Keretakan Keluarga Tanpa Solusi

0
980

Oleh : Hj Padliyati Siregar, ST

Nyaris setengah juga pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia cerai sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri.

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019 yang dikutip detikcom, Jumat (28/2/2020) perceraian tersebar di dua pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan nonmuslim.

Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. https://m.detik.com/news/berita/d-4918371/nyaris-setengah-juta-janda-baru-lahir-di-indonesia-sepanjang-2019

Perang pemikiran sampai saat ini terus bergulir. Upaya Barat untuk menghancurkan dan menjauhkan kaum muslimin dari akidahnya terus terjadi. Sejak runtuhnya Daulah Khilafah tahun 1924 di Turki kaum muslimin tidak memiliki benteng kekuatan dan menjadi santapan lezat bagi orang-orang kafir. Tak cukup dengan meruntuhkan benteng kekuatan dan pertahanan kaum muslimin dengan Khilafahnya, Baratpun berusaha untuk menghabisi kaum muslimin dengan merusak benteng pertahanan terakhir yaitu keluarga.

Penerapan ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasinya pada saat ini telah menyebabkan kerusakan dan keterpurukan masyarakat. Jaminan kebebasan bagi warga negara yang diusung demokrasi telah menggeser tatanan kehidupan terutama rusaknya pilar-pilar pertahanan keluarga.

Salah satu produk demokrasi adalah ide emansipasi (kesetaraan gender) yang digembar-gemborkan oleh Barat yang dibungkus secara indah dan menawan.

Untuk memuluskan kampanye mereka, berbagai propaganda dan jargon-jargon manispun dilontarkan oleh kaum feminis, seperti “anak lelaki dan anak perempuan adalah sama jangan dibeda-bedakan” kemudian “hanya perempuan yang tahu persoalan perempuan” dan sebagainya.

Jargon-jargon tersebut digemborkan oleh gerakan emansipasinya telah membuat banyak wanita percaya bahwa mereka selama ini tertindas dan harus bangkit melawan hegemoni kaum pria, merebut kembali hak mereka dan berlari sama kencang dengan kaum pria.

Kampanye emansipasi dengan dalih aktualisasi diri dan kesetaraan telah mendorong perempuan untuk berkiprah diluar rumah. Ketika para ibu rumah tangga ini mengikuti saran para feminis untuk berkarir diluar rumah maka ia akan melepaskan sebagian besar perannya sebagai pendidik anak-anak mereka.

Ibu yang seharusnya berperan menjadi ummun wa rabbatulbait (ibu dan pengatur rumahtangga) kini telah bergeser merangkap ganda menjadi ibu sekaligus berkarier mencari nafkah juga.

Sistem saat ini memaksa perempuan untuk terjun ke dunia kerja membantu ekonomi keluarga, akhirnya dia kehilangan fungsi utamanya sebagai pendidik generasi, sehingga muncul persoalan kehancuran keluarga dan berujung kepada kehancuran masa depan generasi.

Demokrasi Biang Kerusakan Keluarga

Keluarga adalah tempat pertama bagi setiap manusia memahami makna hidup. Keluarga pula yang menjadi tempat pembinaan generasi calon pemimpin umat. Kesuksesan keluarga membina generasi pemimpin tentu akan membawa pengaruh pada pembentukan peradaban dunia. Sebab, dalam keluargalah sang calon pembangun peradaban (yaitu anak-anak) mendapatkan pendidikan pertamanya.

Secara umum, keluarga mempunyai setidaknya 8 (delapan) fungsi. Pertama, fungsi reproduksi, yaitu dari keluarga dihasilkan anak keturunan secara sah. Kedua, fungsi ekonomi yaitu keluarga sebagai kesatuan ekonomi mandiri, anggota keluarga mendapatkan dan membelanjakan harta untuk memenuhi keperluan. Ketiga, fungsi sosialisasi, yaitu untuk memperkenalkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Keempat, fungsi protektif, yaitu bahwa keluarga melindungi anggotanya dari ancaman fisik,ekonomis dan psiko sosial. Kelima, fungsi rekreatif, artinya keluarga merupakan pusat rekreasi bagi para anggotanya. Keenam, fungsi afektif, bahwa keluarga memberikan kasih sayang. Ketujuh, fungsi edukatif, yaitu memberikan pendidikan. Kedelapan, fungsi relijius, artinya keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada para anggota.

Melihat betapa banyaknya aspek yang bisa diberikan oleh keluarga, maka bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi bila institusi ini terancam, apalagi rusak. Sayangnya, inilah yang terjadi saat ini. Kerusakan keluarga begitu nyata di depan mata. Ini terlihat dari tidak berjalannya semua fungsi keluarga secara baik dan efektif.

Belum lagi banyaknya persoalan yang membelit keluarga saat ini. Tingginya angka perceraian, kenakalan remaja, kejahatan seksual terhadap anak, juga berbondong-bondongnya perempuan memasuki dunia kerja baik di dalam maupun di luar negeri (menjadi TKW) harus diakui bahwa semua itu merupakan sebagian tanda-tanda dan fakta kerusakan keluarga.

Memang, amat miris dan memprihatinkan.Tapi, bagaimana pun keadaannya, keprihatinan ini tentu tidak bisa dibiarkan. Sebab, institusi keluarga adalah penyelamat generasi dan bangsa. Menyelamatkan keluarga dari kehancuran hakikatnya adalah menyelamatkan bangsa dan peradaban.

Karena itulah, biang kerusakan keluarga harus dicari dan selayaknya menjadi musuh yang harus diperangi sampai ke akar-akarnya.

