Politik Dinasti, Wajah Demokrasi Masa Kini

0
241

Oleh: Marnisa SP

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2020 semakin menunjukkan penguatan dinasti politik. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan Sistem Informasi dan Rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU), sederet kandidat yang terafiliasi dengan pejabat dan mantan pejabat memenangi pesta politik lima tahunan tersebut.

Keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam deretan tersebut. Putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Teguh Prakosa unggul telak atas pasangan Bagyo-Supardjo di Pilwalkot Surakarta. Pasangan Gibran-Teguh mengantongi 87,15% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika. Menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berpasangan dengan Aulia Rachman unggul atas pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi di Pilwalkot Medan. Pasangan Bobby-Aulia mengantongi 55,29% suara berdasarkan hasil hitung cepat Charta Politika.

Kemenangan Gibran akan menjadikan Jokowi sebagai presiden pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala daerah. Catatan sejarah baru ini, pun ditorehkan Jokowi hanya dalam waktu enam tahun kepemimpinannya.  Namun, Gibran telah menampik keikutsertaannya dalam Pilkada 2020 merupakan bagian dari dinasti politik. Hal ini lantaran menurutnya tak ada kewajiban masyarakat memilihnya. “Yang jelas, kalau ditanya dinasti politik, ya dinasti politiknya sebelah mana?”, kata Gibran mengutip Kompas TV, Rabu (9/12).

Sehingga kemenangan keluarga pilkada 2020 ini oleh keluarga Jokowi menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa melepaskan diri dari politik dinasti. Karena hal ini bukan hanya ada di negeri Indonesia saja, namun dinasti politik dapat ditemukan di mana pun, termasuk di negara full democracy –yang konon demokrasinya mapan sehingga money politics-nya tak tampak jelas. Apalagi di negara yang masih harus dipantau perkembangan demokrasinya seperti Indonesia sendiri.

Jadi, tidak aneh lagi jika Jokowi menyeret gerbongnya yang berisikan anak, menantu, besan, dan iparnya ikut berebut kue kekuasaan di Pilkada Desember 2020 lalu. Karena dengan cara politik dinasti inilah yang akan menguatkan kedudukan mereka di pemerintahan agar dapat menguasai dengan lebih leluasa untuk menekan setiap lawan mereka.

Politik dinasti ala demokrasi biasanya muncul dari beberapa sebab, yaitu adanya keinginan dalam diri ataupun keluarga untuk memegang kekuasaan, adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi, dan adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi.

Sehingga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan, orang yang kompeten dilengserkan karena alasan bukan keluarga. Dapat dipastikan pemimpin atau pejabat negara hasil dari politik dinasti berpeluang tidak memiliki kapabilitas menjalankan tugas karena berada di puncak kekuasaan hasil kongkalikong elite penguasa.

Maka dari itu publik harus sadar politik dinasti yang ada pada sistem demokrasi kedaulatan rakyat hanya ilusi, karena keputusan ada pada kaum kapitalis dan pemilik kursi pertahanan. Sedangkan rakyat dianggap sampah seperti kata pepatah “Habis manis sepah dibuang” sesuatu disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi.

Memang inilah wajah dari sistem dari Demokrasi

Demokrasi yang menjadi anak kandung kapitalisme– tentu tak bisa dilepaskan dengan belitan uang. Antonio Contreras dari The Manila Times berpendapat, melarang dinasti politik tidak akan menyebabkan keruntuhan oligarki. Karena inti kekuasaan (dalam demokrasi) berasal dari perilaku mencari uang dan patronasi politik.

Dimana mereka hanya mengedepankan kepentingan mereka dan kepentingan para kapitalis yang memiliki modal besar dari pada rakyatnya sendiri.

Sementara, dinasti memang memungkinkan oligarki, yang berakar kuat dalam ketidaksetaraan struktural dalam kekayaan dan kekuasaan, serta kelemahan lembaga politik seperti sistem partai politik.

Maka dalam negara demokratis mana pun, kekayaan materi memiliki andil besar memengaruhi pengambilan keputusan politik. Karena konsentrasi kekuasaan dan pengaruh mengalir melalui kapital, sah atau tidak sah.

Bahkan tanpa dinasti politik, kekuatan modal akan tetap menemukan cara untuk mengendalikan proses politik. Menurut Contreras, modal adalah kutukan demokrasi saat politik tidak terbebas dari kepentingan ekonomi.

Pemilihan dalam Sistem Islam

Dalam Islam, seorang Khalifah minimal harus memiliki tujuh syarat yang wajib dipenuhi. Yakni laki-laki, muslim, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan. Sehingga dengan ini jelas, tidak akan mungkin terpilih figur nonmuslim, khianat, dan beragam tipe pemimpin rusak lainnya.

Sistem pemilihan kepala pemerintahan, baik pusat maupun daerah dalam Khilafah, bukan hanya memberikan harapan, namun juga telah terbukti. Tidak hanya muncul figur amanah, namun juga bersedia menerapkan sistem penuh berkah. Yakni syariat Islam yang kaffah.

Demikian juga mekanisme pemilihan kepala daerah, baik wali maupun amil yang ditunjuk Khalifah. Khalifah yang terpilih dengan syarat ketat tadi, tentu hanya akan memilih figur yang bertakwa, amanah dan kapabel. Semua tanpa biaya, mahar ini itu.

Sejatinya hanya di sistem Khilafah lah memiliki mekanisme seperti ini yang mampu untuk mengontrol jalannya roda pemerintahan agar tetap lurus. Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban sekaligus hak rakyat dan partai politik yang ada, yang harus dijamin pelaksanaannya. Sebagai wujud tanggung jawab mereka untuk menjaga kehidupan Islam. ***

Wallahu a’lam bishashawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here