
Oleh : Siti Syamsiah
Pemerintah resmi menerapkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025 sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16-12-2024). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif PPN 12 persen akan diterapkan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah atau premium. (Kompas.com, 19-12-24)
Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menyatakan PPN 12 persen berlaku kepada semua barang yang selama ini terkena PPN. Daftar itu meliputi barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat, mulai sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix. (CNN Indonesia.com, 27-12-24).
Lebih menyedihkannya lagi, ternyata kenaikan PPN dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap makin menurunnya kelompok kelas menengah masyarakat negeri ini, padahal kelompok tersebut merupakan penopang perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan jumlah kelas menengah dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2019, jumlah kelompok kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang, lantas pada 2024 jumlahnya merosot menjadi 47,85 juta orang. Artinya, ada hampir 10 juta orang di kalangan menengah turun kasta dalam kurun waktu tersebut.
Dalam sistem kapitalisme, pajak dan utang dianggap sebagai instrumen fiskal yang membantu keuangan negara. Slogan gombal penuh jebakan bahkan sangat mudah kita temui untuk mengelabui rakyat agar patuh membayar pajak. Begitulah cara gampang mendapatkan dana segar guna menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi hutang yang membengkak adalah dengan menjadikan pajak sebagai solusi menyelamatkan keuangan negara.
Negara yang menganut sistem sekuler kapitalis memang menjadikan pajak sebagai tumpuan utama pemasukan kas negara. Kebutuhan pokok masyarakatnya pun tak luput dari pajak yang ditetapkan oleh pemerintah yang seharusnya dijamin oleh negara, namun nyatanya rakyat malah “dipalak” oleh negara itu sendiri. Kenaikan harga kebutuhan pokok sudah terasa, dari naiknya harga trasportasi umum, kebutuhan sandang, pangan dan papan pun berangsur naik.
Berbagai aspek dicarikan alasan agar bisa ditarik pajak yang dilegalisasi dengan undang-undang. Jika sudah termaktub dalam undang-undang, tentu akan mengikat rakyat untuk menjalankannya, sedangkan di sisi lain, kekayaan alam yang berlimpah, sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara untuk mengurusi rakyat, malah dikapling untuk para kapitalis dan oligarki. Beginilah jika sistem kapitalisme memberikan ruang kebebasan terhadap berbagai hal, termasuk kebebasan kepemilikan sehingga terjadi tatanan hukum rimba di tengah masyarakat. Siapa yang kuat maka ia yang menang, siapa yang punya uang, ia yang berkuasa. Inilah kesalahan besar yang dilakukan pemerintah karena telah mengadopsi sistem kapitalisme.
Negara adalah pelindung dan mengurusi hajat bagi rakyatnya, tanggung jawab ini tidak boleh diberikan atau dialihkan kepada pihak lain. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, negara ditopang oleh prinsip-prinsip ekonomi Islam yang juga mencakup pembahasan mengenai sumber-sumber pendapatan rakyat.
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menitikberatkan sumber pendapatannya pada pajak dan hutang, sumber pendapatan negara Islam (Khilafah) sungguh berbeda, dimana sumber pendapatan khilafah tidak bertumpu pada sektor pajak.
Sumber-sumber utama penerimaan khilafah di baitulmal seluruhnya terstandardisasi oleh syariat Islam yang dimana terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama pada sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas, ekosistem hutan, dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai, dan usyur. Lantas, bagaimana jika baitulmal mengalami defisit anggaran? Jika kas baitulmal kurang atau bahkan kosong, saat itulah kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim baik dalam bentuk pajak ataupun pinjaman. Jadi, pemberlakuan pajak dalam Islam bersifat temporal, bukan pemasukan paten sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Pungutan pajak itu pun terbatas hanya pada mereka yang kaya dari kaum laki-laki saja. Orang kaya dalam hal ini adalah mereka yang memiliki kelebihan atas kebutuhan pokok dan sekundernya. Pajak yang terkumpul itu digunakan untuk pembiayaan jihad, industri militer, dan penunjangnya; pemberian bantuan kepada kaum fakir, miskin, dan ibnu sabil; pembiayaan gaji para pegawai, seperti tentara, pegawai, hakim dan guru; pembiayaan untuk kemaslahatan yang sangat mendesak dan akan mengakibatkan bahaya bagi umat jika terabaikan; pembiayaan untuk bencana, seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir. Dengan begitu, pajak dalam khilafah tidak dipungut dari setiap individu rakyat. Ini tentu berbeda dengan kondisi hari ini ketika seluruh rakyat menjadi wajib pajak tanpa kecuali.
Adapun terkait utang, Islam memandang bahwa memberi pinjaman merupakan bagian dari aktivitas ta’awwun atau saling tolong menolong.
Untuk itu, Islam mensyariatkan bahwa dalam aktivitas ini tidak ada tambahan berupa bunga atau tambahan lainnya. Saat hutang menjadi solusi dalam menyelamatkan perekonomian negara, syariat mengenai utang ini tidak boleh dilanggar. Artinya, negara boleh saja berhutang jika kas baitulmal kosong dan kaum muslim pun tidak mampu mengumpulkan dana tabaruat. Hanya saja, negara tidak boleh tunduk pada tawaran hutang bersyarat yang menyalahi syariat. Dengan kata lain, khilafah tidak akan membiarkan negara lain untuk membajak kedaulatan negara melalui utang. Wallahualam bissawab.


