Keluarga Almarhum H Minta Pertanggungjawaban Status PDP Terhadap RS Siloam Silampari

0
1145

* Akibat Pemakaman Gunakan Protokol Covid-19, tapi Belakangan Diduga Negatif hingga Jenazah Diantar Setengah Jalan

Kliksumatera.com, LUBUKLINGGAU- Menyandang status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Covid 19, ternyata tidak mengenakkan apalagi kalau sampai meninggal.

Pihak rumah sakit yang menangani pasien sudah pasti menetapkan pemakaman dengan protokol Covid 19. Hal seperti inilah yang dampaknya kurang mengenakkan dan stigma negatif diterima oleh keluarga pasien.

Stigma negatif ini salah satunya dirasakan oleh istri dan anak serta keluarga salah satu PDP meninggal Kota Lubuklinggau inisial H pada 17 Mei lalu.

Akibatnya, keluarga mereka tidak bisa menggelar takziah malam pertama sampai malam ketiga dan ketujuh karena status almarhum sebagai PDP walaupun hasil tes swabnya negatif, namun stigma di masyarakat sudah melekat dan tidak bisa dilepaskan.

Salah seorang keponakan almarhum H, Nurusulhi Nawawi, Minggu (31/05/2020) menceritakan kronologis singkat perjalanan pamannya tersebut dari sakit hinggga ke pemakaman. Almarhum sebelumnya sudah beberapa kali keluar masuk rumah sakit karena penyakit jantung.

Awalnya, kata dia, almarhum pamannya tersebut dirawat di RS Siloam Silampari Lubuklinggau, dan dinyatakan sebagai Pasien Dalam Pengawasan (PDP) Corona (covid 19), lalu dilakukan perawatan secara medis dengan memakai protab Protokol Covid 19 yakni di ruang isolasi rumah sakit Siloam Silampari Lubuklinggau.

Namun beberapa hari kemudian, dokter Z yang menangani almarhum menginformasikan kepada pihak keluarga bahwa dirinya akan cuti, keluarga pasien menganggap hal tersebut sebagai pengusiran secara halus terhadap almarhum dan keluarga. Ditambah lagi, salah seorang dokter RS Siloam Silampari inisial N, meyakinkan keluarga agar pasien dipindahkan ke RS Siti Aisyah karena dokter N juga mengaku sebagai dokter di RSSA.

Kemudian, setelah itu almarhum dipindahkan ke RSSA tanpa ada dokumen rekam medis dari RS Siloam Silampari bahwa almarhum merupakan PDP Covid 19 dan sudah diisolasi.

”Dokter N ngomongnya seperti itu, pindahin saja nanti juga saya yang menangani di sana (RSSA), tapi ternyata bukan dokter N yang menangani almarhum, kita tidak ketemu juga di RSSA,” ujarnya saat diwawancarai di kediamannya Minggu, 31/5/2020.

Lanjutnya ia mengatakan, kemudian dipindahkan atau dibawa ke RSSA sekitar tanggal 15 Mei 2020, almarhum mendaftar seperti pasien biasa karena tidak ada dokumen rekam medis dari RS Siloam Silampari bahwa almarhum ini PDP, sehingga perlakuan tidak dengan protokol Covid-19 di RSSA.

”Seperti biasa pasien umum, keluarga juga kumpul-kumpul lagi dengan almarhum, karena rumah sakit awal (RS Siloam Silampari) tidak memberi tahu, keluar-keluar saja dari sana,” katanya.

Pihak RSSA baru mengetahui bahwa almarhum pernah ditetapkan sebagai PDP oleh RS Siloam Silampari setelah salah satu keluarga almarhum H bercerita kepada salah seorang perawat di RSSA pada tanggal 16 Mei atau satu hari sebelum almarhum meninggal.

Nah, mengetahui hal itu, pihak RSSA langsung menetapkan almarhum H sebagai PDP dan dilakukan Protokol Covid. Sehingga almarhum H ini dua kali dilakukan penetapan sebagai PDP yakni Di RS Siloam Silampari dan RSSA.

”Malam itu mulai jadi PDP untuk yang kedua kalinya, mulai juga diperlakukan dengan Protokol Covid-19, termasuk keluarga juga akhirnya dilakukan tracking,”ungkapnya.

Selanjutnya, pada 17 Mei 2020 malam almarhum meninggal dunia sementara tak satu pun pihak keluarga yang bisa mendampingi almarhum menghembuskan nafas terakhirnya di ruang isolasi RSSA.

”Setelah meninggal, anak almarhum diminta tanda tangan surat pemakaman Protokol Covid-19, tapi sekedar tanda tangan dikasih copy,” katanya lagi.

Pihak keluarga selanjutnya meminta agar almarhum dimakamkan di kampung halaman sehingga pihak rumah sakit dan gugus tugas dengan APD lengkap mengantar jenazah almarhum hanya sampai Muara Beliti, lalu putar balik ke Lubuklinggau.

”Hanya diantar setengah jalan, jadi yang memakamkan keluarga dengan APD seadanya, mereka balik lagi ke Linggau, alhamdulilahnya masyarakat setempat tidak ada penolakan,” tegasnya.

Lanjutnya, pihak keluarga sebenarnya sudah tahu hasil swab almarhum negatif Covid-19, namun mereka menyayangkan pihak terkait tidak terbuka kepada keluarga almarhum H.

Bahkan, Nun mengindikasikan persoalan ini ditutup-tutupi oleh pihak terkait, sebab mereka sulit mendapatkan hasil swab tes yang sebenarnya pihak keluarga sudah tahu.

”Kita (keluarga) merasa dipimpong, kita tanya ke RS Siloma Silampari, katanya di RSSA, dari RSSA katanya ke Dokter J, kita tanya ke Dokter J katanya sudah dikembalikan ke RS Siloam Silampari, jadi dari A lempar ke B, B Lempar ke C dan C kembali lagi ke A, hingga akhirnya kami yang menjemput surat keterangan hasil swab itu ke RS Siloam Silampari kemarin tanggal 30,” bebernya.

Pihak keluarga meminta agar pihak RS Siloam Silampari dan pihak terkait memberikan klarifikasi secara terbuka dan memulihkan stigma negatif yang dialami pihak keluarga pasien alamarhum berinisial H.

”Jangankan masyarakat, keluarga yang lain saja salaman dengan anak anak almarhum pakai alas jilbab tangannya,” kata dia lagi dengan bersabar.

Dalam waktu dekat, kuasa hukum pihak keluarga akan melayangkan surat meminta klarifikasi pihak terkait penetapan PDP yang dianggap salah vonis tersebut. Belum diketahui bagaimana tanggapan dari pihak RS Siloam Silampari atas masalah ini.

Laporan : Shandy April
Editor/Posting : Imam Ghazali

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here