Program Makan Siang Gratis, Solusikah?

0
30

Oleh : Eci (Pendidik Palembang)

Sejumlah media asing menyoroti rencana pemerintahan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto, mengganti susu sapi dengan susu ikan untuk program makan siang gratis. Koran asal Singapura, The Straits Times, melaporkan susu ikan sudah lama menjadi inovasi pemerintah RI. Pada 2023, pememerintah RI memainkan peran kunci dalam meluncurkan susu ikan yang dikembangkan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan.

 

Namun, media tersebut juga mempertanyakan soal dampak kesehatan dari susu ikan dan apakah bisa tetap mempertahankan nilai gizi dan nutrisi yang terkandung dalam susu sapi. Seperti yang bisa Anda bayangkan, biaya untuk menyediakan semua makanan ini dengan susu dan daging yang memadai sangatlah besar. Dalam bentuk yang sepenuhnya terealisasi pada tahun 2029, hal ini dapat menelan biaya sekitar 44 miliar dolar AS per tahun. Jumlah ini akan menjadi hampir 2 persen dari PDB Indonesia, dan lebih dari dua kali lipat anggaran kesehatan saat ini. Cnn Indonesia, Jumat, 13/09/2024.

 

Pembangunan kualitas generasi yang sekadar berdasar pada “isi perut” dan mengabaikan “isi kepala”, pada suatu saat akan menemukan titik jenuhnya. Pasalnya, isi perut tidak selalu menunjang aktivitas berpikir. Sedangkan  isi kepala jelas menentukan standar dan hasil dari aktivitas berpikir tersebut.

Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Ini adalah sesuatu yang penting, sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi dan pemahaman terhadap sesuatu.

 

Di samping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan persepsi dan pemahaman terhadap kehidupan tersebut. Atas dasar ini, satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi dan pemahaman seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan di dunia sehingga dapat terwujud persepsi dan pemahaman yang benar terkait kehidupan tersebut.

 

Oleh sebab itu jelas, kebijakan yang hanya berfokus pada isi perut belum tentu mengarahkan kualitas generasi pada standar hidup hakiki serta ukuran halal dan haram bagi kehidupannya tersebut. Tidak heran, cepat atau lambat program makan siang gratis justru tidak ubahnya kebijakan yang sifatnya antara nafsu dan halu saja, tetapi jauh dari realisasi cita-cita yang sejati. Terlebih dengan motivasi agar negeri ini bisa lepas dari status middle income trap, tentu hanya akan berbuah hasil yang semu.

 

Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa generasi di negeri ini dilanda krisis berlapis. Realitasnya, kendala pembangunan generasi tidak hanya terjadi di sektor pendidikan, tetapi juga terdapat faktor lainnya seperti hedonisme pemikiran, kesejahteraan ekonomi, dan liberalisasi media. Apalagi menyangkut kondisi ekonomi nasional yang sudah sangat rapuh, solusi Indonesia untuk keluar dari status negara middle income trap tidak bisa sekadar bergantung pada angka-angka palsu pertumbuhan ekonomi.

 

Demikian halnya dengan kualitas generasi, untuk mencapainya jelas tidak bisa hanya sekadar mengisi perutnya, melainkan harus menjamin dan menjaga pemikirannya agar terisi sebagai calon konstruktor peradaban sahih. Hal ini karena peradaban kufur adalah peradaban rusak yang pasti gulung tikar. Dengan begitu sungguh rugi jika suatu negeri ingin mencetak generasi berkualitas tetapi malah untuk mengisi peradaban kufur.

 

Untuk itu, dalam menanggulangi berbagai faktor penyebab krisis ini, tentu saja membutuhkan solusi yang bersifat sistemis, sehingga tidak bisa hanya sebatas pada realisasi program makan siang gratis. Perubahan yang hendak diemban oleh generasi berkualitas juga harus perubahan hakiki.

 

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11).

Sungguh kita tidak bisa menampik bahwa tidak sedikit profil generasi muda yang saat ini jauh dari gambaran sejatinya. Label “Gen Z” sudah telanjur diremehkan oleh para pendahulunya yang notabene generasi berdaya juang tinggi, kendati Gen Z sebenarnya juga memiliki banyak potensi.

Namun alam hidup kapitalisme sekuler berdampak besar bagi krisis jati diri kaum muda. Lihat saja buktinya, tidak sedikit dari mereka yang mengalami krisis daya juang. Sebagian enggan hidup dalam kepayahan, sebagian harus hidup laksana sapi perah, dan sebagian lagi ada yang memilih jalan sesat menjadi generasi “melambai”, bahkan sampai ada yang harus hidup ngenes akibat mental illness.

Pada saat yang sama, mereka juga terombang-ambing dan begitu mudah terikut arus tanpa mampu melepaskan diri. Kondisi ini akibat semesta kehidupan yang serba bebas dan serba boleh sehingga kehidupan mereka kehilangan pegangan dan standar hakiki.

Di satu sisi, mereka disebut produktif, tetapi atas standar duniawi. Mereka juga disebut tangguh, tetapi sebenarnya jadi buruh. Namun di sisi lain, mereka adalah korban kezaliman sistem kehidupan penghamba harta, yakni kapitalisme.

Oleh karena itu, jika kita membiarkan ideologi kapitalisme terus menerus meracuni kaum muda muslim, pada titik inilah sejatinya tengah terjadi pembajakan dan penyesatan potensi pemuda muslim secara massal dan sistemis. Akibatnya, produktivitas dan ketangguhan pemuda muslim hanya menjadi bahan bakar bagi mesin ekonomi kapitalisme.

Jelas hal ini tidak bisa ditawar lagi. Pemuda muslim butuh perubahan jati diri detik ini juga. Produktivitas dan ketangguhannya tidak akan sia-sia jika digunakan untuk perjuangan membela agama Allah. Tidak pelak, visi besar penggemblengan mereka sebagai bibit generasi unggul pun hanya bisa berdasarkan aturan Allah.

Allah Taala berfirman, “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, ‘Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.’.” (QS Al-Kahfi [18]: 13—14).

Allah juga telah menjamin standar kesuksesan generasi muslim dalam ayat, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Jelas, profil generasi muda muslim berkualitas adalah mereka yang menghendaki menjadi terbaik menurut standar Allah, yakni terikat dengan aturan Islam. Mereka adalah orang-orang yang berkepribadian Islam (memiliki pola pikir dan sikap Islam). Denyut nadi kehidupan mereka tercurah sepenuhnya untuk membela Islam. Keseharian mereka kental dengan aktivitas dakwah. Mereka berdaya juang, beretos kerja prima, pemberani, berkarakter pemimpin, serta mampu mencapai ikhtiar terbaik dan tawakal tertinggi demi kemuliaan Islam dan kaum muslim.

Tentu saja, untuk menjadikan pemuda muslim produktif, tangguh, bahkan mampu meraih gelar umat terbaik itu, tidak cukup dengan upaya individu ataupun keluarga. Harus ada lingkungan masyarakat yang sehat dan negara yang tidak disetir oleh kezaliman dan kepentingan para kapitalis melalui ideologi sekulernya. Sungguh, inkubator untuk menghasilkan profil generasi muda muslim yang produktif dan tangguh hanyalah negara Islam, Khilafah. Wallahualam bissawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here