Stunting Dalam Kapitalisme Tidak Akan Pernah Selesai

0
95

Oleh : Eci, Pendidik Palembang

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengungkapkan adanya indikasi penyelewengan dana penanganan stunting (kekurangan gizi pada anak) di tingkat daerah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sebelumnya mencatat bahwa dana stunting di suatu daerah ada yang digunakan untuk keperluan rapat dan perjalanan dinas.

Penanganan Stunting Belum Memuaskan, Ini Penyebabnya

Hasbullah menilai penyelewengan dana stunting terkait dengan perilaku korupsi di kalangan pejabat Indonesia, yang menjadi salah satu penyebab lambatnya penurunan prevalensi stunting. Ia juga menyebut ada daerah yang menyediakan menu yang tidak layak untuk anak dalam program penanganan stunting. Hasbullah mendesak pemerintah untuk merespons masalah ini secara serius. Penguatan fungsi pengawasan dianggap penting agar pendanaan program-program stunting dapat dimaksimalkan.

Hasbullah menyadari bahwa penguatan pengawasan tidak menjamin hilangnya penyelewengan dana sepenuhnya. Namun, hal itu dapat meminimalisir penyalahgunaan anggaran program pemerintah, terutama dalam penanganan stunting.

Kemiskinan adalah persoalan yang tidak akan pernah dapat diselesaikan oleh sistem hari ini. Ini karena sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan hari ini lahir dari lemahnya akal manusia. Sistem ini tidak pernah sedikit pun melirik pada syariat Islam, padahal yang paling mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya adalah Sang Pencipta manusia dan alam raya, yaitu Allah Taala.

Setidaknya ada dua kelemahan yang menjadi permasalahan fundamental penyebab sistem ekonomi kapitalisme tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan stunting.

Pertama, adanya kebebasan kepemilikan. Sistem ini meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, barang tambang batu bara mayoritas dikuasai swasta. Padahal, batu bara sebagai bahan bakar sangatlah diperlukan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.

Akhirnya, tarif listrik menjadi mahal karena sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara. Andaikan batu baranya milik negara, otomatis ongkos produksinya tidak akan mahal. Belum lagi kepemilikan saham PLN yang ternyata mayoritasnya milik swasta. Jika sudah terkait swasta, orientasinya ada pada keuntungan perusahaan, bukan lagi pada terpenuhinya kebutuhan rakyat.

Ini baru kepemilikan batu bara yang jika seluruhnya dikuasai negara, Indonesia tidak harus berutang untuk menutupi defisitnya APBN. Belum bicara tambang lainnya, seperti nikel, minyak dan gas, emas, dan sebagainya.

Begitu pun dengan potensi bahari kita yang melimpah. Sebanyak 70% negara kita adalah lautan yang berpotensi bahari, seperti perikanan, terumbu karang, mangrove, energi dan pertambangan, dll. Nyatanya, mayoritas potensi itu justru dikuasai swasta sehingga mengoptimalkan potensi bahari oleh desa menjadi sangat sulit.

Sistem kapitalisme juga menjadikan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite saja. Mayoritas rakyat yang tidak memiliki kekuatan akan tersendat kebutuhan hidupnya. Inilah musabab listrik, air, pangan, kesehatan, pendidikan, dan seluruh kebutuhan hidup menjadi sulit diakses warga secara merata dan adil.

Kedua, negara korporatokrasi. Jika kita mencermati, banyaknya program yang diperuntukkan untuk mengentaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Pemerintah sendiri hanya bertugas sebagai regulator, alias yang menetapkan kebijakan agar swasta dan rakyat mendapatkan maslahat bersama.

Pada penyediaan air bersih, misalnya, biasanya menggandeng swasta dengan alasan agar mendapat kualitas terbaik dan menyerap lapangan pekerjaan, padahal—aslinya—kurang dana. Jika sudah menggandeng swasta, artinya ada profit di sana. Inilah yang menjadikan tarif air menjadi mahal sebab negara malah berbisnis untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Sungguh, negara korporatokrasi hanya akan menghasilkan kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan pengusaha. Kebijakan intervensi gizi dan penyediaan sejumlah fasilitas, seperti pengadaan air bersih, MCK, dll. bisa mandul dalam menyelesaikan permasalahan.

Jika telah jelas ekonomi kapitalisme mustahil menyelesaikan permasalahan, tentu solusinya tidak bisa sekadar pada tataran teknis program pemerintah. Ini karena apa pun programnya, jika kerangkanya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, bukan rakyat yang menjadi orientasi kebijakan, melainkan profit pengusaha dan penguasa.

Walhasil, perlu adanya sistem ekonomi alternatif untuk menyelesaikan problem kemiskinan dan stunting. Tentu sistem ekonomi Islamlah yang akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan stunting tersebab dua poin penting.

Pertama, pembatasan aturan kepemilikan. Aturan ini mampu mencegah kemiskinan secara permanen sebab yang menjadi hak banyak orang terlarang dikuasai individu, sekalipun ia mampu membelinya.

Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Untuk kepemilikan individu, setiap individu boleh memilikinya dengan cara sesuai syariat, seperti hasil kerja keras, warisan, pemberian harta, hadiah, dsb.

Adapun kepemilikan umum, terlarang bagi individu untuk memprivatisasi/memonopolinya sebab aset tersebut notabene milik masyarakat. Misalnya, rumput, air, pembangkit listrik, danau, laut, jalan raya, ataupun barang tambang melimpah (emas, batu bara, dan minyak bumi).

Kepemilikan negara meliputi harta yang pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah, seperti ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, dsb.

Pengelolaan kepemilikan pun harus sesuai syariat. Haram bagi seseorang menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Cara ini akan menjadikan harta berputar, perekonomian riil menjadi berkembang, kemiskinan pun otomatis berkurang.

Kedua, peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.

Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian, termasuk pangannya, semua harus layak konsumsi dan bergizi. Dari sini, permasalahan stunting bisa terselesaikan.

Stunting yang makin genting akibat kemiskinan ekstrem adalah buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme, sistem yang melahirkan kebebasan kepemilikan dan abainya negara korporatokrasi dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya.

Oleh karenanya, menyelesaikannya harus dengan mengganti paradigma sistem kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam yang diterapkan secara dalam bingkai Khilafah Islamiah. Dengan demikian, akan tercipta masyarakat sejahtera dan anak-anaknya pun tercukupi gizinya. Inilah yang jaminan terlahirnya generasi cemerlang yang siap memimpin peradaban Islam yang gemilang. Wallahualam bissawab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here