Oleh : Tyas Ummu Amira
Pandemi Covid-19 belum berlalu, dunia diselimuti pilu, berbagai lini kehidupan lumpuh. Tidak luput sektor ekonomi pun mengalami kontraksi begitu dahsyat, sehingga menimbulkan gejolak krisis global. Hal ini diperparah dengan diterapakanya PSBB di berbagai wilayah yang selama wabah corona, mengaharuskan semua kegiatan publik dihentikan.
Dilansir dari, Jakpusnews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis terkait data pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah Pandemi Covid-19. BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus hingga 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Padahal, pada kuartal I 2020, perekonomian Indonesia masih dinyatakan tumbuh dan berada pada angka 2,97 persen. Angka 5,32 persen itu diketahui berbanding terbalik dari kuartal II 2019 yang minus sebesar 5,05 persen.
Selain itu, BPS juga menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi sepanjang semester I 2020 telah terkontraksi di angka 1,26 persen. “Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 alami kontraksi 5,32 persen dan kumulatif semester I 2020 kontraksi 1,26 persen,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, Rabu (5/8/2020).
Dikutip juga dari Republika.co.id Bogor, Pemerintah Kota Bogor memperpanjang lagi pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar pra-adaptasi kebiasaan baru (PSBB Pra-AKB) selama sebulan mulai 4 Agustus hingga 3 September 2020. Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, di Kota Bogor, Selasa (4/8), mengatakan pihaknya memutuskan memperpanjang PSBB Pra-AKB dengan pertimbangan penyebaran Covid-19 di Kota Bogor masih fluktuatif.
Dari fakta di atas, jika kita telisik lebih dalam bahwa mengapa bisa terjadi resisi? Tidak lain karena akar pokok yang bermula dari solusi yang ditawarkan pada saat awal pandemi tidak tepat, dan terlihat plin plan alahasil masalahnya semakin merembet ke sektor lainya, mulai dari masalah pendidikan, sosial hingga ekonomi semua karut marut disebabkan oleh cara penuntasan pandemi dengan sistem tambal sulam ala kapitalis. Alhasil semua sektor mengalami perlambatan dan menurun produktivitasnya.
Akar Masalah Resesi
Pertama, ialah praktik ribawi dengan berbagai bentuknya yang terjadi pada pasar saham dan sektor ekonomi non riil. Padahal dalam Islam jelas dilarang sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Al Imron ayat 130 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Dari transaksi yang dijalankan secara logika berada pada anomali dan lingkaran setan dari riba dalam sistem ekonomi kapitalis. Dimana mengakibatkan terhambatnya investasi karena tingginya tingkat bunga, sehingga masyarakat enggan untuk berinvestasi.
Selain itu sistem ekonomi ribawi menyebabkan ketidakstabilan nilai mata uang, seperti halnya Indonesia. Dirangkum dari laman Merdeka.com – Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan hari ini, Jumat (14/8). Rupiah dibuka di Rp 14.799 per USD atau melemah dibanding penutupan sebelumnya di Rp 14.775 per USD.(14/8/ 2020). Dari sini rupiah semakin terpuruk dan mengalami kemerosotan secara signifikan.
Kedua, ketidakseimbangan neraca pembayaran dan perdagangan. Hal ini merupakan informasi sangat urgent mengenai perekonomian suatu negara. Seperti yang terjadi di negeri ini antara kegiatan ekport, import lebih mendominasi alhasil kita mengalami defisit current. Artinya mata uang asing yang kita terima lebih sedikit dari devisa dibutuhkan ( dalam membayar impor). Sehingga berdampak pada kesenjangan ekonomi sangat tinggi, ini membuat semua orang berjibaku untuk bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Hingga para istri harus turun tangan untuk keluar rumah mencari pekerjaan untuk menambah pasokan kebutuhan sehari – hari supaya tercukupi.
Dari akar masalah di atas menjadikan negeri ini menunjukan indikator bahwa ekonomi Indonesia semakin terpuruk. Dapat dilihat mulai pertumbuhan ekonomi gagal mencapai targetnya. Pada saat kampanye pemimpin negeri ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 %, akan tetapi faktanya dikutip dari tirto.id. Pertumbuhan ekonomi Q2 2020 ini juga yang terburuk sejak krisis 1998. Waktu itu pertumbuhan Indonesia minus 16,5 persen [sepanjang 1998]. Sementara itu pada Q2 2008 lalu, saat krisis finansial global melanda, Indonesia masih sanggup tumbuh 2,4 persen. Lalu secara keseluruhan sepanjang tahun pada krisis 2008, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6,1 persen.
Pengumuman BPS ini juga mengonfirmasi kontraksi Q2 2020 lebih dalam dari prediksi Kemenkeu di kisaran minus 3,8 persen. Realisasi ini juga lebih buruk dari batas bawah prediksi Kemenkeu di angka minus 5,1 persen Rabu (5/8/2020).
Dengan kata lain janji kampenye ini pun pupus, sebab perekomian Indonesia semakin melemah utamanya akibat kerjasama dengan Cina serta Amerika Serikat, menjadi kambing hitam yang menghalangi target itu tidak tercapai.
