijakan yang dibuat penguasa dan justru menyengsarakan rakyat itu sendiri. Sadisnya lagi dalam sistem kapitalis demokrasi tak akan lepas dengan yang namanya money politik.
Fakta yang diungkap Rizal Ramli dan Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun saat pertemuan keduanya membahas lucunya demokrasi kriminal yang ada di Indonesia. Adapun dialog keduanya ada dalam kanal Youtube Refly Harun dengan video yang diunggah pada Sabtu, 27 Juni 2020.
Membuka obrolan, Rizal mengaku pernah ditawari untuk didukung menjadi presiden, tetapi ia tidak sanggup karena harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1,5 triliun. Lebih lanjut, Rizal mengungkapkan bahwa dana triliunan rupiah itu harus dikeluarkannya untuk membayar partai-partai pendukung.
Rizal menambahkan bahwa demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang.
Berbagai fakta tentang kebobrokkan sistem kapitalis demokrasi di atas memang nyata adanya. Artinya kepemimpinan dalam demokrasi sungguh tidak efisien dan tidak efektif. Lebih dari itu, pemimpin dalam demokrasi lebih sering berfungsi sebagai stempel atas implementasi agenda-agenda yang telah dirumuskan oleh pihak legislatif, kelompok kuat dan memiliki modal, konsensus internasional bahkan pesanan korporasi.
Sehingga setiap kebijakkan yang dibuat hanya menguntungkan bagi kepentingan para kapital yang telah menjadi pemodal bagi pemimpin agar bisa berkuasa. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin berharap pada para pemimpin yang dihasilkan dalam pemilu dengan sistem demokrasi?
Sebab dalam perjalanannya, teori-teori demokrasi tidak bisa terwujud sesuai utopi penggagasnya. Karena hukum yang dijadikan sandaran ‘kalah bersaing’ dengan kekuasaan riil para pemilik modal. Alih-alih pembatasan kekuasaan akan mampu mengendalikan keserakahan pihak eksekutif, nyatanya pihak legislatif dan bahkan yudikatif sebagai penjaga gawang keadilan sering kali berselingkuh dengan pemilik kuasa dalam mengangkangi hak rakyat.
Dengan demikian, tidak ada faedahnya pembatasan kekuasaan yang berkonsekuensi pada pemilu yang dilakukan secara periodik. Justru yang menggejala adalah pemborosan, kericuhan, peluang terjadi kecurangan, merusak persatuan hingga jatuhnya korban jiwa. Sebagai pesta demokrasi, pemilu tak ubahnya pesta-pesta 5 tahunan tanpa menghasilkan apa-apa untuk kesejhateraan rakyat.
Artinya apa? jika tetap mempertahankan sistem sistem kapitalis-sekuler-demokrasi di negeri ini, maka tidak akan didapatkan kepemimpinan yang amanah,jujur, adil, bertanggungjawab, apalagi shalih dan kafabel.
Lantas bagaimana seharusnya? Jaminan Pemilihan Pemimpin Akuntabel Dalam Sistem Islam. Demikianlah realitas kepemimpinan dalam demokrasi. Keberpihakan atas kepentingan kelompok tertentu, dan pengabaian pada kepentingan rakyat yang didapat. Demokrasi utopia hanya ilusi tidak akan mampu membawa kepada kemashlahatan seluruh manusia. Apalagi sesuai asasnya demokrasi sangat jelas bertentangan dengan Islam sebab dalam demokrasi yang berhak membuat hukum undang-undang adalah manusia.
Sedangkan Islam hanya meletakkan sumber hukum adalah Allah SWT di atas segalanya. Dalam hal inilah turun Firman Allah Ta’ala, artinya: ‘Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, fasik, dan zalim.’ (QS. Al Maidah ). Karena itu, seorang pemimpin itu dipilih untuk menegakkan hukum Allah subhanahu wa ta’ala secara kaaffah. Maka, pemimpin yang shalih lagi bertakwa hanya akan ada dalam sistem Islam. Dengan menerapkan model pemilihan pemimpin berdasar syariat Islam, pasti terjamin akuntabilitasnya.
Tidak akan ada pemborosan dana karena tidak akan ada kampanye, pencitraan calon pemimpin, tidak akan ada kekisruhan dan kecurangan sebagaimana yang terjadi di jagad demokrasi. Kondisi seperti ini bisa terjadi karena ketakwaan menjadi pilar penting dalam negara. Amar ma’ruf nahi munkar juga melekat pada semua warga negara sebagai kontrol sosial atas semua tindak kecurangan terhadap hukum Allah.
Demikian pula pengukuran kapabilitas seseorang pantas menjadi pemimpin seorang khalifah atau tidak, jelas tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum syariat. Karena itu mekanisme pemilihan hingga pemecatan khalifah pun ditentukan hukum syara’. Dalam sistem sahnya khalifah ditentukan dengan adanya bai’at, sebagaimana dulu yang dilakukan kaum muslimin terhadap Rasulullah SAW saat memimpin Madinah.
Sebagai pengganti Rasulullah SAW dalam pemerintahan, khalifah membutuhkan baiat sebagai peneguhan kepemimpinannya. Khalifah dipilih oleh rakyat tetapi tidak bisa di pecat oleh rakyat, karena pemberhentian khalifah dilakukan oleh Mahkamah Madzalim disebabkan pelanggaran hukum syara, sebagaimana hadits Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu dalam sistem Islam khilafah, tidak diperlukan pemilu berkala yang membuang energi, biaya dan waktu. Selama seorang khalifah masih terjaga dari pelanggaran hukum syari’at, adil dalam memutuskan, amanah dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas kenegaraan dan tidak keluar dari syarat-syarat pengangkatannya, maka khalifah masih boleh memegang jabatannya tanpa ada pembatasan waktu. Sekalipun khalifah memerintah karena mandat rakyat melalui bai’at taat, namun pertanggungjawaban khalifah bukan pada rakyat, tetapi langsung pada Allah ta’ala. Sebab, akad antara rakyat dengan khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah.
Dari sini dapat dilihat perbedaan sistem Islam dan kapitalis demokrasi dalam hal pemilu dan kepemimpinan. Jika menginginkan kehidupan yang lebih baik, adil, makmur, dan sejahtera maka jalan satu-satunya mencampakkan demokrasi dan kembali pada sistem Islam kaaffah. ***Wallahu A’ lam Bisshawab