Pinjol Memakan Korban Jiwa, Solusi Tuntas Hanya pada Sistem Islam

0
291

Oleh : Desi Anggraini (Pendidik Palembang)

Karyawan pinjaman online (Pinjol) ilegal yang ditangkap polisi usai meneror ibu di Wonogiri, Jawa Tengah, hingga mengakhiri hidupnya, ternyata digaji dengan angka fantastis. Dia digaji sekira Rp 20 juta per bulan.

Diketahui, ada tujuh orang tersangka yang ditangkap karena diduga terlibat jaringan pinjol ilegal tersebut. Seluruhnya mendapatkan gaji masing-masing maksimal Rp 20 juta per bulan. Dijelaskan Helmy, ketujuh tersangka memiliki peran sebagai operator SMS blasting dan penagih utang.

Mereka diduga bertanggung jawab atas ancaman dan teror yang didapatkan oleh ibu di Wonogiri hingga mengakhiri hidup. Helmy menjelaskan para tersangka mengaku tidak hanya bekerja untuk satu perusahaan pinjol ilegal saja, (tribunnews.com, Jumat, 15/10/2021).

Di tengah ekonomi sulit akibat pandemi, pinjol sering jadi cara tercepat masyarakat agar mudah mendapatkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. Masyarakat mudah tergiur dengan berbagai tawaran, seperti cepatnya proses pengajuan pinjaman, persyaratan mudah dan tidak berbelit-belit, dana bisa cair secepat kilat, tenor singkat, serta tidak adanya kewajiban memberi agunan.

Pemerintah mencatat ada 68 juta orang rakyat terlibat pinjol dengan total omset mencapai Rp 260 triliun. Pemerintah mengaku sudah menindak pinjol ilegal dengan menutup 4.878 pinjol ilegal sejak 2018 melalui Kominfo. Pada 2021, pemerintah menutup 1.856 pinjol ilegal yang tersebar di berbagai website, Google Play Store, YouTube, dan Facebook, Instagram, hingga file sharing.

Hanya saja, mengapa baru sekarang bertindak tegas pada aktivitas pinjol yang menjerat masyarakat, padahal pinjol sudah lama menjamur? Sebelum disinggung Presiden, tidak ada atau jarang penindakan hukum terhadap rentenir yang meresahkan warga. Kini, kondisi rakyat terus tersungkur di tengah ekonomi yang makin hancur.

Pinjol telah memakan banyak korban, mulai dari masalah psikologis, depresi, sampai hilangnya nyawa. Ketakutan terus melingkari masyarakat. Ketenangan dan ketenteraman makin langka, sehingga masyarakat butuh solusi komprehensif. Bila merujuk kepada Islam, syariat tegas mengharamkan riba dan mengancam pelakunya dengan sanksi berat.

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya,” (TQS Al-Baqarah: 275).

Memahami akar masalah sangat penting agar solusinya tidak salah kaprah. Selama kemiskinan masih mendera, kesejahteraan belum terlaksana, dan penyedia pinjaman riba masih ada, akan selalu ada peluang dan kesempatan orang berutang riba. Selama sistem negara melegalkan riba, tidak ada jaminan rakyat tidak terjerat atasnya. Kisah pilu riba akan terus mendengung jika sistem kapitalisme masih bernaung. Mewujudkan masyarakat bersih dari riba tidak cukup dengan gerakan individu atau kelompok. Butuh peran sentral negara dalam menjauhi riba dengan segala bentuknya. Khilafah sebagai sistem pemerintahan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah tidak akan membenarkan praktik riba berlangsung. Negara Khilafah tidak akan melakukan utang riba, apalagi utang luar negeri.

Negara bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada masyarakat, serta membangun kesadaran kolektif akan keharaman riba dan bahayanya bagi kehidupan. Pintu kebodohan masyarakat terhadap syariat tentang riba mesti tertutup rapat. Demikian juga segala akses menuju riba.

Sistem perbankan dan lembaga finansial lain yang bertentangan dengan syariat tidak boleh tumbuh dan berkembang di wilayah negara Islam, baik didirikan warga negara Islam maupun asing. Sebagai negara yang berdaulat penuh, negara penerap syariat kafah tidak boleh tunduk terhadap dikte ekonomi dan politik negara lain. Adapun jika masyarakat membutuhkan dana untuk kegiatan produktif, akan ada Baitulmal yang memiliki pos kepemilikan daulah untuk memberikan pinjaman tanpa riba.

Bahkan, sangat mungkin Baitulmal memberikan (iqtha’) dana tanpa menuntut pengembalian dari masyarakat. Pada sisi yang lain, kebutuhan warga negara fakir miskin akan terpenuhi dari pos zakat dan pemasukan lainnya. Untuk kebutuhan dana pendidikan, kesehatan, keamanan, negara langsung memenuhinya dengan menyediakan sarana dan prasarana terbaik dan gratis. Singkat kata, dalam negara penerap syariat kafah, masyarakat tidak lagi butuh lembaga pinjaman online, meski itu legal, lebih lagi yang ilegal

Demikianlah, saat syariat terterapkan secara kafah, riba mustahil merajalela. Khilafah akan berupaya untuk mencegah dan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Ketika rakyat tercukupi, kesejahteraan menaungi, adakah alasan meminjam harta ke sana kemari? Begitulah harmonisasi tatkala Islam benar-benar terlaksana sempurna. Negara akan berkah jika menjauhi dosa riba dan keharaman lainnya. Allah Ta’ala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96). Wallaahu a’lam bis shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here