Akibat Minimnya Informasi dan Edukasi yang Akurat, Masyarakat Saling Mendzalimi

0
534

Oleh : Hj. Padliyati Siregar ST

Wabah Virus Corona masih menjadi kekhawatiran di dunia, termasuk di Indonesia. Jumlah kasusnya terus bertambah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Masyarakat diimbau untuk waspada, tetapi tidak panik. Di tengah gempuran informasi seputar Virus Corona, tak sedikit yang merasakan kecemasan.

Kecemasan itu menjadi bumerang kepada para pasien, keluarga, dan tenaga medis yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat berupa cap negatif, pengucilan, dan pengusiran dari rumah kos hingga penolakan jenazah. Masyarakat khawatir tertular karena minimnya informasi akurat dan edukasi yang sampai ke masyarakat. Ini merupakan salah satu kelalaian Negara dalam menangani pandemi.

Justru hal ini tidak akan terjadi jika edukasi dan informasi sampai ke masyarakat dengan benar. Masyarakat dibiarkan menerima informasi yang bertebaran di media-media sosial atas pemahaman sendiri. Peran media dan para tokoh umat juga sangat di butuhkan pada saat sekarang ini, sehingga umat dapat menerima dengan hati yang lapang dan tawakkal kepada Allah semakin tinggi.

Ulama Menjadi Jembatan Pengetahuan

Sebagian umat yang gagal paham menyikapi pandemi dengan membenturkan pada tawakal tanpa pencegahan hanyalah fenomena pucuk gunung es yang menandakan betapa jauhnya umat dari ilmu pengetahuan.

Benar bahwa sains bukanlah sepenuhnya ranah para ulama. Tidaklah wajib ulama menjadi saintis atau ilmuwan. Tetapi kewajiban ulama adalah memberikan pemahaman kepada umat untuk menjembatani antara sains dengan iman. Agar tak lahir pandangan-pandangan pengetahuan yang menepikan Tuhan.

Di sinilah pentingnya para ulama memulai pendidikan yang bukan saja melahirkan para ulama-ulama generasi baru, tetapi juga lahir generasi baru ilmuwan-ilmuwan yang berlandaskan iman. Dokter-dokter, peneliti, ilmuwan, ahli virus, pakar ekonomi hingga pakar politik yang berlandaskan iman dan berpandangan hidup Islam adalah ruang kosong yang mendesak untuk dibentuk sejak dini oleh para ulama. Sehingga tak lagi muncul dokter atau ilmuwan atau pakar yang rajin puasa sunnah tetapi berpandangan sekular ketika berbicara sains.

Tantangan di atas terang benderang dihadapi masyarakat kita. Sementara pandemi ini masih berlangsung peran ulama mutlak dibutuhkan agar masyarakat bukan saja tak kehilangan tak kehilangan akalnya, tetapi juga tak kehilangan imannya.

Peran Sentral Penguasa

Islam memang telah memerintahkan kepada setiap orang untuk mempraktikkan gaya hidup sehat. Misalnya, diawali dengan makanan. Allah SWT telah berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا

Makanlah oleh kalian rezeki yang halal lagi baik yang telah Allah karuniakan kepada kalian (TQS an-Nahl [16]: 114).

Selain memakan makanan halal dan baik, kita juga diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan. Apalagi sampai memakan makanan yang sesungguhnya tak layak dimakan, seperti kelelawar. Allah SWT berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan minumlah kalian, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (TQS al-A’raf [7]: 31).

Islam pun memerintahkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan diri maupun lingkungan sekitar. Untuk itulah Rasulullah SAW pun, misalnya, senang berwudhu, bersiwak, memakai wewangian, menggunting kuku, dan membersihkan lingkungannya.

Namun demikian, penguasa pun punya peran sentral untuk menjaga kesehatan warganya. Apalagi saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya. Penguasa tidak boleh abai. Para penguasa Muslim pada masa lalu, seperti Rasulullah SAW dan Khalifah Umar bin al-Khatab RA, sebagaimana banyak diriwayatkan, telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya, di antaranya dalam menghadapi wabah penyakit menular. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here