Oleh: Nelly, M.Pd (Pemerhati Sosial Politik, Aktivis Peduli Negeri)
Seolah menggambarkan negeri yang keok, gali lobang, gali lobang, utang dan utang lagi, inilah potret negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, gemah ripah loh jinawi, subur dan kaya raya. Setiap tahun anggaran negara selalu defisit, negara kekurangan dana, sehingga untuk menutupi minus tersebut tidak ada cara lain selain utang.
Mirisnya lagi seolah kehabisan cara untuk menambah penghasilan negara rakyat pun ikut ditariki iuran dan pajak.
Menurut Bank Indonesia (BI) mencatat pembengkakan utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 menjadi sebesar USD400,2 miliar. ULN terdiri dari sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral sebesar USD192,4 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar USD207,8 miliar. (Asiatoday.id).
Parahnya tahun ini pemerintah berencana akan menambah utang baru dengan nominal amat besar, yakni mencapai Rp 1.006 triliun. Jumlah itu mencapai tiga kali lipat dari utang setiap tahun, didasari Perppu 1/2020 dengan dalih menghadapi wabah corona. Seiring penanganan wabah, utang LN Indonesia semakin membubung tinggi. Baik untuk deficit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan secara efisien untuk membiayai rakyat di masa pandemi.
Defisit APBN yang sangat mengkhawatirkan ini pun akhirnya membuat pemerintah mau tak mau harus segera mengambil opsi berutang. Hal ini dibenarkan sendiri oleh Menteri Keuangan seperti dilansir dari VIVAnews, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp 356,1 triliun.
Kondisi ini memang sangat berat untuk negeri ini, sebab sejak awal paradigma membiayai negara adalah dengan utang. Sungguh ironi yang menyesakkan dada utang negara setiap tahun menumpuk tanpa tahu kapan akan bisa dilunasi. Yang berbahaya tumpukan utang luar negeri ini bisa membawa negara kehilangan kedaulatan dan menjadi alat penjajahan ekonomi.
Kebijakan negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat tapi dikendalikan oleh kepentingan asing. Tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis. Utang yang mengandung riba tersebut memiliki potensi bahaya politis atas negeri karena menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah.
Utang semacam ini jelas hukumnya bertentangan dengan Islam. Sebab diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syariah dan dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas negara. Sementara konsekuensi politis utang ini pun kentara dalam banyak kebijakan dan produk perundang-undangan.
Selain itu, terus-menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang tinggi akan menjerumuskan negeri dalam jebakan utang riba (debt trap). Kedaulatan negara pun terancam, ketergantungan penguasa pada asing akan semakin mempermudah barat untuk menyetir bangsa ini agar mengikuti apa yang mereka kehendaki, bahayanya adalah SDA yang telah dijarah atas nama investasi.
Harusnya disadari bahwa utang yang diterima negeri muslim tidak aka menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang. Kalaupun diasumsikan utang-utang ini digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek produktif, menerima utang saja sudah sangat berbahaya terhadap eksistensi negara.
Inilah gambaran kekuasaan kapitalis global yang menguasai negeri-negeri berkembang. Jebakan utang sangat dahsyat. Tujuan utang jangka pendek adalah untuk menghancurkan mata uang negara pengutang dengan membuat kekacauan moneter. Adapun utang jangka panjang, maka utangnya akan menumpuk dan mengakibatkan kekacauan APBN. Lebih dari itu, utang-utang ini disertai dengan riba (interest).
Inilah dampak negeri pengekor dan berkiblat pada barat dengan mengambil sistem aturan mereka dan diterapkan sistem tersebut kapitalis sekuler di negeri ini. Harusnya negara tidak akan sampai defisit anggaran bahkan harusnya maju dan kaya, sebab diketahui Indonesia adalah negeri yang melimpah ruah kekayaan alamnya.
Harusnya negeri ini tidak sampai berutang kepada asing untuk membiayai negara. Cukup kelola sendiri SDA, dan hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Namun karena negara dikelola dengan sistem kapitalis, semua kekayaan diserahkan pada asing.
Lantas bagaimana membiayai kebutuhan keuangan pembangunan tanpa terjerat utang?
Jawabnya adalah kembali pada aturan sistem Islam. Sistem keuangan negara di dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan nonmuslim selama beberapa abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.
Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing. Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif.
Pada zaman Rasulullah SAW, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).
Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada Gubernur di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur (Karim, Ekonomi Makro Islami).
Seperti itulah tatakelola negeri dalam Islam agar terbebas dari utang. Jika mau mengambil sistem Islam sebagai tata kelola negeri tentu negeri ini bisa tidak berhutang. Indonesia sebagai sebuah negeri yang dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera.
Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial. Namun, fakta yang terlihat pada kondisi keuangan negara saat ini adalah besarnya jumlah utang dalam APBN, yang berdampak pada besarnya defisit anggaran dari waktu ke waktu.
Defisit yang terus terjadi ditutup lagi dengan andalan pembiayaan yang berasal dari utang, sehingga Indonesia semakin jauh masuk ke dalam perangkap utang (debt trap). Inilah akibat menjadikan ekonomi kapitalis-liberal sebagai fondasi ekonomi negara, yang justru membuat negara makin terpuruk dan ambruk.
Maka untuk mengakhiri jebakan utang luar negeri dan menjadikan negeri ini berjaya, menjadi negara yang berdaulat, adil dan makmur, sudah saatnya kembali pada aturan Allah SWT yang dicontohkan baginda Rasul Muhammad SAW dengan mengambil sistem Islam untuk diterapkan dalam kehidupan bernegara. ***