Oleh : Marsal (Penghulu KUA Kecamatan Muara Enim)
Para Fuqaha mendefinisikan Siyasah Syari’ah sebagai kewenangan penguasa/ untuk melakukan kebijakan kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar dasar Agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal itu.
Penulis memberi judul “Siyasah Syari’ah sebagai Suri tauladan ”.
Dalam Al Quran Allah SWT berfirman yang artinya : “Sesunggunya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap Allah swt. dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah SWT.” QS Al
Ahzab [33]: 21
Rasulullah SAW adalah suri tauladan sempurna dalam segala aspek kehidupan. Kejujuran, amanah, kecerdikan dan kesantunan beliau selalu menjadi hal utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat, baik di dunia pendidikan, ibadah, kemasyarakatan dan bahkan di dunia perpolitikan sekalipun.
Beliau tidak pernah meminta satu jabatan dunia, namun ketika beliau diserahi amanah beliau akan bertanggung jawab dan menyelesaikan serta menyampaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya,
Rasulullah SAW bersabda kepada Abdurrahman: “dari Abdurrahman, ia berkata: Rasulullah SAW berkata kepada saya: “wahai Abdurrahman janganlah engkau meminta-minta kekuasaan, karena jika engkau mendapatkan kekuasaan tersebut maka engkau akan hancur karena tidak ada yang akan membantumu akibat dari ambisi tersebut, dan jika engkau diserahi jabatan tanpa engkau minta engkau akan selalu mendapat bantuan (karena engkau dianggap cakap dan mampu).” H.R. Muslim.
Meskipun demikian, ada pengecualian bagi mereka yang memang telah memiliki kualitas, integritas dan kapabilitas untuk mengajukan dirinya guna menduduki sebuah jabatan, sebagaimana terjadi pada Nabi Yusuf AS, Allah SWT berfirman:
“Nabi Yusuf AS berkata: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Q.S. Yusuf [12]: 55.
Walaupun dalam hal ini ada pengecualian, namun sungguh menjadi perbuatan yang sangat tercela jika ada dianatara kita yang mengklaim bahwa hanya dirinyalah yang suci dan layak menjadi seorang pemimpin, karena klaim suci tersebut hanya berhak keluar dari yang Maha Suci, Allah SWT berfirman : “Yaitu orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan
keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil, sesunggunya tuhanmu
maha luas ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa”. Q.S An-Najm [53]: 32.
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih, sesungguhnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” Q.S. An-Nisa [4]: 49
Rasulullah SAW adalah contoh dan panutan ideal dalam setiap hal. Akhlak beliau merupakan cerminan Al Quran itu
sendiri, maka ketika Aisyah RA, ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah menjawab: “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Quran.” HR Muslim.
Adapun salah satu bentuk akhlak politik Qurani, dalam Al Quran yang menjelaskan derajat akhlak baik dalam politik maupun dalam kehidupan sehari-hari.
yaitu:
Pertama; Raddu al-Fi‟li bimitslihi (balasan setimpal).
Membalas perbuatan orang yang melakukan kejahatan kepada kita dengan setimpal adalah sebuah kabajikan yang diakui Al Quran. Adapun kriteria setimpal adalah pembalasan yang sama baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Allah SWT berfirman: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas tanggungan Allah. Sesunggunya Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” Q.S. As-Syura [42]: 40
Membalas perbuatan jahat dengan kejahatan yang setimpal adalah sebuah keadilan, akan tetapi Al Quran menyebutkan derajat yang lebih mulia yaitu kazmul al-ghoidz.
Kedua: Kadzmu al-Ghaidz (Menahan Amarah) “Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Q.S. Ali Imran [3]: 134.
Menahan amarah untuk tidak membalas perbuatan jahat orang lain merupakan akhlak islami yang lebih baik, namun sikap
ini bisa saja di sebabkan ketidak mampuan untuk membalas perbuatan jahat sehingga menahan amarah menjadi pilihan seseorang. Sekali lagi, Al Quran mengarahkan umat muslim untuk memilih sikap yang lebih mulia yaitu al-fiin atau
memaafkan.
Ketiga: al-fiin (Memaafkan). Sikap ini jelas lebih mulia. Dari dua sikap sebelumnya, dimana seseorang berada pada posisi mampu membalas kejahatan orang lain terhadapnya, namun justru ia memilih untuk memaafkan. Kemuadian ayat di atas
mengarahkan umat muslim untuk memilih akhlak termulia yaitu al-ihsan atau berbuat baik.
Keempat; al-Ihsan (Berbuat Ihsan). Inilah puncak akhlak seorang muslim yang di ajarkan Rasulullah SAW yaitu bukan hanya menahan amarah atau memaafkan kesalahan orang lain, akan tetapi berbuat ihsan (baik) kepada orang yang sudah berbuat jahat padahal waktu, kekuasaan, dan kekuatan mendukung untuk membalas perbuatan tersebut. Allah SWT berfirman yang artinya : “… Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Q.S. Ali Imran [3]: 134 Derajat akhlak rasul telah mencapai tahap kesempurnaan sehingga Allah DWT memuji beliau dalam satu ayatnya dengan dua penegasan. Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Q.S. Al-Qalam [68]: 4
Mari kita meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam berpolitik, berlomba adalah sebuah kemestian, tapi berlombalah dengan cara yang baik, santun, teduh dan menyenangkan bukan berlomba dengan menghalalkan segala cara demi tercapai tujuan.
Unggul dalam persaingan adalah harapan, namun unggullah dengan terhormat. Unggul karena prestasi dan program kerja bukan unggul dengan mengerdilkan dan
membonsai mitra.
Pilkada melahirkan persaingan menuju perbaikan bukan melahirkan permusuhan guna tercapai tujuan. Semua yang tampil adalah putra-putri bangsa yang terbaik, untuk memberikan darma dan bakti yang paripurna, bagi bangsa, negara dan agama. Semoga dengan meneladani sifat mulia Rasulullah SAW kita bisa menjadi manusia yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain sehingga mampu menjadi insan yang rahmatan lil’alamin. ***