Wakil Rakyat Terjerat Judol, Kapitalisme Makin Nyata

0
53

Oleh : Ernita Ria

Dikutip dari laman tirto.id Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa lebih dari 1.000 orang anggota legislatif setingkat DPR dan DPRD bermain judi online (judol). Hal ini diungkapkan Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ivan Yustiavandana, dalam rapat dengan DPR RI, Rabu (26/6/2024).

Kasus judi online (judol) memang sangat meresahkan, efek kasus ini mengakibatkan kecanduan, ganguan kesehatan mental dan penurunan taraf ekonomi. Meningkatnya kriminalitas, jelas sangat berbahaya.

Inilah potret kehidupan kita sekarang, banyak masyarakat terjerat judol dan akhirnya terjerat pinjol, bagaimana tidak banyak iklan di media sosial yang mengkampayekan judol, dari tahun 2020 judol kian menjamur.

Selain itu, faktor ekonomi juga jadi pemicunya. Orang-orang yang kesulitan mendapatkan pekerjaan atau mencari penghasilan pada akhirnya akan mencari jalan pintas untuk menghasilkan uang banyak dengan cepat dan mudah akhirnya memilih untuk melakukan perjudian online karena kemudahan aksesnya.

Sistem Kapitalisme
Dalam sistem ini, perjudian legal karena mendatangkan keuntungan. Menguntungkan secara materi bagi bandar dan pemain yang menang, serta mendatangkan pajak untuk negara.
Padahal, judi hanya menguras harta rakyat dan hanya memberi keuntungan kaum kapitalis pemilik bisnis perjudian tersebut.
Dan lebih parahnya lagi DPR membuat aturan baru, bahwa korban judol akan mendapat bansos. Inilah bobroknya pemerintah kita sekarang, semua aturannya di luar naral bukan bikin efek jera tapi malah memfasilitasi dan menambah kerusakan.

Pandangan Islam
Larangan berjudi dalam Islam bukanlah sekadar imbauan moral belaka. Allah SWT pun telah mewajibkan kaum muslim untuk menegakkan sanksi pidana (’uqûbât) terhadap para pelakunya.

Mereka adalah bandarnya, pemainnya, pembuat programnya, penyedia servernya, mereka yang mempromosikannya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka berupa takzir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada kadi (hakim).

Syekh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-’Uqûbât fî Al-Islâm menjelaskan bahwa kadar sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif (zawâjir) dari sanksi ini tercapai. Beliau juga menjelaskan bahwa khalifah atau kadi memiliki otoritas menetapkan kadar takzirini. Oleh karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat layak dijatuhi hukuman yang berat seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati.

Hukum yang tegas ini adalah bukti bahwa syariat Islam berpihak kepada rakyat dan memberikan perlindungan kepada mereka. Umat juga akan didorong untuk mencari nafkah yang halal, tidak bermalas-malasan, apalagi mengundi nasib lewat perjudian.

Negara juga harus hadir menjamin kehidupan rakyat seperti pendidikan yang layak hingga tingkat pendidikan tinggi, lapangan kerja yang luas, serta jaminan kesehatan yang memadai secara cuma-cuma. Dengan perlindungan hidup yang paripurna dalam syariat Islam, maka kecil peluang rakyat terjerumus ke dalam perjudian.

Semua ini hanya bisa terwujud dalam kehidupan yang ditata dengan syariat Islam yang dimana berbagai bisnis kotor, seperti perjudian, terus menjamur bisa dihentikan dengan mudah. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here