Urgensi Pengenalan Budaya Luar Melalui K-Dance Dalam Kuliah Iftitah Kampus Islam

0
143

Oleh: Putri Sakinatul Kirom

Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan video dance Korean Pop (K-Pop) di salah satu Universitas Negeri Islam di Palembang.

Parahnya lagi dance tersebut ditampilkan saat mahasiswa tengah melakukan kegiatan Kuliah Iftitah di salah satu fakultas hukum yang ada di kampus tersebut.

Hal ini tentu menuai kritikan dari berbagai pihak, pasalnya para dancer tidak mengenakan hijab dan tampil membuka aurat.

Menyikapi hal ini Wakil Dekan II Fahum di Universitas tersebut, Nyimas Umi Kalsum angkat bicara. Ia kemudian membenarkan adanya aksi panggung ini.

Umi juga mengatakan pihak fakultas tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan hijab saat tampil, alasannya karena salah satu bentuk toleransi. “Inilah bentuk toleransi serta mendukung nilai moderasi beragama terutama di lingkungan kampus,” tambahnya, (dikutip ukhuwahnews.com 23/08/2023).

Jika melihat urgensi toleransi, hal tersebut tentunya bukanlah menjadi alasan para mahasiswa di kampus Islam harus mempelajari dan berkenalan dengan budaya-budaya kafir yang jelas bertentangan dengan akidah Islam, dengan dalih moderasi. Namun faktanya ini merupakan bahaya dari isu moderasi agama yang terus digaungkan, sehingga adanya pengaburan dan pelemahan terhadap Islam dan kaum muslimin.

Seharusnya kampus yang merupakan pencetak generasi Islami harusnya mengajak mahasiswanya untuk mempelajari syariat Islam, mengenalkan budaya-budaya Islam, memahami semua hukum-hukum dalam Islam bukan mengenalkan budaya luar yang malah merusak pemikiran serta mengikis akidah dan akhlak kaum muslim.

Apalagi seperti kita ketahui isu moderasi beragama yang merupakan ide barat khususnya RAND Corporation kian deras digaungkan oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air bahkan kini menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.

Jelas hal ini sangat berbahaya bagi generasi muda, sehingga dampaknya adalah krisis identitas yakni kaum muslim tak mengenali ajaran agamanya yang benar sesuai dengan syariat Islam.

Lebih parahnya lagi, sekelas pengajar seperti dosen menormalisasikan bahkan sebagai pelaku dalam mengampanyekan moderasi ini.

Mereka dengan leluasa menerima kurikulum ini lalu mengajarkannya kepada para mahasiswa dan para terdidik.

Kondisi ini makin memperparah mindset para tenaga pengajar dan para pemuda yang berpikir bahwa pluralisme atau menganggap semua agama benar itu diperbolehkan.

Opini-opini ini jelas akan menjauhkan umat untuk berislam secara kaffah, akhirnya mereka skeptis dan terjangkit Islamophobia sehingga takut dengan ajaran agamanya sendiri.

Hal ini sangat jauh berbeda dalam pandangan Islam. Dalam Islam, seorang muslim wajib meyakini Islam sebagai satu-satunya Agama yang benar, sedangkan diluar Islam salah (kufur). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (TQS. Ali Imran: 85).

Meskipun agama selain Islam harus diyakini kufur, namun seorang muslim dilarang untuk memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bahkan Allah didalam Alquran memperlakukan mereka dengan ihsan, adil, dan manusiawi.

Kemudian, seorang muslim wajib meyakini hukum yang lahir dari Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hukum terbaik. Hukum syariat tidak pernah berubah dengan berubahnya zaman.

Seorang muslim wajib menerapkan ajaran Islam, baik orang kafir setuju atau tidak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 48-49.

Lalu dalam urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman dan pakaian, non muslim dibiarkan menjalankannya sesuai dengan agama mereka. Hanya saja seorang Muslim dilarang melibatkan diri dalam hal ibadah, budaya dan perayaan hari besar mereka dengan alasan toleransi.

Hal ini tertuang dalam sabda Rasulullah SAW: “Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Imam Baihaqiy).

Oleh karena itu hanya Islam satu-satunya agama yang memiliki cara pandang dan aturan hidup yang jelas dan komperhensif. Sebagai seorang pemuda yang nantinya akan menjadi tonggak peradaban kita harus jeli dalam memandang apakah ide/pemikiran yang berasal dari luar sesuai dengan Islam atau malah bertentangan (Bathil).

Wallahua’lam Bishawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here