Rancangan Tarik Ulur Undang-Undang Minol untuk Siapa?

0
166

Oleh: Hj Padliyati Siregar, ST

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar (Munas dan Konbes NU) 2021. Beberapa bahasan yang akan disinggung.

Salah satu isu krusial yang dibahas di arena Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021, adalah Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Ishomuddin, mengatakan bahwa RUU Minol harus mengacu kepada kemaslahatan.

“Sesungguhnya menolak bahaya yang rajih dan jelas-jelas berbahaya itu harus didahulukan daripada mewujudkan kebaikan ‘alal mashalih al-marjuhah yang lebih kecil, tidak banyak, dan tidak kuat,” katanya dalam acara Bahtsul Masail Pra Munas: RUU Larangan Minuman Beralkohol, Jumat (24/9/2021).

Oleh karena itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) yang sudah mangkrak selama 2 periode kepemimpinan DPR dapat segera dirampungkan. “PBNU dalam hal ini meminta kepada DPR untuk tidak hanya sibuk memperdebatkan judulnya saja yang sudah dua tahun tidak selesai,” tutur Kiai Ishom.

Karena, kata dia, selain aspirasi yang selama ini digaungkan ormas-ormas keagamaan. Dia juga menilai bahwa DPR RI mempunyai andil dalam mewakili suara umat Islam dan warga negara lainnya atas kemudaratan hal tersebut.

“Jadi, anggota DPR RI juga mewakili umat Islam mengusulkan satu aspirasi untuk melindungi semua bukan hanya umat Islam tetapi juga melindungi non Muslim sebagai warga negara Indonesia untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang membahayakan mereka sendiri,” jelasnya.

Perlindungan yang dimaksudkan sudah jelas tertuang dalam prinsip keagamaan, yang di dalamnya terdapat lima bentuk maqashid syari’ah atau biasa disebut kulliyat al-khamsah (lima prinsip umum). Kelima maqashid tersebut, yaitu: hifdzuddin (melindungi agama), hifdzunnafs (melindungi jiwa), hifdzul ‘aql (melindungi pikiran), hifdzul maal (melindungi harta), dan hifdzunnasl (melindungi keturunan). Hal itu, menurut Kiai Ishom, ditegaskan pula dalam sisi medis bahwa alkohol tidak untuk dikonsumsi karena berpotensi membawa banyak kemudaratan.

“Nah, dari sisi kedokteran alkohol itu tidak untuk dikonsumsi, diminum, atau untuk mabuk-mabukan. Sehingga orang yang sudah mabuk-mabukan itu tentu saja sulit bisa dipercaya menjaga 5 hal tadi,” ucap kiai kelahiran Lampung itu.(NU online)

Mengutip laman resmi dpr.go.id, Badan Legislatif (Baleg) hingga kini masih menyusun draf RUU Minol yang ditargetkan selesai pada akhir 2021. Tertulis dalam keterangan, terdapat 14 materi muatan di dalamnya, yakni 1) definisi minuman beralkohol; 2) jenis, golongan, dan kadar minuman beralkohol; 3) pendirian industri, produksi, perizinan, dan mekanisme produksi serta perdagangan atau peredaran minuman beralkohol; Kemudian, 4) pembatasan impor minuman beralkohol; 5) dukungan pengembangan minol tradisional/lokal; 6) distribusi dan perdagangan minuman beralkohol; 7) cukai dan pajak minuman beralkohol; 8) pengawasan dan penanganan atas dampak yang ditimbulkan oleh minol; Lalu, 9) batasan usia dan tempat yang dilarang atau dibolehkan untuk peredaran dan konsumsi minol; 10) tugas, kewenangan, dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah; 11) larangan dan sanksi; 12) partisipasi masyarakat; 13) ketentuan pidana; dan 14) ketentuan penutup.

Keuntungan Menjadi Standar Kehalalan

Bagi negeri yang mengambil sistem demokrasi, larangan minol tentu menjadi buah simalakama. Wajar saja jika RUU Minol tak segera disahkan sejak pertama kali diajukan pada 2009.

