Satpol-PP Tutup Sekretariat PWI Sulsel

0
436

liksumatera.com, MAKASAR– Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama aparat gabungan dari TNI – Polri melakukan penutupan paksa aset milik Pemprov Sulsel Gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Jalan Andi Pangerang Pettarani Makassar, Rabu (25/5/2022).

Kasatpol PP Sulsel, Mujiono mengatakan penertiban sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
“Hari ini kita hanya penertiban tidak ada eksekusi karena sudah melakukan SOP. Kami sudah lakukan teguran pertama, kedua dan ketiga. Kita amankan semua, warkop, begos dan lantai dua,” kata Mujiono kepada Wartawan.

Artinya, lanjut Mujiono, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2016 bahwa tidak ada pinjam pakai kepada pihak swasta atau pihak lain selain pemerintah. “Di dalam PP itu menyatakan bunyinya pinjam pakai hanya bisa dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah dan kami sudah lakukan pertemuan, itu sudah disepakati hanya saja dari pihak PWI yang masih ngotot dia selalu mau bertahan tetapi secara legal standing (kedudukan hukum) itu kami punya,” jelasnya.

Mujiono juga mengungkapkan setelah ditertibkan tidak ada aktivitas apapun yang dilakukan anggota PWI Sulsel. Termasuk berkantor di gedung tersebut. “Saya kira seperti itu (tidak ada aktivitas) karena sudah kita tertibkan,” tegasnya.

Sebelum menutup paksa aset Pemprov Sulsel tersebut, anggota Satpol PP sempat bersitegang dengan pengurus PWI Sulsel. Hingga akhirnya aparat gabungan Satpol PP, TNI – Polri, Dishub Sulsel melakukan pengosongan gedung PWI, mulai dari ruang aula yang biasanya digunakan sebagai tempat pesta pernikahan.

Kemudian membuka paksa Warkop PWI dan Press Club yang tergembok dengan menggunakan linggis. Mengeluarkan gerobak dan beberapa buah kursi dari ruangan tersebut. Spanduk yang terpasang di beberapa sisi gedung juga dilepas paksa.

Ketua Peneliti Pusat Anti Korupsi (PUKAT) Bastian Lubis menceritakan awal mula kasus tersebut. Kata Bastian, masalah PWI dan Pemprov diawali oleh tukar menukar/ruislag tahun 1995.

Pada mulanya, gedung Balai Wartawan beralamat di Jalan Penghibur Nomor 1, Makassar, bernama Gedung Gelora Pantai. Gedung itu dimiliki oleh Perusda Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel.

Pada tahun 1968, Gubernur Sulsel meminta wartawan membicarakan perpindahan kantor PWI ke gedung milik BPD. BPD menyetujui perpindahan dengan syarat PWI harus membayar ganti rugi Rp 5 juta.

PWI pun menyanggupi pembayaran ganti rugi tersebut. Uang yang dipakai membayar merupakan hibah dari Pemprov Sulsel kepada PWI melalui persetujuan DPRD. “Karena dana yang diberikan dalam bentuk hibah dan telah dibayarkan ke BPD Sulsel. Ini berarti gedung di Jalan Penghibur tersebut adalah sepenuhnya milik PWI Sulsel dan tidak ada lagi hak pemprov di dalamnya,” kata Bastian.

Masalah muncul ketika pada tahun 1995, Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat oleh HZ Basri Palaguna menerbitkan surat permohonan tukar menukar/ruislag tanah dan bangunan Balai Wartawan Ujung Pandang kepada pihak ketiga CV. Sari Jati Raya.

Ruislag dilakukan dengan lokasi yang terletak di Jalan AP. Pettarani, lokasi berdirinya Gedung PWI saat ini.

Di sisi lain, lanjutnya, ruislag tersebut ternyata dilakukan dengan lahan milik Pemprov Sulsel sendiri, dan bukan milik CV. Sari Jati Raya sebagai pihak ketiga.

Kepemilikan lahan di Jalan AP Pettarani tersebut oleh Pemprov Sulsel, dibuktikan dengan tiga sertifikat, yaitu pada tahun 1985, 1987, dan 1992, dan tercatat dalam neraca aset Pemprov Sulsel.

Pada tahun 1997, akhirnya terbit Berita Acara Gubernur Sulsel nomor 593.5/1756/BP, perihal penandatanganan bersama antara Gubernur Sulsel dengan Ketua PWI Sulsel atas penyerahan tanah dan bangunan milik Pemprov Sulsel untuk dimanfaatkan sebagai Gedung Balai Wartawan Ujung Pandang, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor: 371/III/1997 tanggal 31 Maret 1997.

Pada titik ini, kata dia, PWI telah kehilangan asetnya yaitu gedung dengan tanah seluas 1.119 meter persegi di Jalan Penghibur Makassar, yang nilainya saat ini diperkirakan telah mencapai Rp 56 miliar.

Saat ini, polemik Gedung PWI masih berputar pada masalah tidak disetorkannya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 1,6 miliar ke kas negara.

Padahal, menurut Bastian, ada masalah yang lebih besar di situ, yaitu hilangnya aset PWI dengan nilai yang jauh lebih besar.

“Telusuri gedung yang hilang, ini ada kesengajaan di pemprov yang jadi korban PWI karena asetnya hilang akibat ruislag,” ungkapnya.

Sumber : Infosatu.co
Editing : Imam Ghazali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here