Kemudian angka pengganguran semakin tinggi, dilihat dalam data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia bertambah menjadi 6,88 juta orang pada Februari 2020. Angka ini naik 60.000 orang 0,06 juta orang dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun, berbeda dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang turun menjadi 4,99% pada Februari 2020.(10 Mei 2020). Ironisnya keadaan ini semakin diperburuk oleh masuknya TKA kedalam negeri, padahal dalam kondisi pandemi dimana lapangan pekerjaan semakin sempit akibat phk masal.
Alhasil di tengah sempitnya sumber pencarian mengakibatkan jumlah kemiskinan meroket. Dilihat dari rangkuman tirto.id – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Dengan posisi ini, persentase penduduk miskin per Maret 2020 juga ikut naik menjadi 9,78 persen. Dibanding Maret 2019 peningkatannya mencapai 1,28 juta orang dari sebelumnya 25,14 juta orang.(15 Jul 2020). Begitu signifikan lonjakan jumlah kemiskinan yang akan terus melejit jika lapangan kerja serta bansos darinpemerintah tidak segera diberikan.
Tidak hanya itu saja, menumpukanya utang luar negeri membebani APBN, Jakarta Kompas.com – Bank Indonesia ( BI) melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I 2020 sebesar 389,3 miliar dollar AS atau setara Rp 5.796 triliun (kurs Rp 14.890 per dollar AS) 15/5/2020.
Keadaan ini bisa dipastikan akan terjadi menambahkan ULN sebab kondisi APBN tidak sehat, sebab dananya trsedot untuk membayar hutang yang notabene bunganya begitu fantastis sebab memakai praktik ribawi, ciri khas sistem ekonomi kapitalis.
Di lain sisi pembangunan infrastruktur untuk kepentingan kapitalis yang ugal – ugalan. Dimana sebagian APBN dialokasikan untuk proyek dirilis dari Indonesiabaik.id pemerintah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur senilai Rp419,2 triliun di RAPBN 2020. Untuk melengkapi akses transportasi darat, pada tahun depan, pemerintah juga akan melanjutkan pembangunan jalur kereta api dengan total panjang 238,8 kilometer. Sebenarnya fasilitas infrasruktur ini tidaklah dijadikan prioritas utama, sebab masih banyak sebenarnya dana yang harusnya digunakan mengatasi masalah urgent seperti membantu korban PHK massal untuk dipenuhui kebutuhan serta memberikan pekerjaan. Dimana semua keperluan pokok rakyat semakin mahal , dimana berbagai subsidi dicabut mulai TDL, gas elpiji, serta subsisdi BBM jenis premium.
Semakin lengkap sudah derita rakyat dalam cengkraman ekonomi kapitalis yang rapuh serta rentan akan terkena resesi. Beginilah potret kelam sistem ekonomi kapitalis semua menunjukan kelemahan dan ketidakmampuan dalam mengelolah ekonomin dunia, sebut saja negara adidaya Amerika Serikat sudah berulang kali mengalami resesi global. Dimana kebangkitannya semu setelah jatuh resesi, ditambah setelah diterjang pandemi covid19 semakin memperparah keadaan stabilitas ekonominya.
Solusi Tuntas Hanyalah Dengan Sistem Islam
Dengan demikian tidak ada solusi lain yang dapat menyelesaikan masalah dalam kehidupan kecuali dengan Islam. Ya, hanya dengan sistem di dalamnya terdapat solusi yang komprehensif. Bukan halnya seperti seperti ekonomi kapitalis metode yang digunakan tambal sulam dan memiliki cacat bawaan yang tidak dapat diobati secara tuntas.
Dalam Islam, permaslahan krisis ekonomi dapat ditangani dengan menata kembali sektor riil direlisasikan dalam pelaku pasar rakyat interkasi jual beli secara nyata. Sekaligus menghilangakan unsur ribawi serta memberlakukan mata uang dinar dan dirham, tata kelolah lembaga keuangan harus sesuai prinsip landasan hukum syara’ sebagai rujukanya.
Kemudian tidak hanya itu saja, dalam sistem distribusi Islam, negara hadir mengatasi masalah ini dengan tuntas. Seperti halnya distrbusi pendekatan sosial (zakat, infak, sedekah, dan lainnya), jual beli barang, kegiatan sewa menyewa serta kerjasama bisnis, serta menghilangkan berbagai pratik penimbunan barang. Dengan ini pertunbuhan ekonomi semakin membaik.
Selanjutnya sumber perekonomian harus dikelolah sesuai syara’, mulai harta kepemilikan umum seperti sumber daya alam minyak, batu bara, gas alam, tambang emas semua wajib menjadi hak negara untuk mengelolahnya untuk kepentingan rakyat. Serta mengharamkan praktik swastanisasi apalagi dikelola pihak asing.
Sehingga rakyat pun tercukupi kebutuhan dasarnya serta semua fasilitas publik pun gratis sebab pemasukan negara melimpah, dengan itu nyaris tidak akan terjadi cela krisis ekonomi dalam negara sistem Islam meski ditengah pandemi atau wabah.
Demikian jika negara menerapkan sistem Islam maka semua masalah akan beres, tanpa campur tangan pihak asing serta mencari pijaman luar negeri, dimana itu semakin memperburuk kondisi ekonomi hingga terperosok dalam jurang resesi seperti yang terjadi sekarang ini. Semoga negara ini cepat untuk mengambil solusi dengan mengadopsi sistem yang sesuai dengan fitrah, memuaskan akal serta menentramkan jiwa yakni dengan akidah Islam. ***
Waallahu a’lam bishowab.