Perlu diketahui publik bahwa pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) sangat besar Rp 2,64 triliun pada tahun 2020. Sementara untuk penerimaan Negara dari peredaran MMEA pada tahun 2014 sebesar 5,298 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 4,556 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 5,304 triliun. Dan tahun lalu sebesar Rp 3,36 triliun, setiap rupiah yang dihasilkan dari peredaran MMEA menjadi pemasukan Negara yang menguntungkan (money.kompas.com, 13/11/2020).

Sedangkan bagi para pengusaha pariwisata, minol adalah pelengkap hiburan yang memikat para wisatawan mancanegara. Dan bagi para investor, perusahaan minol menghasilkan deviden yang begitu tinggi. Begitu pun bagi pemerintah, pajak minol adalah salah satu sumber pajak yang menjanjikan. Namun, para pengusung RUU minol gigih menyampaikan bahwa minol lebih banyak menciptakan kemudorotan dari pada kebaikan.

Seperti apa yang dikatakan Wakil Sekretaris Jendral PPP Achmad Baidowi, RUU ini sangat urgent untuk menjadi undang-undang. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga generasi penerus bangsa. Keuntungan Pariwisata tidak sebanding dengan rusaknya generasi, (news.detik.com 19/11/2020).

Maka dapat dipastikan RUU Minol tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. RUU ini hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol, artinya minol masih dapat dijumpai dan diperjualbelikan di negeri mayoritas Muslim ini,dengan keuntungan besar yang didapat oleh negara.

Inilah mengapa RUU minol dianggap upaya tambal sulam dalam menerapkan hukum Islam. Karena sejatinya, undang-undang lahir dari sistem negara yang dianutnya. Jika sistem negaranya berdasarkan kapitalisme sekuler, maka undang-undang yang terlahir adalah undang-undang yang tak mengenal halal haram. UU hanya berputar pada keuntungan materi. Jadi, jangan berharap terlahir undang-undang pro syariat.

Dengan demikian Pemerintah lebih mengacu pada kepentingan bisnis para kapitalis daripada kepentingan penjagaan moralitas rakyatnya. Inilah cermin dari penguasa sekuler kapitalistik dalam demokrasi. Selalu lebih berpihak pada kepentingan para kapitalis daripada kepentingan rakyat kebanyakan.

Tentu saja,sikap kaum sekuler ini sangat berbahaya karena akan menimbulkan kerusakan pada kehidupan manusia. Yang lebih berbahaya lagi adalah bila standar sekularisme ini dilegalkan melalui mekanisme/sistem demokrasi. Hal ini akan menimbulkan kerusakan yang bersifat sistemis di tengah-tengah masyarakat.

Alhasil, penilaian baik (khayr) dan buruk (syarr) jelas tidak bisa diserahkan pada hawa nafsu manusia. Pasalnya, manusia tidak akan bisa menilai secara hakiki dampak manfaat maupun mudarat sesuatu, yang ujungnya akan berisiko buruk untuk kehidupan manusia.

Islam Melarang Miras

Dalam sistem Islam, Pemerintah dan seluruh rakyat wajib mengacu pada syariat dalam menetapkan baik-buruk serta dalam menentukan boleh-tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat. Bila sesuatu telah dinyatakan haram menurut syariat Islam, pasti ia akan menimbulkan bahaya (dharar) di tengah masyarakat. Miras/minol tentu termasuk di dalamnya.

Karena itu miras/minol harus dilarang secara total. Menolak larangan miras/minol secara total dengan alasan apapun, termasuk alasan bisnis/investasi, adalah tercela dan pasti mendatangkan azab Allah SWT.

Allah SWT menegaskan dalam firman Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS al-Maidah [5]: 90)

Dalam pandangan syariat, minum khamr (miras/minol) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan khamr mulai dari pabrik produsen minuman beralkohol, distributor, toko yang menjual hingga konsumen (peminumnya).

Rasulullah SAW bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

“Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang mengambil hasil (keuntungan) dari perasannya, pengantarnya dan orang yang meminta diantarkan.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah). ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here