Polemik PPN Sembako dan Pendidikan Menambah Derita Rakyat

0
342

Oleh: Devita Deandra (Aktivis Muslimah)

Publik kembali dihebohkan dengan polemik pajak yang akan di berlakukan oleh pemerintah baru-baru ini, menjadi perhatian pasalnya pajak tersebut meliputi bahan pokok yakni sembako berikut pendidikan. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Hal ini Mengacu juga pada Pasal 4A RUU KUP, Kamis (10/6/2021), sembako dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Bahan kebutuhan pokok yang dikenakan PPN antara lain, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi. Dimana sebelumnya, barang-barang tersebut tidak dikenakan PPN karena menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017

Setelah mencuat dan ramai di perbincangkan, Menteri Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat tersebut.

Dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini.

Draft RUU merupakan wacana ke depan yang melihat perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Jelas belum jadi fokus hari ini, karena Indonesia belum pulih dari Covid-19 dan masyarakat masih harus dibantu,” kata Rahayu, sebagaimana dikutip dari akun @FaktaKeuangan, Sabtu (12/6).

Di tengah pandemi yang masih melanda negeri pemerintah masih saja membuat kekhawatiran masyarakat, alih-alih fokus mengakhiri pandemi justru semakin membebani pikiran rakyat dengan rencana-rencana baru yang membuat rakyat semakin tertekan. Menjadi kurang bijak ketika dalam kondisi serba sulit begini pemerintah hanya membahas pajak dan pajak lagi, yang mana isinya selalu saja merugikan rakyat kecil.

Meski wacana itu akan diberlakukan nanti, namun bukan berarti hal ini tidak menjadi kekhawatiran sehingga mendapat begitu banyak penolakan. Sepatutnya pemerintah mempertimbangkan lagi.

Persoalan stunting saja masih banyak terjadi dan belum dapat teratasi di negeri ini, apa jadinya jika pemberlakuan PPN terhadap sembako ini disahkan? Maka, kemungkinannya akan semakin banyak rakyat kelaparan akibat tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Terlebih setelah adanya PHK massal yang mengakibatkan para kepala keluarga kehilangan sumber mata pencaharian ditambah minimnya ketersediaan lapangan kerja membuat keadaan semakin sulit dan rakyat semakin terhimpit.

Apalagi dunia pendidikan hari ini menjadi sarat beban. Bagaimana jika ditambah lagi akan dipungut pajak yang tentu akan membebani siapa pun yang terlibat dalam dunia pendidikan, terlebih lagi rakyat.

Biaya pendidikan hari ini yang tidak murah, khususnya lembaga pendidikan swasta yang kualitasnya di atas sekolah negeri menjadikan orang tua hanya pasrah menyekolahkan anaknya disekolah ala kadarnya. Sebab semakin tinggi kualitas sekolah, semakin mahal biaya yang dibebankan pada wali murid. Maka, orang yang tidak mampu seringnya tak bisa memilih sekolah bahkan hingga berakhir putus sekolah.

Apalah jadinya jika biaya pendidikan yang tak murah ini masih dikenai PPN? Dimana peran pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa? Pemerintah yang seyogianya mensupport penuh anggaran pendidikan untuk mencetak generasi unggul beralih fungsi menjadi penghisap darah rakyatnya sendiri. Jika PPN tetap dipaksakan pada dunia pendidikan, maka penyelenggara pendidikan swasta adalah para pemilik modal yang akan semakin berkibar dan mendominasi. Sehingga, pendidikan semakin mahal dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan. Pendidikan pun bersifat transaksional, tak kan ada lagi jiwa pengabdian dan ketulusan yang berbuah keberkahan.

Kapitalisme Sistem Rusak

Inilah buah penerapan sistem busuk, sistem ekonomi ambruk dan semakin membuat rakyat terpuruk. Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah dalam negeri ini yang seharusnya menjadikan rakyat negeri ini makmur namun menjadi tersungkur akibat sistem kapitalisme yang mengatur kekayaan alam tersebut hanya dapat dimiliki oleh sebagian orang . Tidak hanya itu sistem ini pun hanya mensejahterakan para kapital dengan terus memfasilitasi mereka sedang rakyat hanya sebagai sapi perahan yang terus di hantui kenaikan pajak.

Memang begitulah tabiat sistem rusak, rakyat dijadikan sumber pendapatan untuk mendongkrak perekonomian negara. Namun hasil alam justru diserahkan kepada para perampok yang siap mengeruk hasil alam kita sehingga negara tak memiliki modal. Semua akibat hak kepemilikan umum tidaklah menjadi hal yang wajib diperuntukan untuk umum oleh negara, sebagai modal mengurus kebutuhan rakyatnya. Alhasil negeri kaya ini pun menjadi negeri penghutang dengan rakyat yang hidupnya pun kekurangan. Pendidikan dan segala fasilitas lainnya yang seharusnya rakyat dapatkan secara cuma-cuma justru menjadi beban berkepanjangan. Akibat sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan juga negara alhasil aturan yang dibuat pun jauh dari kesempurnaan.

Selain itu, dalam sistem kapitalisme, sebagaimana yang dianut negeri ini. Pajak memang sudah menjadi andalan utama pemasukan negara. Padahal, sesungguhnya negeri ini kaya akan sumber daya alam yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan pundi-pundi uang yang dapat digunakan untuk kepentingan rakyat. Namun inilah kapitalisme menjadikan negeri ini salah dalam mengelola SDAnya, yang ada justru diserahkan kepada asing.

Alhasil alih-alih memberi kemudahan bagi rakyat, yang terjadi justru rakyat hidupnya semakin menderita. Rakyat tetap dipaksa untuk mengeluarkan pajak sebagai salah satu pendapatan negara. Karenanya, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka ini merupakan salah satu bentuk kezaliman yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya

Bagaimana Islam Mengatur Pajak

Menjadi berbeda ketika sistem Islam yang diterapkan dalam lingkup negara, yang mana Islam menetapkan bahwa SDA merupakan milik umum yang dikelola oleh negara. Hasil SDA tersebut dikelola oleh negara, kemudian dibelanjakan untuk keperluan negara dan umat. Apabila sumber-sumber pendapatan negara termasuk pengelolaan SDA tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka negara boleh memungut pajak (dharibah) atas seluruh kaum muslim untuk melaksanakan tuntutan pelayanan urusan umat. Dengan catatan, pajak hanya ditarik pada kalangan muslim yang kaya saja.

Urusan umat yang dibolehkan untuk dibiayai pajak juga hanyalah urusan negara yang berkaitan dengan pelayanan umat seperti pengurusan fakir miskin, ibnu sabil, kewajiban jihad, gaji pegawai negara, atau penanggulangan bencana. Selain itu, tidak ada alasan untuk menarik pajak.

Berbeda sekali dengan sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai tulang punggung anggaran negara. Ini menyebabkan negara memutar otak untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar-besarnya dari rakyat. Akibatnya, rakyat yang sudah sulit bertahan hidup di sistem ini dibuat semakin tercekik dengan berbagai aturan baru mengenai perpajakan yang sewaktu-waktu dapat disahkan.

Melihat realita kehidupan hari ini, yang kian hari kian sulit seharusnya umat sadar dan kembali kepada Islam yang mana Islam tidak sekedar agama ritual namun Islam juga sebagai ideologi dan diin yang sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam ….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here