Sistem Peradilan dalam Islam Berikan Keadilan Hakiki

0
356

Oleh : Desi Anggraini (Pendidik Palembang)

Meski mendapat apresiasi karena mengabulkan uji formil untuk pertama kali dalam sejarah. Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mendapat kritikan terkait putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Sejumlah pihak berpendapat MK mengambil jalan tengah yang justru membuat kebingungan karena putusan dapat ditafsirkan berbeda. Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai MK mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dan mengambil jalan tengah yang membuat putusan menjadi ambigu. Mantan Wamenkumham itu mengatakan uji formil UU Ciptaker dilakukan MK untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isinya.

MK, kata dia, pada awalnya terlihat tegas dengan menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945. Namun, karena alasan obesitas regulasi dan tumpang tindih UU, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat. Dan, akhirnya MK memberi waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional permanen.

“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ujar Denny, (Cnn Indonesia, Sabtu, 27/11/2021).

Putusan MK sejatinya mengonfirmasi beberapa hal atas buruknya hukum demokrasi di negeri ini. Pertama, pembuatan UU ini sudah salah sejak awal, maka ujungnya pasti menimbulkan kegaduhan dan perdebatan. Paradigma dalam penyusunan UU ini sesungguhnya bukan untuk rakyat, tetapi lebih berpihak pada kepentingan korporasi. Ini membuktikan sekali lagi bahwa UU buatan manusia tidak akan bisa lepas dari konflik kepentingan.

Kedua, pernyataan bahwa UU ini cacat formil hingga materiil mengindikasikan bahwa UU hukum sekuler memberi celah bagi siapa pun yang berkuasa untuk mengutak-atik hukum sesuai kehendaknya. Ketiga, lembaga yudikatif yang katanya merupakan lembaga netral untuk menegakkan keadilan nyatanya juga tidak bisa menjadi harapan bagi rakyat. Buktinya, MK hanya merespons tuntutan revisi UU Ciptaker, bukan membatalkan atau menghapusnya. Seakan memihak kepentingan rakyat, padahal sebenarnya tidak.

Putusan ini justru menghasilkan interpretasi yang beraneka macam, bias dan tidak jelas. Bagaimana keadilan dapat tercipta jika lembaga penegaknya saja masih abu-abu dalam memihak kebenaran? Keempat, hadirnya UU Ciptaker yang kontroversial menunjukkan kepada kita kelemahan hukum buatan manusia. Sarat kepentingan, standardisasi hukumnya lentur dan berubah-ubah, ruwet, dan gagal menyolusi setiap persoalan kehidupan. Lahirnya UU Ciptaker hingga amar putusan yang mengiringinya sejatinya merupakan produk hukum demokrasi sekuler yang menihilkan harapan rakyat tentang keadilan hakiki. “Sebagus” apa pun produk hukum demokrasi, akan selalu membawa kecacatan dan sulit memperbaikinya. Sebab, demokrasinya sendiri sudah cacat, hukum turunannya pun sama.

Maka dari itu, tidak selayaknya kita berharap pada hukum demokrasi sekuler yang gagal mewujudkan keadilan untuk semua. Sangat kontras dengan hukum Islam yang mana ketika ada tuntutan kepada penguasa, maka kadi tidak akan ragu harus berpihak kepada siapa.

Dalam sistem peradilan Islam, qadhi ada tiga, salah satunya ialah Qâdhi Mazhâlim. Qâdhi Mazhâlim adalah kadi yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman oleh negara yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan; baik kezaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk para pegawai. Dalil yang menjadi landasan dalam masalah Peradilan Mazhâlim adalah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau telah menetapkan bahwa perbuatan seorang penguasa—baik berupa perintah atau bukan—yang tidak sesuai dengan arahan kebenaran ketika memutuskan perkara atau memerintah untuk rakyat adalah sebagai tindak kezaliman. Anas menyatakan bahwa harga-harga pernah melambung tinggi pada masa Rasulullah SAW.

Lalu para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja Anda mematok harga (tentu tidak melambung seperti ini).” Kemudian Nabi SAW bersabda, “Sungguh Allahlah yang menciptakan, memegang, dan melapangkan; Yang Maha Pemberi Rezeki dan yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dia dalam perkara yang berkaitan dengan darah atau harta.” (HR Ahmad). (Al-Waie, 2/3/2017).

Setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari penguasa atau dari pengaturan dan perintah-perintah negara, dinilai sebagai mazhlimah (kezaliman). Jika terdapat perkara kezaliman, hal itu disampaikan kepada Khalifah agar kezaliman tersebut diselesaikan, atau disampaikan kepada orang yang mewakili Khalifah, yaitu Qâdhi Mazhâlim.

Dalam menegakkan hukum, seorang qadhi hanya boleh berpedoman pada syariat Islam dalam membela kebenaran dan menghukum yang bersalah secara adil tanpa melihat apakah dia berkedudukan sebagai penguasa, pejabat, atau rakyat. Hal ini pernah Khalifah Umar contohkan dalam menegur Gubernur Mesir Amr bin al-Ash tatkala ia menghukum putra Khalifah yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, Ibnul Jauzi meriwayatkan bahwa Amr bin al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamar terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar). Biasanya, pelaksanaan sanksi hukum semacam ini terselenggara di sebuah lapangan umum di pusat kota.

Tujuannya agar penerapan sanksi semacam ini memberikan efek jera bagi masyarakat. Namun, Amr justru menyalahinya dengan menghukum putra Khalifah di dalam rumah. Ketika informasi ini sampai kepada Khalifah Umar, beliau menegurnya melalui sepucuk surat. Setelah itu, Amr menggiring Abdurrahman ke sebuah lapangan pusat kota lalu mencambuknya di depan publik. Selain itu, hukum Islam memiliki standar yang jelas dalam menentukan benar dan salah, yaitu mengacu pada syariat Islam. Tidak seperti hukum demokrasi yang bisa mengompromikan antara benar dan salah berdasarkan kesepakatan dan suara terbanyak.

Syariat Islamlah yang menjadi penentu baik buruk atau benar salahnya suatu persoalan. Standarnya baku dan tetap, mustahil bagi manusia untuk mengutak-atiknya atau mengubah sesuai kepentingannya karena hukum yang terterapkan berasal dari Allah Swt. Akan tetapi, pemberlakuan syariat Islam tidak akan sempurna tanpa ada negara, yakni Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kafah. Ketika Khilafah tegak, berbagai kemaslahatan akan terpancar, salah satunya dalam bidang praktik hukum dan peradilan. Sejarah mencatat bahwa sistem Khilafah memberikan keadilan hakiki bagi seluruh umat manusia. Wallaahu a’lam bis shawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here