Masalah Sistemik
Harus diakui rusaknya keluarga sebenarnya hanyalah efek dari kerusakan yang kini melanda masyarakat. Rusaknya keluarga tentu bukan sekedar karena persoalan individual anggota keluarga. Rusaknya keluarga juga bukan semata-mata karena anggota keluarga tidak memahami dan menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Contohnya, peran ibu (sebagai pendidik pertama anak-anak) yang sekarang ini semakin hilang.

Tentu bukan semata-mata karena ibu tidak memahami adanya kewajiban mendidik anak-anaknya. Harus diakui, banyak ibu bekerja hingga melalaikan kewajiban mendidik anak karena keluarga terbelit kemiskinan.

Demikian pula dengan banyaknya anak yang bermasalah. Tentu bukan karena semata-mata orang tuanya yang tidak menjaga dan melindungi anak-anaknya di rumah. Namun, kondisi sistemlah (kehidupan di luar rumahnya) yang mengancam dan memaksa anak-anak terkerumus dalam berbagai persoalan sosial.

Begitu pun dengan banyaknya kasus perceraian. Tentu bukan semata-mata karena ketidakharmonisan hubungan suami isteri. Masalah ini sangat mungkin diakibatkan oleh kemiskinan yang membelit keluarga, atau rusaknya tatanan sosial berupa maraknya pornoaksi pornografi dan kehidupan sosial yang rusak hingga berimbas pada keharmonisan hubungan suami isteri.

Dengan demikian, menelusuri pangkal kerusakan keluarga tidak bisa hanya dari penampakan luarnya saja. Yang harus dilakukan adalah menelusuri akar persoalannya berupa penyebab utama yang mengakibatkan berbagai masalah membelit keluarga.

Dan jika ditelaah secara mendalam, setidaknya ada dua masalah yang amat menonjol yang menghimpit keluarga dan memicu munculnya beragam persoalan dalam keluarga. Dua persoalan tersebut adalah kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial. Disadari, dua kondisi inilah telah menyeret keluarga pada keterpurukan bahkan kehancurannya.

Kemiskinan struktural dan rusaknya tatanan sosial tentu tidak lepas dari sistem (tata kelola) negara. Dan senyatanya, negara saat ini dikelola dengan tatanan demokrasi, sebuah tatanan bernegara yang berasal dari Barat. Demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, baik kebebasan ekonomi, kebebasan berperilaku dan berpendapat, hingga kebebasan berkeyakinan.

Nilai-nilai inilah yang memberikan imbas secara langsung pada dua kondisi tersebut hingga menyeret keluarga di titik kerusakannya yang paling parah.

Dengan demikian, menyelamatkan keluarga dari kehancurannya hakikatnya adalah upaya sistematik mengubah tata kelola negara yang menyengsarakan keluarga dengan tata kelola negara yang menyejahterakan keluarga. Demikianlah, problem keluarga sejatinya adalah problem sistemik dan bukan problem individual anggota keluarga. Solusinya pun berupa solusi sistemik, bukan solusi individual.

Islam Menjaga Ketahanan Keluarga
Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan yang utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban.
Dan ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lantas bagaimana jadinya jika pendidik anak yang pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya? Bagaimana ketahanan keluarga mereka bisa terjaga?
Saat ini bekerjanya perempuan akibat tidak terwujudnya kesejahteraan keluarga sebagai akibat dari sistem ekonomi kapitalis. Tata kehidupan yang diatur dengan kapitalisme juga membuat para perempuan terpesona dengan jebakan pemberdayaan perempuan.

Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagi kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada dirinya.

Sehingga dia tidak usah bersusah payah bekerja ke luar rumah dengan menghadapi berbagai resiko sebagaimana yang dialami perempuan-perempuan bekerja dalam sistem kapitalis sekarang ini.

Bahkan negara akan memfasilitasi para suami untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah dan menindak mereka yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Juga mewajibkan para wali perempuan untuk menafkahi, jika suami tidak ada.

Dan jika pihak-pihak yang berkewajiban menafkahi memang tidak ada, maka negaralah yang akan menjamin pemenuhan kebutuhan para ibu.

Ketahanan keluarga ditandai terpenuhinya kebutuhan dasar individu dan berfungsinya komponen keluarga. Maka generasi berkualitas yang didambakan pun didapatkan.

Dengan penerapan hukum Islam kemuliaan para ibu (kaum perempuan) sebagai pilar keluarga dan masyarakat demikian terjaga, sehingga mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.

Jika menerapkan hukum Islam sebagaimana yang pernah diterapkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka kesejahteraan menjadi sebuah keniscayaan.

Khalifah Umar menggunakan dana di baitulmal (kas negara) untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis.

Khalifah Umar II pun memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondensi berlangsung lancar.

Sehingga, rakyatnya benar-benar hidup sejahtera. Tak ada lagi yang mengalami kekurangan pangan dan kesusahan.

Berkat pengelolaan dana baitulmal yang benar, sampai-sampai para pengelola baitulmal kesulitan lagi mencari orang miskin yang harus disantuni.

Kemakmuran dan kemajuan yang berhasil ditorehkan umat Islam pada masa kekhalifahan tak lepas dari pengelolaan keuangan yang profesional dan transparan. Negara benar-benar hadir sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyatnya.

Fungsi negara berjalan dengan maksimal, hal tersebut bertolak belakang dengan sistem kapitalis yang menjalankan aturan yang justru membuat rakyat semakin menderita. Ketahanan keluarga hanya sebuah angan-angan tanpa bisa diwujudkan.

Sudah saatnya negeri ini mengambil Islam sebagai solusi atasi masalah ketahanan keluarga. Keluarga yang harmonis, sejahtera dan melahirkan generasi berkualitas bukan hanya sekadar harapan, tapi terwujud dalam kehidupan. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here